KEKERAN
DAN DILEMA HUKUM LINGKUNGAN
Oleh: Ridwan M. Said
Belum selesai
kerja tim investigast bentukan Pemerintah maupun DPR untuk mengumpulkan data
dugaan pelanggaran HAM, melalui intimidasi, kekerasan dan pembunuhan yang
dialami oleh masyarakata Masuji, bumi pertiwi kembali dikejutkan oleh headline hampir seluruh media masa, baik
cetak maupun elektronik dengan tema “Bima
Membara,” pihak kepolisian mengarahkan moncong senjata apinya ditengah
kerumunan masyarakat Lambu yang menduduki pelabuhan Sape yang sudah berlangsung
beberapa hari.
Pertanyaan yang
mendasar yang harus dilontarkan kepada aparat keamanan, dan pihak pemerintah
yang berwenang adalah pertama, kenapa
akhir-akhir ini masyarakat Indonesia menjadi objek kebengisan aparatnya sendiri
dan memilih jalur perlawanan dengan menduduki objek-objek fital yang dilarang
dalam undang-undang penyampaian pendapat di muka umum, kedua, kenapa pula aparat keamanan harus mengambil jalan kekerasan
(represif) untuk mengakhiri demostrasi
rakyat yang tidak ingin diganggu ketenangannya oleh perusahaan pertambangan.
ketiga, kenapa pemerintah terkait, baik pusat
maupun daerah sampai hati melihat
rakyatnya menjadi korban kebengisan aparat Negara, menunggu lama-lama solusi
yang mereka harapkan justu memperbanyak jatuhnya korban, baik jiwa, harta dan
moril. Apakah pertambangan lebih berharga ketimbang nyawa dan darah rakyatanya.
Apakah daerah dan Negara ini hidup tanpa pemimpin sebagai pelindung, ataukah
Negara ini hidup tampa hukum.
Sejak era referomasi,
ada tiga hal yang perlu di refleksikan kembali, pertama, trend kekerasan dibidang
lingkungan semakin merebak seiring dengan kewenangan pemerintah daerah melalui
desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah) untuk mengeluarkan kebijakan mengelola
daerahnya masing-masing, dibidang lingkungan adalah sumber utama konflik, betapa
tidak pemberian ijin lingkungan adalah barang dangang baru dan alat transasi
komoditas poliitk balas jasa, atau sumber pengembalian modal kampanye waktu
Pemilukada, ingat data yang di rilis KPK baru-baru ini ribuan ijin pertambangan
tidak procedural dan berpotensi merigikan Negara Triliyunan Rupiah. Kedua, aparat sering mengambil jalan
kekerasan dalam mengakhiri tuntutan warga masyarakat akibat tidanya adanya
kesadaran lembaga itu untuk memperbaiki diri, seharusnya di negara yang konon
menjadi Negara terdemokratis ketiga di Dunia setelah AS dan India ini kekerasan
dan melanggar HAM seakan menjadi perkara mudah dan tidak berefek bagi pelakunya
karena memang UU HAM hanya sekedar untuk pajangan belaka dan tidak pernah
menyentuh pelakunya, jangan sampai kekacauan social dan kegagalan aparat yang
mengahadirkan kesejukan bagi warga mengindikasikan negara ini terjerumuskan
kedalam Negara gagal bahkan menuju Negara ambruk, karena salah satu ciri Negara
gagal adalah ketidak mampuan aparat menangani konflik social dengan instrument hukum,
bukan legitimasi kekuasaan lewat kekerasan berdarah.
Yang ketiga, fenomena kegagalan hukum memberikan
saluran alternatif yang efektif dalam menyelesaikan konflik lingkungan hidup. Kalau
kita perhatikan secara saksama baik dalam domain tekstual maupun dalam ranah
realitas peraturan perundan-undangan Indonesai sama sekali tidak bisa
memberikan keuntungan dan perlindungan bagi rakyat kecil.
Indonesai telah
mengeluarkan berbagai aturan hukum untuk melindungi, memelihara, memulihkan dan
mencegah kerusakan lingkungan, bahkan sebelum kemedekaan telah ada hukum yang
melarang kerusakan lingkungan, pasca kemerdekaan lahir UU 14 tahun 1982,
kemudian UU No. 23 tahun 1997 yang digantikan oleh UU 32 tahun 2009 tentang
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, rangkaian undang-undang itu juga
melahirkan berbagai praturan pelaksan dan turunannya, sperti UU tentang
pertambangan, kehutanan, Penanaman Modal Asing, PP tentan perijinan, Amdal,
dll.
