Kamis, 21 Maret 2013

HUKUM LINGKUNGAN


KEKERAN DAN DILEMA HUKUM LINGKUNGAN
Oleh: Ridwan M. Said 
Belum selesai kerja tim investigast bentukan Pemerintah maupun DPR untuk mengumpulkan data dugaan pelanggaran HAM, melalui intimidasi, kekerasan dan pembunuhan yang dialami oleh masyarakata Masuji, bumi pertiwi kembali dikejutkan oleh headline hampir seluruh media masa, baik cetak maupun elektronik dengan tema “Bima Membara,” pihak kepolisian mengarahkan moncong senjata apinya ditengah kerumunan masyarakat Lambu yang menduduki pelabuhan Sape yang sudah berlangsung beberapa hari.
Pertanyaan yang mendasar yang harus dilontarkan kepada aparat keamanan, dan pihak pemerintah yang berwenang adalah pertama, kenapa akhir-akhir ini masyarakat Indonesia menjadi objek kebengisan aparatnya sendiri dan memilih jalur perlawanan dengan menduduki objek-objek fital yang dilarang dalam undang-undang penyampaian pendapat di muka umum, kedua, kenapa pula aparat keamanan harus mengambil jalan kekerasan (represif) untuk mengakhiri demostrasi rakyat yang tidak ingin diganggu ketenangannya oleh perusahaan pertambangan.
ketiga, kenapa pemerintah terkait, baik pusat maupun daerah sampai hati melihat rakyatnya menjadi korban kebengisan aparat Negara, menunggu lama-lama solusi yang mereka harapkan justu memperbanyak jatuhnya korban, baik jiwa, harta dan moril. Apakah pertambangan lebih berharga ketimbang nyawa dan darah rakyatanya. Apakah daerah dan Negara ini hidup tanpa pemimpin sebagai pelindung, ataukah Negara ini hidup tampa hukum.
Sejak era referomasi, ada tiga hal yang perlu di refleksikan kembali, pertama, trend kekerasan dibidang lingkungan semakin merebak seiring dengan kewenangan pemerintah daerah melalui desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah) untuk mengeluarkan kebijakan mengelola daerahnya masing-masing, dibidang lingkungan adalah sumber utama konflik, betapa tidak pemberian ijin lingkungan adalah barang dangang baru dan alat transasi komoditas poliitk balas jasa, atau sumber pengembalian modal kampanye waktu Pemilukada, ingat data yang di rilis KPK baru-baru ini ribuan ijin pertambangan tidak procedural dan berpotensi merigikan Negara Triliyunan Rupiah. Kedua, aparat sering mengambil jalan kekerasan dalam mengakhiri tuntutan warga masyarakat akibat tidanya adanya kesadaran lembaga itu untuk memperbaiki diri, seharusnya di negara yang konon menjadi Negara terdemokratis ketiga di Dunia setelah AS dan India ini kekerasan dan melanggar HAM seakan menjadi perkara mudah dan tidak berefek bagi pelakunya karena memang UU HAM hanya sekedar untuk pajangan belaka dan tidak pernah menyentuh pelakunya, jangan sampai kekacauan social dan kegagalan aparat yang mengahadirkan kesejukan bagi warga mengindikasikan negara ini terjerumuskan kedalam Negara gagal bahkan menuju Negara ambruk, karena salah satu ciri Negara gagal adalah ketidak mampuan aparat menangani konflik social dengan instrument hukum, bukan legitimasi kekuasaan lewat kekerasan berdarah.
Yang ketiga, fenomena kegagalan hukum memberikan saluran alternatif yang efektif dalam menyelesaikan konflik lingkungan hidup. Kalau kita perhatikan secara saksama baik dalam domain tekstual maupun dalam ranah realitas peraturan perundan-undangan Indonesai sama sekali tidak bisa memberikan keuntungan dan perlindungan bagi rakyat kecil.
Indonesai telah mengeluarkan berbagai aturan hukum untuk melindungi, memelihara, memulihkan dan mencegah kerusakan lingkungan, bahkan sebelum kemedekaan telah ada hukum yang melarang kerusakan lingkungan, pasca kemerdekaan lahir UU 14 tahun 1982, kemudian UU No. 23 tahun 1997 yang digantikan oleh UU 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, rangkaian undang-undang itu juga melahirkan berbagai praturan pelaksan dan turunannya, sperti UU tentang pertambangan, kehutanan, Penanaman Modal Asing, PP tentan perijinan, Amdal, dll.
