Kamis, 21 Maret 2013

PANCASILA


PANCASILA: DILAWAN DAN DIRINDU
Oleh Ridwan M. Said

13 TAHUN Bangsa ini lepas dari genggaman Orde Baru, Pancasila kembali menjadi wacana, MPR di bawah Taufik Kiemas, gencar mewacanakan perlu di jewantahkannya dengan rill Empat Pilar Bangsa yaitu, Pancasila, NKRI, UUD 1945, Kebhinekaan Tunggal Ika. Kerinduan atas Pancasila kembali menggema setelah Bangsa akhir-akhir ini diwarnai dengan gerakan radikalisme atas nama kepercayaan, konflik SARA, terorisme, kebebasan berekspresi yang berlebihan, menguatnya dominasi asing di berbagai sektor, liberalisasi pasar, politik transaksional, oligarki politik, akhir dari semua itu ialah indikasi dari gagalnya sebuah Bangsa.
1 Juni 2011 adalah momentum peringatan kelahiran Pancasila, momen ini menjadi sangat tepat Mereview kembali sejarah berdirinya bangsa dan nilai filosofis Pancasila, lalu memotretnya dalam kehidupan bernegara serta seperti apa pengejewantahan dalam kebijakan Pemerintah masa kini, untuk menatap masa depan.
Bergemurunya pembicaraan akan Pancasila mencapai pusaran intesnya (center of intensity) ketika Pemerintah gagal menjinakkan segala persoalan diatas, lalu banyak orang melihat kembali Pancasila, karena di yakini, menguatnya radikalisme, intoleransi, liberalisasi negara, dan lemahnya Negara disatu sisi di akibatkan hilangnya jati diri bangsa, kalau dulu hanya Negara (TNI/Polri) yang boleh menembak warga, sekarang tidak lagi menjadi monopoli mereka, karena “teroris” juga bisa “melakukan” hal yang sama, dengan jaringan dan peralatan yang sama pula.
Ini adalah indikasi negara ini menju negara gagal sebagaimana yang dikatakan (Robert Rotberg: 2002) Indonesia merupakan satu dari 42 negara didunia yang sedang bergerak dari status lemah menju kepada kegagalan atau keambrukan, sindrom dari suatu negara yanga gagal adalah: keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik  etnis agama tidak kunjung selesai, korupsi meraja lela, legitimasi Negara terus menipis, kerawanan terhadap tekanan luar negeri, ketakberdayaan Pemerintah dalam meghadapi masalah dalam negeri.
Terlepas Pancasila masih diperdebatkan kesohihannya dalam mengahadapi semua masalah itu, yang jelas Pancasila bukan pepesan kosong yang tidak bermakna, di dalamnya terkandung filosofi yang menjadi spirit pemersatu di tengah keberagaman, penerobos sekat-sekat individualisme. Pertanyaan yang dapat di ajukan disini adalah seberapa jauhkah filosofi bangsa itu determinan terhadap keberadaan suatu bangsa pada masa lampau, kini dan akan datang, pertanyaan ini penting ketika kita melihat anomali dan paradoksnya kehidupan berbagsa dewasa ini.
Weber menyatakan kebangkitan Eropa Barat khususnya kaum Kristiani-Protestan dipengaruhi oleh spirit pembaruan (purifikasi) agama itu yang meyakini, kerja keras, keuletan, kejujuran, kesejahteraan di dunia merupakan jaminan untuk masuk surga. Begitupun bangsa Jepang, China yang sangat percaya denga nilai-nilai luhurnya.
Parsayarat terbentuknya sebuah Negara, baru dikatakan sebagai Negara modern menurut (Addrews: 1968) setidaknya harus memiliki tiga kesepakatan dasar yaitu, pertama kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama, kedua kesepakan tentang the rule of law sebagai landasan Pemerintah, ketiga kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi Negara dan prosedur ketatanegaraan. Semua prasayarat itu telah dipenuhi oleh bangsa Indonesia melalui Pancasila, Konstitusi dan sistim politik. Pancasila, secara historis adalah pandangan hidup yang nilai-nilainya sudah ada sebelum bangsa ini lahir secara yuridis, secara kultural dasar-dasar pemikiran Pancasila berakar pada nila kebudayaan nilai religius yang dimiliki oleh bangsa Indonesai (Kaelan: 2011), nilai-nilai ini kemudian di bahas dan dirumuskan oleh para Founding Fathers Bangsa kemudian disepakati dalam konsensus di forum BUPKI dilanjutkan di PKKI sebagai lembaga yang membentuk Negara.
Hasil kesepakan inilah kemudian menghasilkan dasar pendirian bangsa, pada mulanya disepakati piagam jakarta pada 22 juni 1945, yang dalam sila pertama menyebutkan “Kewajiban menjalanakan sariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” kemudian di ganti dengan “Ketuhanan yang masa Esa.”kesepakan pertama itulah yang ditagih Islam politik dan Islam konservatif yang melahirkan juga perlawanan terhadap Negara (Pancasila).
Bangsa Indonesia telah menentukan jalan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu “khitoh” kenegaraan, Philosophiche Grondslog atau dasar falsafah Negara yaitu Pancasila, sebagai falsafah bangsa secara yuridis ia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke IV yang berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi, atau dalam teori hukum Von Savigny menyebutnya sebagai “Volkgeyst” yaitu jiwa bangsa, oleh karena itu ia adalah sumber dari segala sumber hukum dan kebijakan Negara dalam wilayah operasionalisasinya.
Pancasila sebagai dasar Negara, philoshopy grondslag merupakan suatu realitas objektif bangsa dan negara Indonesia yang memiliki dasar lebitimasi yuridis, filosofis, politis, historys dan kultural, hanya saja para pemimpin bangsa ini telah menggadaikan Pacasila hanya untuk kepentingan pragmatis, dan mereka menafsirkan pancasila secara serampangan yang sesuai dengan kehendak politiknya, berganti rezim berganti pula pemaknaan terhadap Pancasila, bahkan saling bertentangan (ironiskan). Pancasila sebagai Bacis Philosophy seharusnya ia dapat memberikan warna dasar seperti kejujuran, konsisten, toleransi, kebahagiaan serta kesejahteraan  walau rezim berubah, namun kebebasan setelah reformasi ia telah terjadi kesalah epistomologi penafsirkan secara serampangan (epistomology mystake). kekacauan penafsiran terhadap pancasila ini setidaknya terjadi, menyamakan antara nilai, norma, dan praksis (fakta) dengan  Pancasila, kemudian,konteks politik dimana mengidentikkan Pancasila dengan rezim kekuasaan, yang terlintas kemudian adalah Pancasila sebagai label Orba, fakta sejarah menunjukan ketika Orde Baru berkuasa Pancasila dijadikan sebagai legitimasi politik, memaksakan kehendak, bahkan dijadikan sebagai alat melenyapkan penantang (baca: tangjung priok, lampung berdarah, dll.) sehingga Era Reformasi ketika orang berbicara Pancasila sama halnya mengembalikan kewibawaan Orba, P4 yang menjadi sarana  indoktrinasi Orde Baru dihapuskan, selanjutnya kesesatan epistomologi yang ketiga adalah menempatkan Pancasila sebagai varian yang setingkat dengan agama, bagi politik yang mendasarkan pada agama bahkan menganggap Pancasila sebagai penghalang bahkan mengancam Agama, padahal Pancasila itu sama sekali berbeda dengan agama, dan tidak benar  pula Pancasila itu menampung apa saja, Pancasila itu merupakan filosofis bangsa Indonesia, dan ketika berbicara filososfi bangsa maka yang terlintas kemudian adalah, kehidupan yang dilandasi oleh ketuhanan, bukan ateisme seperti komunisme, juga tidak memisahkan kehidupan bangsa dan agama seperti liberalisme, dalam memutuskan sesuatu Pancasila menghendaki dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, bukan one man one vote, disinilah harus dimaknai bahwa sesungguhnya “Negara” dalama skala makro sebenarnya yang melakukan perlawanan/pembangkangan terhadap Pancasila, bukan di arahkan sepenuhnya pada kaum muslimin “konservatif”.
Terputusnya mata rantai filosofi pembentukan bangsa dengan hilangnya wacana Negara kekeluargaan pasca amandemen ke 4 yang merupakan kotektualisasi paham kolektivisme yakni mazhab yang bertentangan dengan indivudualisme. Demokrasi konsensus yang berdasarkan pada asas permusyawaratan perwakilan yang di yakini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural, majemuk,  kemudian di ubah dengan sistim demokrasi mayoritas yang liberal, pemerintah presidensial di tetapkan sebagai pengganti sistim pemerintahan semi-presidensial, Studi F.N Riggs  di 76 negara di dunia ketiga, dari 33 negara yang menggunakan sistim presidensial tidak ada satupun dapat bertahan, atau kesimpulan Scoot Mainwaring yang mengamati sistem presidensil di Amerika Latin yang menyebutkan sistim presidensial dengan  multi partai di 31 Negara yang dipandang paling sukses dalam pelaksanaan demokrasi, ternyata tidak dapat menciptakan demokrasi yang stabil.
Dari segi ekonomi, Amandemen UUD 1945 juga khususnya pasal 33 telah menggoyahkan sendi-sendi sistem ekonomi yang berkeadilan sosial yang dicita-citakan founding father dan membuka pintu bagi sitim ekonomi liberal-kapitalistik yang memang jauh menyimpang dari ide dasar pendirian bangsa ini. Gelombang globalisasi yang terwujud dalam kesepakatan G20, AFTA, dll, memaksa UKM gulung tikar karena kalah bersaing, Untuk keluar dari krisis itu maka agar pemerintah tidak disebut sebagai pelawan/penantang Pancasila dalam skala makro, revitalisasi dan  reaktualisasi nilai Pancasila menjadi mutlak dan dimulai dari komitmen Pemerintah untuk menginternalisasikan nilai kejujuran tanpa kebohongan, keuletan tanpa sandiwara, keperpihakan yang tidak politis, kekeluargaan tanpa individualis, kalau tidak riak-riak perlawanan dari Islam konsevatif akan terus berlanjut, dan Pancasila hanya akan menjadi kata-kata  yang sekedar dirindukan.[]

