Kamis, 21 Maret 2013


DAGELAN POLITIK SBY
Oleh: Ridwan HM Said.

            MEMBICARAKAN Indonesia pasca Orde Baru berarti kita harus siap masuk pada wilayah “Perdebatan” (controversion) yang tidak berkesudahan, ada banyak hal yang membuat bangsa ini tidak pernah sepi (Quiet) dari perdebatan dan perbicangan panjang, mulai dari masalah Demokratisasi, Desentralisais, Otonomi Daerah, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kebodohan, kesakitan (kesehatan), penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), konflik horisontal, politik luar negeri  hingga kebohongan rezim penguasa (Regime of falsehood).
            Pasca kejatuhan rezim Orde Baru yang begitu represif otoritarian,  bangsa ini sampai sekarang masih harus bergulat dengan beragam wacana perdebatan panjang seputar, masalah yang di gambarkan di atas,         Antiklimaks dari masalah besar itu, beberapa waktu yang lalu para tokoh lintas agama yang di gagas Maarif Institut, serta Ketua PP Muhammdiyah Din Syamsuddin merilis sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru rezim Yudhoyono.
            Memang menyaksikan panggung politik Indonesia pasca Orede Baru, para bagian tertentu cukup menggembirakan namun belum cukup membahagiakan, karena pada sisi yang lain, masalah-masalah pokok justru masih sangat jauh dari harapkan.
Cita-cita Reformasi yang mendambakan adanya perubahan yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga terwujudnya masyarakat indonesia yang damai dan sejahtera, seperti yang di cita-citakan oleh fanding father pendiri bangsa belum kunjung datang. Reformasi yang mendambakan penegakan supremasi hukum, kemandirian ekonomi bangsa, kebebasan penyampaian pendapat, pers yang bebas, melalui perubahan mendasar pelaku penyelenggaa negara beserta perubahan konstitusi dan peratuan pelaksana lainya.
 Memang kita tidak bisa menafikkan ada hal-hal tertentu yang bisa di gembirakan misalnya terbukanya cran kebebasan menyampaikan pendapat untuk gerakan sipil, seperti Perguruan Tinggi, LSM, Pers, Mahasiswa dll, namun disisi lain tingkat penculikan dan pembunuhan terhadap insan pers masih tinggi,
Strategi Pemerintah yang membuka clan kekebebasan ini ternyata tidak sejalan antara tujuan atau harapan dengan kenyataan, gerakan masyarakat sipil harus berhadapan dengan politik kosmetifikasi dan pencitraan semata, Efek politik citra di tengah-tengah kesenjangan kesejahteraan ekonomi di gress root berdampak pada terbentuknya masyarakat yang pragmatis dan apatis. Pragmatisme masyarakat kentara terlihat dalam pilkada dan pilgub, pemilih lebih realitis untuk memilih calon berduit ke timbang calon yang idealis tidak berduit. Citra positif yang dipaksakan menjadi tuntutan dan dakwaan pada calon untuk siap membayar suara mereka.
Indikasi lain dapat di lihat dari berbagai klaim Pemerintah yang terus tidak konsisten dan terkesan membohongi masyarakat, sebut saja masalah angka kemiskinan yang di klaim Pemerintah yang hanya 13 juataan, padahal orang yang menerima bantuan beras miskin sekitar tujuah puluh jutaan, itupun dalam kenyataan  hanya sedikit di banding dengan orang-orang miskin yang sederajat tingkatan ekonominya dengan yang menerima beras miskin dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Pemerintah.
            Masalah HAM misalnya sampai sekarang beberapa pelanggaraan HAM berat seperti penembakan mahasiswa trisaksi, kasus pembunuhan Minir, penculikan aktifis 1998 para pelakunya sampai sekarang belum tersentuh sama sekali dan pengadilan HAM yang di bentuk tidak satupun pelaku yang divonis pidana, Kemudian masalah pertahanan juga Negara ini tidak punya nilai bergaining di mata ‘musuh’ dan para tetangganya, karena Alutsiusta kita hanya memiliki kemampuan mengejar jauh di belakang maling, Semacam kapal Australia atau Malaysia, kapal nelayan negara tetangga yang mencuri ikan saja sulit di tangkap, apa lagi berperang.  Politik luar negeri misalnya Indonesia menjadi negara yang paling singkat di kunjungi dalam lawatan Presiden Amerika Serikat Barak Husein Obama di negara-negara Asia hal ini mengindikasikan diplomasi politik luar negeri Presiden Yudhoyono sangat buncit kekuatannya di mata Obama, artinya Indonesia tidak di anggap sebagai mitra ekonomi atau pertahanan yang cukup strategis, atau rezim Yudhoyono selalu menempatkan diri inferior.
Masalah pendidkan dan kesehatan juga tidak kalah mengecewakan, Indonesia masih di kategorikan sebagai negara yang masih gagal mencegah kematian bayi dan ibu melahirkan, negara gagal wewujudkan hak pokok warga negara, tidak heran kemudian  Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPK) masih kalah saing dengan negara-negara tetangga atau negara-negara berkembang lainya di belahan Dunia.
            Bila kita mencoba melirik lagi masalah hukum misalnya sungguh sangat mencengahkan bahkan kian hari masalah ini semakin menjengkelkan, masyarakat sudah sangat capek melihat gaya kepemimpinanan SBY yang lamban, seperti kerbau gendut malas, gaya politik yang penuh dengan desain kewibawaan semata, tanpa mau melihat realitas bangsa yang sesungguhnya penuh dengan kebohongan, para koruptor kakap malah memiliki hubungan dekat dengan lingkaran istana kekuasaan.
            Negara ini saat-saat sekarang berada di lembah golongan formalistik, segalanya terjebak pada rutinitas formal belaka, para penegak hukum hanya mampu melaksanakan undang-undang tapi hal yang substansi seperti menjalankan hukum hanyalah mimpi belaka, para aparat menjadikan pasal-pasal sebagai kitab suci yang tidak bisa di langgar oleh kaum lemah, namun bagi kaum penguasa dan pemodal sangat sulit mendapatkan pasalnya untuk di jerat, perintah penguasa sudah menjadi titah Tuhan dan sabda para nabi yang wajib di junjung tinggi walau hukum harus di selewengakan demi pengabdian pada penguasa.
            Keadilan dan tegaknya hukum bagi semua glongan rakayat tanpa memandang klas sosial hanyalah mimpi sepanjang jaman selama agenda ekonomi dan politik yang lembek seperti yang di perlihatkan oleh rezim bohong di bawah komando yudhoyono masih merdeka. Mimpi-mimpi reformasi dan cita-cita konstitusi semakin hari semakin jauh dari harapan, produk hukum dan prosduk pilitik lebih-lebih dalam prakteknya semikin tidak menghidarkan rakyat ini dari sikap pesimis.
            Yang lebih bahaya lagi ialah semakin tuanya umur demokrasi yang di harapakan oleh reformasi ternyata semakin muda dalam perdebatan dan wacana, akhir-akhir ini kekuasana politik semakin mengarah pada oligarki dan ptronisme,  bagaiman kemudian pusat-pusat kekuasaan hanya di kuasai dan di pegang oleh segelintir orang, coba tengok kuatnya kuasa SBY di partai Demokrat, atau PDIP yang hanya di bawah komando Megawati, atau lihat keberadaan Setgab partai koalisi pendukung Pemerintah, keputusan- keputusan penting bangsa hanya di ambil oleh segelintir orang yang memiliki agenda politiknya sendiri.
Di berbagai daerah juga tidak kalah menariknya, kekuasaan hanya di kendalikan oleh beberapa kekuatan keluarga tertentu, seperti  di Sulawesi Selatan kekuasan di pegang oleh keluarga Sahrul Yasin Limpo, di Bima misalnya kekuasaan hanya di kendalikan oleh keluarga Qurais dan keluaraga Fery Zulkarnain.
            gambaran dinamika politik Indonesia akhir-akhir ini, segalanya banyak yang berjalan mundur, dan setiap yang mundur tentu saja membahayakan dan merugi, yang berjalan maju hanya elit-elit  kekuasaan serta pengusaha yang bertambah kekayaannya, patronasi politiknya. Serta hanya korupsi, kemiskinaan, pengangguran yang terus maju.
            Membicarakan cita-cita reformasi di bawah panggung kekuasan yudhoyono masih sangat jauh, karena banhgsa ini jangankan bersaing, bertahan saja di tenhag arus globalisais dan persaingan era perdagangan bebas sangat sulit, din syamsuddin menyatakan kemuduran bangsa ini siebabkab oleha kehilangan jati dirinyam baik jati diri etika politk, budaya, ekonimi, kompetisi membutuhkan enegri dan modal dasar yang di pegang secara teguh, indonesia telah kehilangan kemampuan kemandirian dan ketahanan irtu, maka sangat sulit indonesia bersaing menuju cita-cita bila kemanirian dan komitmen pemimimpin  bangsa masih di penuhi dan di selimuti kebohongan semata.  
Pertanyaaannya kemudian sampai kapan yang berjalan mundur itu akan maju dan yang berjalan maju itu berhenti berlaju atau setidaknya di kurangi kecepatan lajunya. Karena semua itu tidak bisa di hentikan dan di majukan secara alamiah menunggu perubahan yang datang dari langit. Harus di sadari setiap yang muncul alamiah pasti akan lamban datangnya, untuk itu harus ada usaha-usah keras dari kita yang punya keprihatinan  terhadap persoalaan bangsa ini, rezim Yudhoyoni sudah tidak mempan di andalkan untuk mengelola negri ini tanpa keterlibatan banyak pihak untuk mengontrol, mengritisi dan mendesak, agar memajukan apa yang sesungguhnya perlu di majukan dan menghentikan apa yang sesungguhnya di hentikan, bukan bermain-main untuk pencitraan semata.
                        Dalam sejarah bangsa-bangsa perubahan itu selalu lahir dari rahim gerakan kaum Intelekual, gerakan kaum intelektual inilah yang di tunggu oleh bangsa ini, gerakan intelektual yang punya misi bersama tanpa saling curigai antara yang satu dengan yang lain, bukan yang satu berteriak mengkritisi Pemerintah justru yang lain mendekat ke penguasa yang memerintah, hal inilah yang menyulitkan gerakan masyarakat sipil pasca Orde Baru.

Penulis adalah Alumni STIH Muh. Bima, pernah Ketua IMM Cabang Bima dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...