Cara penyelesaian LH
Saluran Hukum Indonesai dalam menyelesaikan kasus sengketa lingkungan hidup memperkenalkan, dua model penyelesaian, jalur Formal atau pengadilan yang terdiri dari tiga intrumen yakni admisntrasi yakni tahap pemberian iji oleh pemerintah, bagi yang tidak sepakat dapat melakukan gugatan ke PTUN, kedua, Pidana yakni aparat dapat memberikan sanksi kepada perusahaan yang merusak dan mencemarkan lingkungan, dan ketiga melalui jalur perdata yang dibagi lagi atas pilihan gugatan perdata biasa dengan dasar pasal 1365 KUHP Perdata, Calass Action, dan Legal Standing. Kemudian melalui jalur Informal adalah dengan cara Mediasi, Arbitrase dan Negosiasi.
Masalahnya kemudian adalah ada fakta menunjukan bahwa sebagian besar masalah lingkungan yang diselesaikan lewat jalur formal atau pengadilan selalu mengalami kebuntuan bagi rakyat korban pencamaran dan kerusakan lingkungan, atau selalu di menangkan oleh pihak perusahaan.
Selama penerapan UU Nomor 23 Tahun 1997  yang diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 hingga saat ini, masih banyak pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun berlanjut ke pengadilan, seringkali putusan pengadilan belum dapat memenuhi rasa keadilan bagi lingkungan. Berdasarkan data kasus tahun 2009 s/d 2010 yang sampai disidangkan di pengadilan,  hakim memutuskan 5 kasus vonis penjara, 14 kasus vonis bebas murni dan 1 kasus vonis percobaan. (SI Jakarta, 16/12/2010).
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kecenderungan mendorong penyelesaian perselisihan sengketa pertanahan secara formalistik dari pada membantu proses penyelesaian lewat mediasi. Komnas HAM menerima laporan pada tahun 2010 ada 5.500 dari seluruh derah di Indonesia, tahun 2009 laporan yang masuk sebanyak 5.400 sebanyak 40 porsen dari total kasus itu merupakan konflik pertanahan atau senhgketa di lahan sumber daya alam. Pemerintah selalu melakukan penyelesaian konflik itu dengan jalur formal hukum dan hasilnya 90 porsen dimengankah oleh pengusaha garafik itu tidak pernah turun, semakin lama semakin akan semakin membesar. (Kompas 14/ 4).
Sebenaranya saluran untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup agar terhindari dari konflik-kekerasan jalur adminstrasi melalui Amdal kewenangan pemerintah pusat daerah merupakan jalur efektif, namun terkadang jalur ini selalu diakali oleh pihak perusahaan dan penguasa, karena tidak adanya political will pemerintah ini, serta intervensi politik yang cukup kuat, juga dalam tubuh UU itu sendiri yang lemah, dilema ini sangat terasa konyol ketika mencemati instrumen hukum yang digunakan, padahal secara normatif hukum lingkungan cukup konprehensif, misalnya dengan kekhususannya menggunakan tiga intrumen hukum sekaligus (administratif, perdata dan pidana), dalam gugatan perdata misalnya sangat sulit membuktikan kesalah, legal standing misalnya tidak memberikan ruang untuk minta ganti rugi, begitupun PTUN, pidana juga hanya sekedara mimpi dan pajangan, satu-satunya instrumen yang dapat memberikan peluang ganti rugi masyaratak adalah hukum perdata biasa dan Class Action itupun sangat sulit di menangkan oleh rakyat kecil.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui jalur formal tidak efektif, maka cara terbaik yang lebih efektif dan menguntungkan semua pihak lebih-lebih masyarakat lemah adalah melaui jalur non formal dengan pendekatan coperatif dan partisipatif,  dengan Alternativ Dispate Resolusion (ADR), ini di akibatkan oleh aparat penegak hukum belum berani keluar dari pemahaman hukum yang positif-formal, dalam berbagai kasus gugatan diajukan masyarakat melalui class action atau legal standing, majelis hakim lebih memilih pendekatan positifistik dengan mengunakan instrumen hukum berdasarkan pada apa yang di atur dalam KUH Perdata dan KUHAP dan menggunakan pendekatan penanganan kasus tersebut di anggap sebagai pesoalan atau guguatan perdata biasa (Prof. Absori: 2009)
Kenekatan warga masyarakat menduduki fasilitas-fasilitas fital yang secara hukum dilarang sebagai bentuk penyaluran aspirasi sambil berharap penguasa setempat mendengarkannya, merupakan cerminan keputusasaan atas formulasi hukum yang ada di Indonesia, pilihan melawan hukum adalah cara terbaik bagi merekan, apalagi ada banyak fakta menunjukan salah satu cara yang paling efektif untuk menghindari kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup adalah dengan cara mencegah perusahan pertambangan masuk, atau pada saat poses adminstrasi berlangsung, sebab sangat sulit melawan perusahaan besar ketika mereka sudah menancapkan kekuasaannya di daerah pertambangan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...