OTONOMI DAERAH


MORATORIUM DAN PELUANG PEMEKARAN PPS
Oleh: Ridwan M. Said
SUDAH lebih dari satu dekade  perjuangan terbentuknya Propinsi Pulau Sumbawa (PPS) untuk memisahkan diri dari propinsi induknya Nusa Tengara Barat (NTB),  guna terbentuk sebagai Daerah Otonom, Seperti kata pepatah tidak ada perjuangan yang sia-sia, sekecil apapun usaha yang dilakukan pasti akan ada hasilnya, hanya saja hasil yang diharapkan tidak semudah yang dipikirkan.
Perjungan ini sendiri sudah di mulai sejak lama, Tahun 2008 adalah arah baru perjungan tokoh dan masyarakat pulau Sumbawa, pada Pemilukada Gubernur tahun 2008 seorang tuan Guru KH Jainul Majdi dan Badrul Munir terpilih sebagai Gubernur-Wakil Gubernur, dengan terpilihnya mereka ini, cita-cita terbentuknya PPS seakan mendapat energi segar baru (new energy brisk), dengan alasan setidaknya pasangan inilah yang secara terang-terangan menjanjikan untuk memperjungkan terbentukan PPS waktu kampanye. Janji politik ini tentu saja bagi masyarakat pulau sumbawa bukanlah sekedar omong kosong, karena di lihat dari Track Record dan kapasitas Tuan Guru Bajang yang berlatar belakang Kyai mumpun, tentu tidak diragukan, Kyai bukanlah sosok seorang yang mencari keuntungan pribadi atau kelompok, apa lagi bersilat lidah demi kepentingan politik sesaatnya, seperti kebanyakan politisi yang sering pandai bersandiwara.
Hari berlalu tahunpun berganti, masyarakat Pulau Sumbawa terus menunggu janji politik BARU (Bajang-Badrul), dalam kampanyenya bila terpilih akan membentuk PPS paling lambat tahun 2009, namun hingga penghujun tahun 2009 janji itu belum juga muncul-muncul, hingga akhirnya tokoh Pulau Sumbawa bersama seluruh Kepala Daerah menggelar kongres rakyat di Sumbawa. Masyarakat pulau Sumbawa yang jelas punya alasan untuk memisahkan diri dari Propinsi NTB, selain fakta diskriminasi oleh rezim-rezim sebelumnya dalam kebijakan juga faktor sosiologis, budaya yang berbeda antara masyarakat yang berada di pulau lombok (Suku Sasak) dan masyarakat yang berada di pulau Sumbawa (KSB, Sumbawa/ Suku Samawa, Kota dan Kabupaten Bima, Dompu/ Suku Mbojo), kemudian dari segi geografis, kependudukan juga sudah terpenuhi.
Jama’ah Politik
Tuan Guru adalah Jama’ah politik (see jama’ah politics) ia adalah bagian terkecil dari jama’ah jama’ah politik lainnya, dalam konstalasi panggung politik, jama’ah Politik tetaplah jam’ah politik, ia tidak akan menjadi jama’ah tabligh. Karena hanya dikomunitas jam’ah tabligh dogma ihlas, dan kejujuran masih tertancap kuat, apalagi menghianati jamah lain, ceritanya menjadi lain ketika konteks kejujuran, keihlsan masuk pada ranah politik, yang ada di sana adalah kekuasaan, entah dengan “cara” yang bagaimana, merubah idiologipun bisa jadi (baca idiologi) apa lagi mengingkari janji. Dalam konteks lambannya PPS Terbentuk, secara substansi kita tidak bisa menyalahakan Tuan Guru Bajang sepenuh, karena ia hanyalah anggota jama’ah di tengah banyak jama’ah lainnya. Namun bukan berarti sama sekali tidak ditemukan pintu untuk mengkritisnya, ada beberapa alasan yang membuat lamban terbentuknya PPS.
Pertama. Tidak ada kesunguhan (truth) yang besar tuan guru untuk memperjungkan agenda itu, kayaknya agenda itu tidak menjadi prioritas pada paruh pertama dan kedua masa jabatannya mungkin juga tahun-tahun selanjutnya, hal ini dapat di lihat dari lambannya Bajang menandatangani surat persetujuan hasil paripurna DPRD NTB. Kedua. Bargaining Nasional Bajang, memang rekam jejak Bajang cukup bagus dalam karir politiknya, sebelum ia terpilih sebagai Gubernur, sebelumnya ia adalah anggota DPR RI utusan partai PBB, yang pada masa periode 2004-2009 partai itu masih menempatkan wakilnya di parlemen, namun pemilu 2009 partai ini tidak lolos Elektoral Trashoolt, artinya partai PBB yang juga pengusung Bajang tidak punya “taring” politik yang kuat di pentas nasional. faktor inilah yang sangat besar membuat lambannya pemekarang PPS (unfoldment), tokoh utama partai PBB seperti Yusril Ihza Mahendra sampai saat ini masih terombang ambing terlilit kasus Sisminbakum waktu ia menjadi Menteri Kehakiman, Hukum dan HAM, dan besar dugaan terombang ambing atas permainan politik, lebih jelasnya konfliknya dengan SBY.
Ketiga. Sudah menjadi Kebijakan Nasional Pemerintaan SBY dan DPR untuk melakukan moratorium pemekaran Daerah sejak tragedi meninggalnya ketua DPRD Sumatera Utara pada saat demonstrasi di kantor DPRD setempat oleh masyarakat Tapanuli Utara yang meminta pemekaran, tragedi ini semacam menjadi legitimisi Pemerintah Pusat untuk mengambil kebijakan moratorium pemekaran, sekaligus menjadi momen untuk meninjau Daerah-daerah Otonomi yang sudah di mekarkan selama ini lebih-lebih Daerah Kota/Kabupaten, alasan moratorium ini sendiri Pemerintah Pusat dan DPR melihat pelaksanaan otonomi Daerah perlu di evaluasi, sikap ini cukup beralasan, karena mayoritas Daerah Otonomi baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan  rakyat, dari segi anggaran, Daerah-daerah otonomi masih banyak menggantungkan ABPD pada kucuran dana dari pusat, Hasil evaluasi yang dilakukan oleh  Menteri dalam Negeri sekitar 80 porsen dari 205 daerah otonom gagal (Kompas 15/7/2010) dan justru menimbulkan banyak masalah, sebagai contoh hampir semua daerah otonom di Aceh terancam gagal karena lebih dari 75 porsen APBD dihabsikan untuk belanja pegawai dan operasional birokasi, di Timor Tengah Utara terpaksa harus utang pada pengusaha.
Korupsi juga menjadi ancaman, Fenomena Kepala Daerah yang melakukan korupsi bukan lagi hal baru, ada anomali desentralisasi melalui otonomi daerah yang cukup akut, desentralisasi yang mencita-citakan percepatan pembangunan yang akhirnya mensejahterakanna rakyat malah melahirkan raja baru dan kader-kader muda koruptor masa depan. Akibat dari rentetan kegagalan  inilah yang menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru, bahkan banyak pihak mendesak pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi terhadap daerah-daerah otonom yang di anggap gagal, bahkan di gabungkan kembali dengan daerah induknya, bukan tidak mungkin beberapa daerah otonom baru Kota/Kabupaten di NTB untuk di gabungkan kembali dengan daerah induk, kalau mengacu secara yuridis normatif, namun sangat sulit gagasan ini secara politik dapat di realisasikan, karena imbas dan biaya politiknya sangat mahal.
Peluang PPS
Setidaknya ada dua alasan (reason) masyarakat pulau sumbawa untuk menyalahkan Bajang dalam kaitannya dengan keterlambatan pemekaran PPS sesuai dengan janji politiknya, Pertama. mungkin masyarakat menilai Bajang selama ini tidak menjadikan agenda pemekaran sebagai agenda prioritasnya, Kedua. Secara moral kapasitas (capacity) Bajang sebagai pemimpin politik dan Pemerintah yang berlatar  seorang Kyai yang telah mengubar janji pemekaran akan di pertaruhkan, inilah kerugian besar masyarakat NTB dan Indonesia pada umumnya ketika seorang Kyai tidak mampu memenuhi janji yang pernah di ucapkannya, pesimisme dan skeptis masyarakat akan pemimpin yang bersih dan bermoral menjadi taruhan.
Secara politik dan hukum keterlambatan pemekaran dalam hal ini Bajang tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena, kekuatan politik partai pengusung bajang tidak cukup untuk melakukan agenda besar itu di tengah arus transaksional dan oligarki politik, di tambah dengan kebijakan moratarium Pemerintah Pusat walAupun kebijakan penghentian pemekaran ini tidak di tutup sama sekali. Pertanyaannya kemudian seperti apa peluang PPS ?
Sampai januari 2011 lebih dari 181 permintaan pemakaran daerah, dan yang sudah masuk ke DPR 98 permintaan (Kompas, 2/4). Yang jelas saat ini Pemerintah sedang rajin-rajinya menggulirkan wacana masalah ini mulai dari pemekaran dengan ujicoba tiga tahun sebagai daerah persiapan sampai dengan penggabungan kembali daerah gagal. Terlepas dari beragam wacana itu yang jelas yang paling ketat untuk dimekarkan adalah daerah kota/ kabupaten, kalau Propinsi masih ada pelung, namun yang menjadi prioritas adalah Daerah-daerah di perbatasan seperti di Kalimantan, dan untuk sementara PPS belum masuk dalam daftar daerah yang dimintai pemEkaran di kementerian Dalam Negeri maupun di DPR. Kemudian salah satu peluang PPS juga adalah, dengan berpindahnya Gubernur sebagai Ketua partai Demokrat NTB terlepas perdebatan pragmatisme politik, namun itu akan menjadi modal besar sebelum habis masa jabatannya karena bagAimanpun juga kekuatan Partai Demokrat-lah yang menentukan irama politik dan pembangunan Indonesia saat sekarang, dan kalau bajang punya itikat baik ia harus menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin untuk membuktikan janji-janji politiknya, masyarakat PPS menunggu janji-janji itu.[]

KORUPSI


MENGUATNYA PEMBUSUKAN KPK: LUAR & DALAM
Oleh: Ridwan M. Said
Sungguh berat langkah untuk melawan korupsi di negeri ini: pertama, Fenomena langka yang jarang ditemukan Sejak berdiri tahun 2003 silam, dalam putusannya Pengadilan Tipikor sebagai Ending dari kerja lembaga Super Body (KPK) akhirnya muncul juga. Gagasan untuk memperluas jangkauan daya dobrak KPK dengan mendirikan PN Tipikor di tiap Provinsi, kontras dengan cita-cita dengan munculnya vonis bebas beberapa koruptor oleh Pengadilan Tipikot di beberapa Wilayah, (Bandung) vonis bebas Wakil Walikota Bogor, Bupati Subang,  Walikota Bekasi, (PN Tipikor Semarang) Direktur Utama PT Karuni Sejati, (PN Tipikor Jakarta) vonis bebas mantan sekretaris Gubernur Bank Indonesia, (PN Tipikor Surabaya) vonis bebas sembilan perkara korupsi. Kedua, semakin gencarnya upaya pelemahan KPK oleh DPR, Pemerintah, dan pihak-pihak lain.
Bila selama ini hanya Pengadilan Umum yang di identifikasi sebagai surganya para koruptor, dengan venomena pembebasan koruptor yang cenderung meningkat tiap tahun, serta ringannya  vonis yang dijatuhkan. Dengan Rata-rata vonis yang dilakukan selama tahun 2005-2009 adalah 5,82 bulan penjara atau setengah tahun (Ridwan: Suara Mandiri, 20-12-2010). Kalau menigikuti penggolongan (Salaman Luthan: 2007) vonis itu tergolong sangat ringan, penggolongan sanksi pidana yaitu, sangat berat bila lebih dari 12 tahun, berat bila pidana yang dijatuhkan antara 9-12 tahun, sedang bila vonis 6 sampai 9 tahun, ringan bila antara 3 sampai 6 tahun, dan sangat ringan bila kurang dari 3 tahun.
Kondisi ini berbalik dengan vonis yang dilakukan oleh pengadilan tipikor yang tidak pernah memfonis bebas terdakwa sejak 2004-2010, bahkan pengadilan tipikor tidak pernah memvonis hukuman percobaaan maupun vonis dibawah 1 tahun, pengadilan tipikor memvonis rata-rata  50,90 bulan penajara atau 4,24 tahun penjara.
Namun cerita keramat Pengadilan Tipikor yang tidak pernah memvonis ringan serta tidak pernah membebaskan koruptor terhenti setelah pengadilan khusus itu di buka dibeberapa ibu kota propinsi, kredibililatas itu harus terbayar mahal menyusul vonis bebas para koruptor diberbagai daerah oleh pengadilan khusus Tipikor Daerah.
Pertanya mendasar atas kejadian langka itu adalah, apa penyebabnya ? pengadilan tindak pidana korupsi diwilayah sangat mudah tanpa beban, bahkan sangat enteng keluar dari tradisi pengadilan tipikor selama ini yang tidak pernah memvonis bebas para koruptor, dan bagaimana pula kisah nekatnya lembaga DPR menggembosi Pemeberantsan korupsi.
Konstruksi putusan
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh hakim dalam proses mengkostruksi putusan. Permasalahan itu terkait antara lain, lemahnya hakim mengkstruksi dasar-dasar pertimbangan.  Lemahanya hakim dalam menginterpretasikan fakta-fakta hukum, lemahnya kepekaan hakim atas dasar teori dan atau falsafah yang digunakan, serta terkait rendahnya kualitas moralitas hakim (KY: 2007)
Selain Itu yang memepengaruhi kualitas putusan hakim adalah berdasaran ilmu psikologi, memang wajar fenomen putusan hakim yang tidak berkualitas, karena didukung oleh cara hakim mengkostruksi putusan dengan langkah-langkah dalam proses persidangan, pertama-tama hakim mendengarkan dakwan yang dibacakan JPU, lalu hakim baru menyusun cerita (putusan) berdasarkan informasi itu.
Adanya kecenderungan hubungan antara pemaknaan hakim tentang korupsi dengan putusan yang yang dijatuhkan, jika hakim menggunakan pemaknaan sempit tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakawa maka ada kecenderungan hakim menajutuhkan putuan tidak bersalah atau vonis bebas, jika vonisnya bersalah maka sanksinya sangat ringan. Sebaliknya bila hakim mengikuti pemaknaan luas tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa, maka terdapat kecenderungan hakim menjatuhkan putusan bersalah, dan saksi pidananya bervariasi, mulai dari sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat, namun kecenderungannya hakim menajutuhkan pidana dengan kategori ringan.  penafsir luas adalah penafsir yang memaknai korupsi secara materil dengan memasukkan unsur kepatutan dan perbuatan tercela, yang bersumber dari ketentuan hukum tidak tertulis, disi lain penafsiran sempit adalah, penafsiran yang memaknai kosupsi hanya berdasarkan aturan perundang-undangan tertulis dan mengabaikan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
Hasil Penelitian Komisia Yudisial (KY: 2009), dari 195 sampel putusan hakim yang di teliti, ditemukan dalam putusannya telah mengedepankan keadilan prosedural, hal ini terjadi karena disebakan oleh banyak faktor; salah satunya adalah rendahnya pemahamana pembuat putusan terhadap doktrrin-doktrin standar pada satu pihak dan kurang berperannya yurisprudensi sebagai sumber hukum dipihak lain. Kurang  berkualitanya putusan-putusan hakim itu muncul disebabkan oleh: (a) tidak dipetimbangkannya yurisprudensi sebagai sumber hukum selain UU (4,56 porsen) , (b) tidak dipertimbangkannya doktrin-doktrin standar sebagai sumber hukum (3,26 porsen), (c) tidak dipertimbagkannya doktrin standar dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan terdakawa (5,32 porsen), (d) tidak dipertimbangkannya yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan terdakwa (9,28 porsen); (e) tidak dipertimbangkannya hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum (4,81); (f) terjadinya disparitas yang cukup tajam antara sanksi pidana putusan dengan requisitor (2,86 porsen).
Dari Segi Penalaran Hukum, Dari 195 putusan yang diteliti secara umum memperlihatkan  tata penalaran hukum yang kurang berkualitas (50,94 porsen dari 840 jawaban bersifat negatif) besarnya kecenderungan bersifat kurang berkualitasnya putusan-putusan hakim ini terletak pada: lemahnya pemaknaan dasar hukum putusan (5,24 porsen), absennya penafsiran baru oleh hakim atas dasar hukum putusan (11,07 porsen), pengkonstruksian hukum yang lemah (7,98 porsen) dan  tidak dipertimbangkannya dasar hukum diluar undang-undang 1,54 % (KY: 2009).
Busuk Luar, Dalam
Fenomena pembebasan koruptor oleh PN Tipikor dibeberapa Daerah, kian hari mengkhawatirkan, kejadian ini menunjukkan indikasi mulai ambruknya lembaga khusus itu, yang memang ditugaskan oleh rakyat untuk menggusur penyakit sosial yang sudah menggurita yang diberi label Extra Ordinary Crime, ini semacam venomena gunung es setelah beberapa waktu lalu dua Pimpinan KPK (Bibt-Candra) berhasil keluar dari lubang jarum atas tudingan menerima suap dari Anggodo Widjoyo, yang ahirnya diselamatkan putusan Deponnering Kejagung. Disusul tudingan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Najarudin dimana seluruh Pimpinan KPK melakukan pertemuan yang tidak wajar dengan pihak-pihak yang dianggap bermasalah, kemudian dalam putusan komite etik yang berjumlah tujuh orang, memutuskan secara bulat bahwa Busyro Muqoddas dan Bibit tidak melanggar kode etik, sementara Candra, Yasin dan Haryono Umar dinyatakan tidak melanggar kode etik,  namun putusan komite etik yang bekerja dua bulan penuh itu diambil dengan perbedaan pendapat (disseting opinion). Sementra Direktur Penindakan dan Sekjen KPK dinyatakan melanggar kode etik. Ini membuktikan Pimpinan KPK bukan lagi manusia-manusia yang kredibel, dan steril dari kongkalikong dengan arus utama kekuatan politik, bukankah ini membuktikan secara moral telah terjadi pembusukan dari dalam lembaga itu.
Memang harus di akui bahwa dinegeri ini tidak ada yang gratis, apa lagi menyangkut jabatan penting seperti Pimpinan KPK, jabatan itu bukan pemberian garatis apalagi hadiah, semua punya imbalannya, lihatlah kinerja Pimpinan KPK sekarang, hampir kasus kasus besar tidak ada yang tuntas, seperti tudingan Najarudin keterlibatan para petinggi partai demokrat yang bermain dalam banyak proyek APBN, kasus Nunung Nurbaeti sebagai pemberi suap pada kasus cek pelawak DPR, kasus Century, kasus Kemenakertran yang melibatkan Menteri. Pengembangan dari kasus Wisma Atlet dan Kemenakertras KPK menyasar ke Badan Anggaran DPR sebagai tempat berkumpulnya para mafia anggaran sebagaimana pernah disuarakan Kader PAN Wa Ode Ida sebelumnya, sehinggara membuat badan itu memboikot pembahasan anggaran Negara.
 Disinilah titik awal dari pembusukan KPK dari laur, kekhawatiran para pimpinan paratai politik terhadap sepakterjang KPK yang di indikasi mengalihkan isu yang melilit partai demokrat sebelumnya, hinggara para Pimpinan KPK di panggil DPR dengan alasan rapat koordinasi, justru kenyataaannya forum itu beruabha menjadi momen penghujatan KPK, hingga kader PKS Fahri Hamzah mewacanakan pembubaran KPK. niat itu ternyata tidak berhenti sampai disitu, keinginan untuk melemahkan KPK itu diwujudkan dengan menyiapkan naskan revisi Undang-undang No. 30 tahun 2003 tentang KPK, dengan niat memangkas beberapa kewenagan KPK, ini juga membuktikan pembusukan KPK datangnya dari luar yakni dari DPR, juga Pemerintah, yang kalau diukur dari kinerjanya sebagai lembaga yang, cengeng, malas, baik mengahdiri sidangan maupun dilihat dari semakin berkuranagnya RUU yang berhasil disahkan target Prolegnas dari tahun ketahun.
Dengan adanya indikasi terjadi pembusukan pemberantasan korupsi, baik dari dalam, seperti bermasalahnya beberapa pimpinan dan pejabat KPK, yang puncaknya adalah pembebasan koruptor oleh PN tipikor Daerah pertama kali sejak berdirinya pengadilan tindak pidana korupsi. Serta indikasi-indikasi nyata pembusukan dari luar oleh Pemerintah dan DPR yang menyiapkan revisi UU 30 tahun 2003 sebagai dasar hukum KPK, kedepan sangat sulit berharap korupsi dapat dihapuskan dinegeri ini, lalu pertanyaannya kita harus mempercayakan pada siapa pemberantasan korupsi di negeri ini. Kalau berharap pada pemerintah jangan bermimpi sepanjang komitmen nyata tidak ada, begitupun para pimpinan KPK harus mulai mensterilkan diri menajadi karter kasus dan jabatan, kemudian untuk para pioner akhir hukum seperti hakim, sepanjang masih memaknai hukum sebagai undang-undang semata, dan tidak merubah cara memaknai hukum dengan memperhatikan tuntutan masyarakat yang menempatkan korupsi sebagai kejahatan extra ordinary crime, maka pemberantasan korupsi tetap stagnan bahkan akan semakin mundur.[]

HUKUM LIMGKUNGAN


ANOMALI KAPITALIME
(Dilema Advokasi Lingkungan)
Oleh: Ridwan M.Said
 Revolusi perancis yang di ikuti dengan revolusi-refolusi lainnya, seperti revolusi hijau di Inggris, merupakan titik awal dari perubahan pola produksi manusia dan berdampak pada kemajuan di berbagai bidang, di bidang agama misalnya, sebelumnya  monopoli kebenaran miliknya gereja di bagi dengan ilmuwan dan para filsuf, di bidang politik yang sebelumnya di kuasai raja berubah di bawah kekuasaan kedaulatan rakyat, kemudian menciptakan tatanan strata sosial baru yaitu clas borjuis, di bidang, di bidang ekonomi dari sebelumnya menggunakan cara-cara tradisional di geser oleh mesin (industrialisasi).
Abad 18 dan 19 diyakini sebagai awal abad modern, puncaknya adalah abad 20, di tandai dengan peralihan sistim produksi dan penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya, di bidang tehnologi Bom pembunuh massal telah memberangus puluhan ribu nyawa, kasus meledaknya bom nuklir di hirosima, dan Nagasaski di Jepang 1945 oleh Amerika memaksa jepang untuk segera meninggalkan beberapa daerah aneksasi jajahannya sehingga membuka peluang Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Setelah lepas dari cengkeraman konflik (perang dingin) yang berkepanjangan ditandai dengan kekalahan kubu sosialis dipersentasikan oleh Unisovyet yang kemudian luluh lantar, dan Amerika sebagai pihak yang menang ditandai oleh semakin jaya dan ekspansinya kapitalisme yang meniscayakan kompetisi di segal bidang, baik tehnologi, industri, serta eksploitasi sumberdaya alam secara besar-bearan.
Kemenangan pihak kapitalisme dan kehancuran sosialisme secara signifikan merevolusi tampilan peradaban dunia, kapitalisme yang mengusung konsep kebebasan individu, dalam tataran agama mengusung liberalisme, kemudian dalam domain pasar menuntut kebebsasan dan kompetisi, negara praksis hanya menjadi penjaga malam. atau bertugas menjaga stabilitas pasal. Pemain utama dalam percaturan ekonomi dunia kemubdian berpindah tangan dari negara ke coorporation, coorporasi kapitaslime dengan kekuatan modal dan kebebasan pasar menjarah semua sumber daya alam seperti menanam investasi diberbagai bidang, seperti kehutanan, batu bara, migas dan pertambangan, dalam wilayah tehnologi dan infomasi melakukan inovasi dan menciptakan berbagai tehnologi baru. roh dan nyawanya kapitalisme adalah keserakahan, kapitalisme tidak mengenal kata puas.
Ternyata dikemudian hari inovasi dibidang tehnologi, pengerukan perut bumi tanpa terkendali, industrialisasi ini tidak sekedar memberikan konstribusi kemajuan sepeti peningkatan produksi, kemampuan di bidang tehnologi, harpaan hidup yang semakin tinggi, namun juga membawa dampak yang amat mengkawatirkan dunia, seperti pemanasan global.
Global Warming berupa naiknya temperatur global berkisar 1,4-5,8 C, berakibat naiknya permukaan laut 10-20 cm dan akan terus naik sampai 88 cm tahun 2100. kepunahan keaneka rgaman hayati. Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut J. Barros dan J.M. Johnston erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain disebabkan, pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif dan lain-lain. Kedua, Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instlasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangga/tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk anorganik (Absori: 2010).
Indonesai sendiri akibat dari perubahan iklim membuat produktivitas pertanian menurun di sebabkan ketidak jelasan curah hujan, sehingga pendapatan petani semakin kecil. Padahal, dua pertiga warga miskin di Indonesia berada di pedesaan dan mengandalkan hidupnya dari pertanian, dan otomatis berimbas pada peningkatan kemiskinan. Diramalkan, pada 2050 terjadi defisit gabah kering sebesar 60 juta ton.
Dampak dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang amat mencemaskan dan menakutkan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia secara lebih luas dapat berupa, pertama, pemanasan global, telah menjadi isu Internasional yang merupakan topik hangat di berbagai negara bahkan di berbagai negara seperti Australia misalnaya muncul “Partai Hijau”. Dampak dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim secara global dan kenaikan permukaan laut, dakibat pemanasan global, Dari 13.466 jumlah pulau Indonesia sebanyak 12 pulau terluas terancam tenggelam, setiap tahunnya laut indonesia naik 5-10 cm. (Kompas, 21/5).
 Kedua, hujan asam, disebabkan karena sektor industri dan transportasi dalam aktivitasnya menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara yang dapat menghasilkan gas buang ke udara. Gas buang tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Pencemaran udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar, terutama bahan bakar fosil mengakibatkan terbentuknya asam sulfat dan asam nitrat. Asam tersebut dapat diendapkan oleh hutan, tanaman pertanian, danau dan gedung sehingga dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian organisme hidup Ketiga, lubang ozon, ditemukan sejak tahun 1985 di berbagai tempat di belahan bumi, seperti di Amerika Serikat dan Antartika. Penyebab terjadinya lubang ozon adalah zat kimia semacam kloraflurkarbon (CFC), yang merupakan zat buatan manusia yang sangat berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti untuk lemari es dan AC.
Sebagai reaksi dari akibat pembangunan dan industrialisasi yang telah menyebabkan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan, di seluruh dunia sedang terjadi gerakan yang disebut gerakan ekologi dalam ((deep ecology) yang dikumandangkan dan dilakukan oleh banyak aktivis organisasi lingkungan yang berjuang berdasarkan visi untuk menyelematkan lingkungan agar dapat berkelanjutan. Gerakan ini merupakan antitesa dari gerakan lingkungan dangkal (shallow ecology) yang berperilaku eksplotatif terhadap lingkungan dan mengkambinghitamkan agama sebagai penyebab terjadinya kerusakan alam lingkungan. Gerakan ini beranggapan bahwa bumi dengan sumber daya alam adanya untuk kesejahteraan manusia. Karena itu, kalau manusia ingin sukses dalam membangun peradaban melalui industrialsiasi, bumi harus ditundukkan untuk diambil kekayaannya.
Upaya Dunia Internasional.
Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang terus terjadi, membuat kekahwatiran masyarakat dunia terhadapa kelangsungan bumi semakin meningkta, upaya-upaya itu di tunjukan pertama kali melaui Deklarasi Stockhom yang di prakarsai oleh PBB 1972, kemudian Deklarasi Rio Dejaneiro 1992, di ikuti KTT Bumi di Johannesburg-Afrika Selatan 2002, KTT Bumi 2002 yang dikenal dengan Wold Summit on Sustainable Development di Johanesburg, telah merumuskan deklarasi politik pembangunan berkelanjutan dengan agenda bahasan dokumen berisi program aksi (the programe of action) dan deklarasi politik (the political declaration) tentang pembangunan berkelanjutan yang merupakan pernyataan kelanjutan dukungan terhadap tujuan agenda 21. Agenda 21 berisi kesepakatan mengenai program pembangunan berkelanjutan, yang harus ditinjaklanjuti oleh negara-negara peserta konferensi Rio de Janeiro tahun 1992.
Kesepakatan agenda 21 melalui deklarasi pembangunan dan lingkungan hidup di Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992 sebenarnya merupakan sebuah kemenangan dari misi menyelamatan bumi yang didorong oleh semangat gerakan ekologi dalam (deep ecology). Kesepakatan ini memuat pandangan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam kehidupan lain, yakni bagian alam bumi (biosfir), sehingga perilaku perusakan dan pencemaran pada sebagian bumi pada suatu negara dipandang sebagai perilaku yang tidak etis. Bumi dan sumber daya alam dipandang sebagai sesuatu yang memiliki hak hidup seperti manusia karena semuanya merupakan ciptaan Tuhan
Prinsip dasar pembangunan berkelanjutan meliputi, pertama, pemerataan dan keadilan sosial. Dalam hal ini pembangunan berkelanjutan harus menjamin adanya pemerataan untuk generasi sekarang dan yang akan datang, berupa pemerataan distribusi sumber lahan, faktor produksi dan ekonomi yang berkeseimbangan (adil), berupa kesejahteran semua lapisan masyarakat. Kedua, menghargai keaneragaman (diversity). Perlu dijaga berupa keanegaragaman hayati dan keanegaraman budaya. Keaneragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan yang akan datang. Pemeliharaan keaneragaman budaya akan mendorong perlakuan merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
Deklarasi Je Deneiro telah di ratifiksi oleh Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1994. yang merupakan komitmen untuk menurunkan emis gas rumah kaca, untuk merumuskan itu telah di tindak lanjuti dengan peragkat dan tata cara pelaksanaannya melalui Protokol Kyoto (1997) yang berisi komitmen negara-negara industri untuk mengurangi emisi paling sedikit 5 porse sampai tahun 2012, kyoto ini telah di ratifikasi oleh lebih dari 130 Negara namun sayang terkendala oleh ketidak siapan AS dan Australia yang tidak mau menandatanganinya, padahal emisi yang dihasilkan oleh AS sekitar 27 porsen dan Negara eropa lainnya 53 porsen, sementara negara berkembang lainnya hanya 30 porsen. Tahun 2002 di Bali telah dilaksanankan KTT Konsep pembanguan berkelanjutan oleh negara-negara berkembang pada, pada konverensi ke 13 Converence Of Paties juga dilaksankan pada tahun 2007 di Bali, kemudian dilanjutkan di Denmark tahun 2009 Converence Of Paties ke-15, dan dilanjutkan di “Thailan tahun 2010”, LAGI-LAGI negara maju seperti AS tidak menyepakatinya.
Untuk menurunkan emisi gas rumuh kaca Indonesia dan Norwegia mei 2010. telah menandatangani kerja sama melalui program REDD+ dengan cara deforestasi dan degradasi hutan serta konservasi keragamaan hayati. dengan janji norwegia merikan hibah 1 Milyar Dolar AS. Presiden SBY mengeluarkan Kepres 19 tahun 2010 mengenai pembentukan Satgas persipan pembentukan kelembagaan REDD+ yang di ketuai Kuntoro Mangkusubroto, target penurunan karbon 26 porsen yang sudah di tanda tangani melui letter of intent (Lol) (Kompas, 20/5), selain itu pemerintah juga sudah menandatangani kerjasama UN-REDD+ dengan Jerman, Jepang, Australia, Korea Selatan.
Isi LOI Indonesia Norwegia itu tidak sekedar moratorium, namun juga termasuk mengelola lahan terdegradasi, penegakan hukum kehutanan, dan antisipasi konflik masyarakat. tindak lanjut dari Kepres 19 tahun 2010 Presdiden SBY menandatangani instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian ijin baru dam penyempurnaan tata kelola hutan alam, primer dan lahan gambut. yang sudah tertunda 5 bulan, guna mendapatkan kucuran dana dari Pemerintah Norwegian sebesar 1 milyar dolar AS, dengan tahap pertama 30 juta dolar AS, tapi sayang ijin hutan sekunder masih tetap diberikan.
Di Brazil upaya mengurangi emisi karbon dilakukan dengan program yang di sebut dengan Juma yaitu memberikan uang sekitar 50 dolar AS  atau Rp. 430.000. kepada mayarakat agar tidak membabak hutan, program ini di sebut  pola bolfa floresta oleh perusahaan-perusahaan asing kelas Dunia, pertama kali bergulir 2008 di areal 589 hektar hutan lebat. proyek ini sampai tahun 2050 di yakin akan mencagah pembabatan hutan sampai 62 porsen dan menghemat pelepasan karbon sampai 210.000.
Indonesia adalah korban sekaligus pelaku dalam konteks perubahan iklim, karena perilaku eksploitatif, dalam pemanfaat sumber daya alam, pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam, secara masif tanpa memperhatikan standar REDD+, pembukaan lahan secara masif, industri perkebunan, pengusahaan hasil hutan, Pulp, dan pertambangan, pembukaan kebun kelapa sawit 300 sampai 400 hekatar pertahun, dari 7,9 lahan berijin kebun sawit 2,1 juta hektar di kuasai 10 perusahaan. (Kompas 20/5) dilemanya adalah satu sis negara mendapat penerimaan dari sektor industri nonmigas, tahun 2010 sektor batu bara nilainya 17,7 milyar dolar AS, atau 14 porsen total ekspor nonmigas di ikuti CP0 13,6 milyar dolar AS dan Pulp 5,5 milyar dolar AS.


Dilema Instrumen Hukum Lingkungan.
Indonesia dengan posisi sebagai salah satu negara yang memiliki hutan terbesar didunia, dan berada pada garis khatulistiwa, membuat dunia internasional menaruh perhatian yang cukup besar pada kelangsungan hutan yang dimiliki indonesia, dunia internasiona dalam rangka menjaga hutan itu, tidak sekedar mebantu kucuran dana namun juga pemantauan penindakan atas pencemaran lingkungan dan kerusakan hutan.
Bencana alam yang terus malanda baik gempa bumi, banjir, longsor setidaknya disebabkan oleh pembabakan liar dan perambakan hutan oleh masyarakat lokal, idustrialisasi, pertambangan adalah antek-antek kapitalisme yang paling besar konstribusinya dalam kerusakan lingkungan.
Untuk itu Indonesai telah mengeluarkan berbagai aturan hukum untuk melindungi, memelihara, memulihkan dan mencegah kerusakan lingkungan, bahkan sebelum kemedekaan telah ada hukum yang melarang kerusakan lingkungan, pasca kemerdekaan lahir UU 14 tahun 1982, kemudian UU No. 23 tahun 1997 yang digantikan oleh UU 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, rangkaian undang-undang itu juga melahirkan berbagai praturan pelaksan dan turunannya, sperti uu tentang pertambangan, kehutanan, Penanaman Modal Asing, PP tentan perijinan, Amdal, dll.
Aturan Hukum Indonesai memperkenalkan dalam penyelesaian kasus lingkungan hidup mengenal dua model penyelesaian, pertama dengan cara penyelesaian jalur pengadilan yang terdiri dari tiga intrumen yakni admisntrasi (PTUN dan Legal Standing), pidana, dan perdata yang dibagi lagi atas pilIhan gugatan perata bisa dengan dasar pasal 1365 KUHP Perdata, Calass Action, dan Legal Standing. Kemudian melaui jalur informal adalah dengan cara mediasi, arbitrase dan negosiasi.
Masalahnya kemudian adalah ada fakta menunjukan bahwa sebagain besar masalah lingkungan yang diselesaikan lewat jalur formal atau pengadilan selalu mengalami kebuntun bagi rakya korban pencamaran dan kerusakan lingkungan, atau selalu di menangkan oleh pihak perusahaan.
Prof. Ansori yang melakukan penelitian pencemaran dan kerusakan lingkungan di Jawa Tengah menyimpulakan penyelesaian sengketa lingkungan melaui jalur formal tidak efektif, maka cara terbaik yang lebih efektif dan menguntungkan semua pihak lebih-lebih masyarakat lemah adalah melaui jalur non formal dengan pendekatan coperatif dan partisipatif,  dengan Alternativ Dispate Resolusion (ADR), ini di akibatkan oleh aparat penegak hukum belum berani keluar dari pemahaman hukum yang positif-formal, dalam berbagai kasus gugatan diajukan masyarakat melalui class action atau legal standing, majelis hakim lebih memilih pendekatan positifistik dengan mengunakan instrumen hukum berdasarkan pada apa yang di atur dalam KUH Perdata dan KUHAP dan menggunakan pendekatan penanganan kasus tersebut di anggap sebagai pesoalan atau guguatan perdata biasa (Absori: 2009)
Selama penerapan UU Nomor 23 Tahun 1997  yang diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 hingga saat ini, masih banyak pelaku pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang tidak tersentuh oleh hukum. Kalaupun berlanjut ke pengadilan, seringkali putusan pengadilan belum dapat memenuhi rasa keadilan bagi lingkungan. Berdasarkan data kasus tahun 2009 s/d 2010 yang sampai disidangkan di pengadilan,  hakim memutuskan 5 kasus vonis penjara, 14 kasus vonis bebas murni dan 1 kasus vonis percobaan. (SI Jakarta, 16/12/2010).
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kecenderungan mendorong penyelesaian perselisihan sengketa pertanahan secara formalistik dari pada membantu proses penyelesaian lewat mediasi. Komnas HAM menerima laporan pada tahun 2010 5.500 dari seluruh derah di indonesia, tahun 2009 laporan yang masuk sebanyak 5.400 sebanyak 40 porsen dari total kasus itu merupakan konflik pertanahan atau senhgketa di lahan sumber daya alam. Pemerintah selalu melakukan penyelesaian konflik itu dengan jalur formal hukum dan hasilnya 90 porsen di mengankah oleh pengusaha garafik itu tidak pernah turun, semakin lama semakin akan semakin membesar. (Kompas 14/ 4).
kegagalan penyelesaian masalah lingkungan hidup selama ini selain karean tidak adanya political will pemerintah, serta intev
nsi politik yang cukup kuat, juga dalam tubuh uu itu sendiri, dilema ini sangat terasa konyol ketika mencemati instrumen hukum yang digunakan, padahal secara normatif hukum lingkungan cukup konprehensif namun misalnya dengan kekhususannya menggunakan tiga intrumen hukum sekaloigus (administratif, perdata dan pidana), dalam gugtan perdata misalnya sangat sulit membuktikan kesalah, legal standing misalnya ada tidak meberikan runga untuk minta ganti rugi, , begitupun PTUN, pidana juga hanya sekedara mimpi dan pajangan, satu-satunya instrumen yang dapat memberikan peluang ganti rugi masyaratak adalah hukum perdata biasa Class Action itupun sangat sulit di menangkan oleh rakyat kecil.[]

Materi ini pernah Disampaikan pada diskusi rutin Forum Mahasiswa Pascasarjana (FMPS) NTB-Surakarta, pada hari sabtu malam 21 mei 

HUKUM LINGKUNGAN


KEKUATIRAN YANG BERALASAN !
Tanggapan atas tulisan “Kekuatiran Yang Tak Beralasan”
Oleh: Ridwan M. Said*
WALAPUN berita “Bima Membara” yang sempat mengheboh menjadi issue nasional, karena secara intensif diangkat oleh berbagai media local maupun nasional baik cetak maupun elektronik mewarnai paroh akhir bulan desember 2011 berlanjut sampai pada awal januari 2012. Tragedi yang menyebabkan meninggalnya dua warga Lambu (versi Polisi) serta beberpa orang lainya luka-luka akibat tembakan brutal aparat, bukan berarti tragedy itu hilang sama sekali dalam wacana public, terutama di tingkatan local Bima, namun anehnya arah wacana para elit, terutama elit daerah semakin mengarah pada perdebatan motif lain dibalik gerakan masyarakat Lambu, Bupati Bima mensinyalir gerakan penolakan tambang di susupi kepentingan politik, sehingga sang Bupati menantang lawan politiknya bertarung melalui jalur yang sehat dan etis pada 2015 nanti (SM/9/1).
Terlpas dari semua perdebatan motif sesuai yang disinyalir oleh Bupati Bima (Ferry Zulkarnain, ST), tulisan saudara Taufikurrahman, ST (dalam tulisan ini akan di singkat TR) dalam media ini di kolom opini (SM, kamis, 05/01) bagi saya cukup mengusik perasaan kemanusian, tulisan yang berjudul “kekuatiran yang tidak beralasan,” karena ada beberapa poin penting yang menurut saya sangat tidak arif dan cenderung menyepelekan jatuhnya banyak korban jiwa.
Dari tulisan saudara TR tersebut pesan pokok penting yang ingin disampaikannya yaitu, kepercayaan beliau pada teori (ilmu geologi) dan regulasi (Amdal) pengelolaan pertambangan, ia menyatakan dalam paragraf tiga, secara keilmuan geologi wilayah Bima terletak pada zona tumbukan lempeng Benua dan lempeng Samudera (stubduction zone) sehingga wilayah Bima berpotensi sebagai wilayah pertambangan. Kemudian di paragraf empat disebutkan  kegitan PT. SMN adalah masih pada tahap eksplorasi sehingga ia menuding kekuatiran masyarakat Lambu akan tercemarnya sumber mata air sebagai kekuatiran yang membabi buta, sangat berlebihan, dan keliru yang cukup parah. Dan memang pencemaran dan kerusakan masih agak jauh, karena masih ada rangkaian pajang yang harus dilewati dalam Usaha pertambangan yang meliputi tahapan kegiatan, penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang (pasal 1 ayat (6) PP No 22 2010). Selanjutnya pada paragraf lima beliau kembali menyatakan kekuatiran itu tidak beralasan, terlalu dini, karena segala pertimbangan dampak akan dituangkan dalam Amdal. Secara pribadi penulis menilainya tulisan TR sebagai sikap yang tidak arif, walaupun mungkin saja pada dasarnya memiliki niat “baik” untuk menjelaskan dampak pertambangan dalam perpektif dunia kelimuan “teori.” dan Jaminan regulasi (Amdal) dari wilayah teknisnya saja sesuai dengan yang diungkapkan beliau pada paragraf dua.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan saya menilai saudara TR tidak arif, dan sekaan tertutup oleh awan kegelapan teori dan Regulasi, serta terselip nafsu mendukung hadirkan pertambangan di Bima, mungkin sikap kita sama dalam menempatkan teori dalam domain cita-cita/ide (dassein) yaitu berfungsi menjelaskan (to explain), meramalkan (to predict), dan mengendalikan (to control) (J. Suprapto: 2009), namun perbedaan kita yang menonjol adalah pada tataran kenyataan (dassolen), dalam kenyataan walau tidak jarang antara keinginan dan kenyataan sama atau antara ajaran teori dan realitas, namun untuk menghitung gap antara cita-cita dan kenyataan tidak habis tinta tentang ketimpangannya, bahkan dalam sejarahnya “teori” pernah menjadi tragedi kemanusiaan sepanjang abad manusia, kita masih ingat dengan teri Nowton yang memaksakan kenyataan harus sesuai dengan teori, padahal teori hadir untuk mengabdi untuk memecahkan kenyataan hidup.
Selain itu teori itu terbatas, secara terotis mungkin “benar” bahwa aktifitas pertambangan tidak akan mengganggu mata air karena akan ada cara untuk mengantisipasinya, akan tetapi kasus lumpur Lapindo cukup menjadi bukti kegagalan teori dan regulasi, sampai saat ini proses ganti rugi dan penutupan lubang semburun panas itu belum ditemukan cara yang tepat, terlepas ada alasan macam-macam, namun bukankan ini menunjukan keterbatasan teori, dan teori hanya mampu menangkap hal-hal yang rasioanal dan empirik saja, sementara masyarakat lokal disamping rasional juga mempercayai hal-hal yang irasional atau metafisik, seperti mitos, kutukan Allah swt, dll, jadi wajar kekuatiran mereka beralasan, karena cakupan jangkauan cara berpikir dan perdiksi mereka lebih luas dari jangkauan teori yang saudara TR paparkan, dan ingat Brian Z. Tamanaha pernah menyatakan “teori modern” dibangun diatas pembangkangan terhadap “Tuhan,” karena sikapnya yang mengagungkan rasio, tanpa melibatkan kalbu sebagai tempat bersemayamnya nilai-nilai keyakinan dan ketuhanan.
Selanjutnya teori dan regulasi bukanlah mahluk, ia bergantung (variable dependent) pada siapa yang menggunakannya (variable independent), artinya baik buruknya materialisasi dari gagasan itu bergantung  pada siapa yang mempraktekkannya, dalam dunia bertambangan tentu saja yang mengendalikannya adalah investor, perusaahan pertambang adalah salah satu dedengkoknya kapitalisme, neoliberalisme dan neokolonialisme, dalam logika kapitasme “provit” adalah rumusan utama, idiologinya adalah kerakusan (greediness), tidak ada obat mujarab yang dapat mengobati penyakit kerasukan kapitalisme, perangkat praturan perundang-undangan tentang kehutanan, pertambangan, lingkungan hidup dan renegosisasi kotrak karya pertambanagn telah dikeluarkan guna membatasi kerakusan perusaahaan pertambangan, namun pihak investor tidak mau menaatinya, lihat saja dominasi saham asing di PT. Frepoort, dll. Pertambangan dioperasikan atas kemauan perusahaan bukan kemauan kumpulan Ustad, Kyai atau Tuan Guru yang memiliki sikap dan padangan seimbang dan harmonis, baik secara horizontal maupun vertical.
Sementara masalah pokok lingkungan yaitu pencemaran (pasal 1 angka 14 UU 32/2009) dan kerusakan LH (Pasal 1 angka 6 UU 32/2009), hampir kebanyakan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, hama wereng, dan berbagai penyakit aneh lainnya yang muncul belakangan ini diakibatkan oleh kerusakan dan pencemaran lingkungn melalui aktifitas industri lebih khusunya pertambangan.
Dari segi janji kesejahteraan, memang harus diakui ada penambahan pemasukan untuk APBD walau nilainya sangat  kecil ketimbang yang didapat pihak investor, secara kasat mata di daerah-daerah pertambangan yang kaya akan mineral, dan batu bara, seperti di Papua, Sumbawa, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, hampir tidak ditemukan kelebihan yang menonjol dari daerah daerah itu, Papau misalnya sampai sekarang masih belum beranjak dari kondisi semua serba tertinggal, seperti  kemiskinan, kesehatan, pendidikan, di NTB tidak ada keunggulan yang menonjol yang dialami masyarakat KSB. Disamping itu setiap aktivitas pertambanganga selalu diikuti oleh munculnya kawasan prostitusi disekitar daerah itu, alasannya cukup sederhana, yakni para kariyawan yang bekerja diwilayah pertambanagn dengan gaji besar akan menjadi bidikan baru para pebisnis prostitusi dan juga warga sekitar yang tidak beruntung secara ekonomis, kondisi ini tentu saja sangat di khawatirkan oleh masyarakat Lambu.
Dari segi penegakan hukum, selama keberlakuan  UU 32 tahun 2009 tentang pencemaran dan perlindungan LH, hasil evalusai menteri LH dan beberapa lembaga pemerhati LH hampir mustahil ditemukan adanya sanksi tegas dari pemerintah terhadap perusahaan pelaku perusakan dan pencemaran LH, itu artinya sangat tipis peluang dimenangkan oleh kelompok masyarakat local bila suatu saat muncul masalah LH, karena yang dihadapi adalah pihak corporation yang rakus dan dapat melakukan apa saja, bahkan mereak bisa mengendalikan kekuatan kekuasan politik, birokrat, dan para penegaka hukum, ditambah lagi instrument hukum lingkungan yang sama sekali tidak berpihak para rakyat kecil sebagai korban pencemaran dan kerusakan LH.
Jadi dalam melihat persoalaan alasan perlawanan masyarakat Lambu tidak cukup melihat dalam perspektif keilmuan “teori” dan regulasi (peraturan perundang-undangan) saja, namun harus dilihat secara komprehensif, dalam domain fakta yang tersuguhkan masa lalu, kini dan yang akan datang, karena ajaran teori disamping berpeluang keliru dan terbatas, juga bergantung pada factor lain, terutama, faktor pelakunya seperti political will pemerintah, niat baik perusahaan, keperpihakan penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), bukankah semua pihak yang disebutkan diatas dalam kenyataannya masih dalam kondisi minus kepercayaan oleh rakyat.[]

DEMOKRASI


PENJELAJAHAN DEMOKRASI IDEAL
Oleh: Ridwan M. Said
 Kehidupan berbangsa di negeri ini hampir tidak pernah luput dari pangggung sandiwaranya para elit, setelah dihebihkan dnegan bebrabagi skadal korupsi yang melibatkan berbagai elit parpol, baik yang duduk di legsialtif maupun de eksekutif, kalai ini media diraimakan dengan dua perdebatan isu tentang ambang batas bagi partai yang berhak menemp-atkan wakilnya disenayan, dan sisitim penetapan caleg terpilih aoakah sistim prporsinal terbuka atau tertutup. Atau campuran.
bila sebelumya terjadi perbedaan sikap terhadap pemneurukan panja mafia pajak dan bank century  oleh beberapa paratai koalisi pndukung p;merintah yang tergabung dalam setgab, kali ini Perdebatan tentang tentanga ambang batas (electoral tresholt) dan sistim penetapan caleg terpilih pemlu legislati 2014 ini kembali memecakan kekuatan konsolidasi partai koalisi pendukung pemerrintah.
Kekuatan itu setidaknya terbagi atas dua kekuatana, kekuatan pertama terganung pdip, golkar dan emokrat yang mengunginkan ambang bats 4-5 porsen, sementara kekuatan kedua di usung oleh paratai menengaha dan kedil 2-3 porsen yang di ususng oleh PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, Gerindra. Yang menarik adalah partai peguasa dan partaai koalisis memiliki sepemahaman yang sama. Perpecahan paratai kolaisis pendukung pemrintaha ini menunjukan sekali lagi sebagai bentuk ketiadaan ketiadak mampuan setgab, ini wajar karena koalisi yang dibangun baukan atas kesamaanan visi politik sebagai cerminan dari garis perjuangan idiologis, namun perkumpoulan setragas tidak lebih sebagai perkumpulan untuk bagi-bagai jatah kekuasaaan.
Dibalik perdebatan ambang batas dan sisitim penetapan caleg, menyimpan momen penting paling menarik yang tepat, yakni mereview kembali pengkhianatan terhadap konstitusi dan berbgaai implikasinya.
Penjelajahan Bangsa Indonesai untuk mencari sosok demokrasi yang efektif sejak 1945 sampai saat ini sosok yang bernama demokrasi ideal untuk Indonesia itu belum juga kunjung ditemukan, sejak 1945 Indonesai sudah melakukan beberapa kali eksperimen bentuk demokrasi mulai dari demokrasi mayoritas atau pemerintahan presidensial, namun fakta menunjukan demokrasi model ini justru membuat pemerintahan tidak stabil, dalam 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet, kemudian eksperimen selanjutnya ialah era demokrasi terpimpin dengan tiga arus kekuatan politik utama dengan konsep NASAKOM (Nasionalis, Agamais, dan Komunis), justru konsep ini menjadi duri dalam daging, sehingga membuka runang tampilnya rezim Orde Baru dengan Soeharto sebagai nahkodanya, Soeharto menggunakan demokrasi permusyawaratan perwakilan untuk mengelola negara, justru nasibnya juga tetap sama. Lalu setelah terjadi pergantian rezim dari Orde Baru ke orde reformasi eksperimen demokrasi yang efektifpun di lanjutkan dengan menerapkan sistem pemerintahan presidensial dengan demokrasi mayoritas yang kemudian mengulangi cerita lama kegagalan demokrasi di negeri ini, demokrasi pasca reformasi yang dipenuhi oleh sikap elit politik dan masyarakat yang majamuk telah melahirkan demokrasi sentrifulgar.
Penjelajahan panjang bangsa Indonesia untuk menemukan sosok demokrasi ideal, telah melewati beragam dinamika dan tantangan, mulai dari konstitusi UUD 1945 ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 (terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal).  digantikan oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada 27 Desember 1949, pada 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS digantikan oleh Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali di Indonesia hingga di amandemen sampai empat kali dari tahun 1999-2002.
Hasil amandemen ke IV UUD 1945  yang paling dikritisi adalah hilanya wacana negara kekeluargaan .jang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara, ialah semngata, semngat para penyelenggara negara, semngat para pemimpin pemerintahan. Meskipoen dibikin oendang-oendang dasar jang menoeroet kat-katnja bersifat kekeloergaan, apbila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahn itoe pasti tidak ada gunanja dalam praktek.
Petikan kalimat di atas adalah penjelasan yang tercantum dalam UUD 1945 yang asli, yang merupakan domumen historis, dokumen politik dan dokumen hukum, dan merupak mazhab pembentukan negara ini, yang telah dihapus dalam amandemen UUD 1945 yang ke empat tersebut. Hilangnya dokemen itu merupakan pemutusan mata rantai sejarah filosofi pembentukan bangsa Indonesai yang memiliki semangat kekeluargaaan merupakan kotektualisasi paham kolektivisme yakni mazhab yang bertentangan dengan indivudualisme.
“bangsa Indonesai secara sosial budaya dalah bangsa yang bersifat kolektivistik karena sikap, pemikiran, perilaku dan tanggung jawab seorang warga bangsa kepada kolektivitasnya berada di atas kepentingan indivudu. Oleh karena itu, negara RI didirikan dengan berlandaskan semangat kekeluargaan yang merupakan kontekstualisasi paham kolektivisme dengan corak budaya bangsa Indonesia”.
Pembentukan negara modern biasa dipengaruhi oleh dua paham pemikiran tentang hubungan negara dan warga negara. Penidasan para raja-yang seringkali mempersonifikasikan diri sebagai negara l’etat c’st moi-selama berabad-abad di eropa setelah mendorong kelahiran gerakan renaissance, yang mengakui hak individu dari setiap warga negara.[1]
Paham kedaulatan (sovereignty) yang termanisverstasi pad sikap Individualisme merupakan bagian dari gerakan sekulerisme, sementara paham sekulerisme adalah puncak dari gerakan gagasa ndemokrasi modern dan negara modern.[2]
Paham individualisme yang di kembangkan oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke, Jean Jacqued Rousseau, Herbert Spencer dan H.J. Laski, talah mewarnai seluruh aspek kehidupan bangsa-bangsa barat dan menjadi nilai dasar dalam sitem sosial, ekonomi dan sistem politik demokrsi yang berkembang pesat, setelah bangsa eropa mengalami penindasan oleh para penguasa absolut dalam negara monarki absolut, menurut paham individualisme, negara ialah masyarakat hukum yang di susun atas dasar kontrak antara seluruh iondividu dalam masyarakat (social contract).[3]
Antitesi dari paham individualisme adalah paham kolektivisme yang beranggapan bahwa individu tidak mempunya kekebasan absolut, kesamaan idiologi atau keunggulan ras adalah dasar dlam penyusunan negara yang terdiri dari pemimpin atau parata yang merupakan supra struktur dalam masyarakat sebagai struktur. Lalu paham ini kemudian mengalami perkembangan kecenderungan menjadi pemerintah dikatator totaliter seperti yang dipraktekkan oleh bangsa Jerman pada masa Hitler, Uni sovyet dan Italia  masa komunisme, juga mao-ze-dong di RRC.
Paham kolektivisme mempunyaio beberapa cabang pikiran di antaranya diperkenalkan oleh marx, engels dan lenin dengan teori klas (class theory). Negara dia anggap sebagai alat untuk menindas kelas yang lain. Kelas yang kuat menindas kelas yang rendah. Negara kapitalis adalah alat golongan elit menindas kaum buruh, untuk itu satu-satunya cara ialah melakukan revolusi buruh untuk mengkhiri enidasan itu.
Kemudian cabang yang lain dari teri kolektivitas adalah apa yang kemduain di kenal dengan teori integrasi yang di perkenalkan oleh spinoza, adam mouller, hegel dan gramski,mereka menyatakan negara didirikan bukan untuk menajami kepentingan idividu atau golongan akan tetapi menjamin masyarakt seluruhnya saebagai satu kesatuan (holistik).
Dalam konteks Indonesia berdirinya negara ini merupakan berangkat dari pikiran filosofis dasar negara itu yaitu paham kolektivisme kekeluargaaan bukan kolektivisme ala sosialis yang dikatatorian atau individualisme model parat yang kapitalistik, kolonialstik dan imperialisme.
Setelah amandemen undang-undang dasar 1945 sebanyak empat kali sejak 1999 sampai 2002, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam sistem politik dan pemerintahan NKRI.[4] di samping membawa banyak manfaat dan kemajuan dalam ketatanegaraan, yang berimplikasi pada tegaknya Hak-Hak Asasi, seperti “kebebasan berekspres” melalui instrumen hukum yang fair dan demokratis, namun juga meninggalkan beberapa lubang yang menganga, di antara banyak lubang/ atau kelemahan yang menuai kritikan adalah Sistim demokrasi konsensus yang berdasarkan pada asas permusyawaratan perwakilan yang di yakini sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural, majemuk, kemudian di ubah dengan sistim demokrasi mayoritas yang lebih sederhana yang kemudian di anggap juga cocok dengan mayarakat yang berstruktur sosial-budaya homogen.
Demikian juga sistem pemerintah presidensial di tetapkan sebagai pengganti sistim pemerintahan semi-presidensial, padahal, sistim presidensial dalam penelitian Scott Mainwaring di XX negara hanya mampu bertahan pada sistem politik dengan struktur kepartaian sederhana.
Akibat sisitim presidensial pasca amandemen, Pada sistim pemerintah presidensial dengan format multi partai tidak di dukung oleh check and balances yang efektif antara cabang eksekutif dan legislatif, akibat dari amandemen yang menggunduli kekuasaan presiden secara besar-besaran telah menimbulkan implikasi konstitusional baru yaitu akumulasi kekuasaan yang terlalu besar pada legislatif, akibatnya pemerintahan tidak stabil.[5] cita-cita bangsa yang berkarakter kekeluargaan atau indigesasi dari koloktivisme sebagaimana gagasan Bung Hatta, bukan pula kolektivismenya Hitler dan Mosolini yang di landasi oleh keungglan Ras, ataupun kolektivisme Lenin dan Stalin yang dilandasi dominasi idiologi atau pula Mao-Ze Dong.[6]
Banyak negara yang baru merdeka  memilih model pemerintahan sistem presidensil dalam kenyataanya terbukti secara empiris akhirnya gagal mempertahankan stabilitas pemerintahan  Mereka mendasarkan pada Studi F.N Riggs  di 76 negara di dunia ketiga, menyebutkan tidak ada satupun dari 33 negara yang menggunakan sistem presidensial yang dapat bertahan, atau kesimpulan Scoot Mainwaring yang mengamati sistem presidensil di Amerika Latin yang menyebutkan sistem presidensial dengan  multi partai di 31 negara yang dipandang paling sukses dalam pelaksanaan demokrasio, ternyata tidak dapat menciptakan demokrasi yang stabil.[]




[1] Ibid, hlm. 13.
[2]Aidul Fitriziada Azhari, Menemukan Demokrasi, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2005, hlm. 9-11.
[3] Sofian Effendi, Op. Cit.,hlm. 13.
[4] ibid. hlm. V.
[5] Ibid.
[6] Ibid, hlm. V1.

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...