Cara
penyelesaian LH
Saluran Hukum
Indonesai dalam menyelesaikan kasus sengketa lingkungan hidup memperkenalkan,
dua model penyelesaian, jalur Formal atau pengadilan yang terdiri dari tiga
intrumen yakni admisntrasi yakni tahap pemberian iji oleh pemerintah, bagi yang
tidak sepakat dapat melakukan gugatan ke PTUN, kedua, Pidana yakni aparat dapat
memberikan sanksi kepada perusahaan yang merusak dan mencemarkan lingkungan,
dan ketiga melalui jalur perdata yang dibagi lagi atas pilihan gugatan perdata biasa
dengan dasar pasal 1365 KUHP Perdata, Calass
Action, dan Legal Standing.
Kemudian melalui jalur Informal adalah dengan cara Mediasi, Arbitrase dan Negosiasi.
Masalahnya
kemudian adalah ada fakta menunjukan bahwa sebagian besar masalah lingkungan
yang diselesaikan lewat jalur formal atau pengadilan selalu mengalami kebuntuan
bagi rakyat korban pencamaran dan kerusakan lingkungan, atau selalu di
menangkan oleh pihak perusahaan.
Selama penerapan
UU Nomor 23 Tahun 1997 yang diganti
dengan UU No. 32 Tahun 2009 hingga saat ini, masih banyak pelaku pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun
berlanjut ke pengadilan, seringkali putusan pengadilan belum dapat memenuhi
rasa keadilan bagi lingkungan. Berdasarkan data kasus tahun 2009 s/d 2010 yang
sampai disidangkan di pengadilan, hakim memutuskan 5 kasus vonis penjara,
14 kasus vonis bebas murni dan 1 kasus vonis percobaan. (SI Jakarta,
16/12/2010).
Pemerintah pusat
dan pemerintah daerah memiliki kecenderungan mendorong penyelesaian
perselisihan sengketa pertanahan secara formalistik dari pada membantu proses
penyelesaian lewat mediasi. Komnas HAM menerima laporan pada tahun 2010 ada 5.500
dari seluruh derah di Indonesia, tahun 2009 laporan yang masuk sebanyak 5.400
sebanyak 40 porsen dari total kasus itu merupakan konflik pertanahan atau
senhgketa di lahan sumber daya alam. Pemerintah selalu melakukan penyelesaian
konflik itu dengan jalur formal hukum dan hasilnya 90 porsen dimengankah oleh
pengusaha garafik itu tidak pernah turun, semakin lama semakin akan semakin
membesar. (Kompas 14/ 4).
Sebenaranya
saluran untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup agar terhindari dari
konflik-kekerasan jalur adminstrasi melalui Amdal kewenangan pemerintah pusat
daerah merupakan jalur efektif, namun terkadang jalur ini selalu diakali oleh
pihak perusahaan dan penguasa, karena tidak adanya political will pemerintah ini, serta intervensi politik yang cukup kuat,
juga dalam tubuh UU itu sendiri yang lemah, dilema ini sangat terasa konyol
ketika mencemati instrumen hukum yang digunakan, padahal secara normatif hukum
lingkungan cukup konprehensif, misalnya dengan kekhususannya menggunakan tiga intrumen
hukum sekaligus (administratif, perdata dan pidana), dalam gugatan perdata
misalnya sangat sulit membuktikan kesalah, legal standing misalnya tidak memberikan
ruang untuk minta ganti rugi, begitupun PTUN, pidana juga hanya sekedara mimpi
dan pajangan, satu-satunya instrumen yang dapat memberikan peluang ganti rugi
masyaratak adalah hukum perdata biasa dan Class
Action itupun sangat sulit di menangkan oleh rakyat kecil.
Penyelesaian sengketa
lingkungan melalui jalur formal tidak efektif, maka cara terbaik yang lebih
efektif dan menguntungkan semua pihak lebih-lebih masyarakat lemah adalah
melaui jalur non formal dengan pendekatan coperatif
dan partisipatif, dengan Alternativ
Dispate Resolusion (ADR), ini di akibatkan oleh aparat penegak hukum belum
berani keluar dari pemahaman hukum yang positif-formal, dalam berbagai kasus
gugatan diajukan masyarakat melalui class
action atau legal standing,
majelis hakim lebih memilih pendekatan positifistik dengan mengunakan instrumen
hukum berdasarkan pada apa yang di atur dalam KUH Perdata dan KUHAP dan
menggunakan pendekatan penanganan kasus tersebut di anggap sebagai pesoalan
atau guguatan perdata biasa (Prof. Absori: 2009)
Kenekatan warga masyarakat menduduki fasilitas-fasilitas
fital yang secara hukum dilarang sebagai bentuk penyaluran aspirasi sambil
berharap penguasa setempat mendengarkannya, merupakan cerminan keputusasaan
atas formulasi hukum yang ada di Indonesia, pilihan melawan hukum adalah cara
terbaik bagi merekan, apalagi ada banyak fakta menunjukan salah satu cara yang paling
efektif untuk menghindari kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup adalah dengan
cara mencegah perusahan pertambangan masuk, atau pada saat poses adminstrasi berlangsung,
sebab sangat sulit melawan perusahaan besar ketika mereka sudah menancapkan
kekuasaannya di daerah pertambangan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar