DAGELAN
POLITIK SBY
Oleh: Ridwan HM Said.
MEMBICARAKAN Indonesia pasca Orde
Baru berarti kita harus siap masuk pada wilayah “Perdebatan” (controversion)
yang tidak berkesudahan, ada banyak hal yang membuat bangsa ini tidak pernah
sepi (Quiet) dari perdebatan dan
perbicangan panjang, mulai dari masalah Demokratisasi, Desentralisais, Otonomi
Daerah, kemiskinan, pengangguran, korupsi, kebodohan, kesakitan (kesehatan), penegakan Hak Asasi Manusia
(HAM), konflik horisontal, politik luar negeri hingga kebohongan rezim penguasa (Regime of falsehood).
Pasca
kejatuhan rezim Orde Baru yang begitu represif otoritarian, bangsa ini sampai sekarang masih harus
bergulat dengan beragam wacana perdebatan panjang seputar, masalah yang di
gambarkan di atas, Antiklimaks
dari masalah besar itu, beberapa waktu yang lalu para tokoh lintas agama yang
di gagas Maarif Institut, serta Ketua PP Muhammdiyah Din Syamsuddin merilis
sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru rezim Yudhoyono.
Memang
menyaksikan panggung politik Indonesia pasca Orede Baru, para bagian tertentu
cukup menggembirakan namun belum cukup membahagiakan, karena pada sisi yang
lain, masalah-masalah pokok justru masih sangat jauh dari harapkan.
Cita-cita Reformasi yang mendambakan
adanya perubahan yang mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga
terwujudnya masyarakat indonesia yang damai dan sejahtera, seperti yang di
cita-citakan oleh fanding father pendiri bangsa belum kunjung datang. Reformasi
yang mendambakan penegakan supremasi hukum, kemandirian ekonomi bangsa, kebebasan
penyampaian pendapat, pers yang bebas, melalui perubahan mendasar pelaku
penyelenggaa negara beserta perubahan konstitusi dan peratuan pelaksana lainya.
Memang kita tidak bisa menafikkan ada hal-hal
tertentu yang bisa di gembirakan misalnya terbukanya cran kebebasan
menyampaikan pendapat untuk gerakan sipil, seperti Perguruan Tinggi, LSM, Pers,
Mahasiswa dll, namun disisi lain tingkat penculikan dan pembunuhan terhadap
insan pers masih tinggi,
Strategi Pemerintah yang membuka
clan kekebebasan ini ternyata tidak sejalan antara tujuan atau harapan dengan
kenyataan, gerakan masyarakat sipil harus berhadapan dengan politik
kosmetifikasi dan pencitraan semata, Efek politik citra di tengah-tengah
kesenjangan kesejahteraan ekonomi di gress
root berdampak pada terbentuknya masyarakat yang pragmatis dan apatis.
Pragmatisme masyarakat kentara terlihat dalam pilkada dan pilgub, pemilih lebih
realitis untuk memilih calon berduit ke timbang calon yang idealis tidak
berduit. Citra positif yang dipaksakan menjadi tuntutan dan dakwaan pada calon
untuk siap membayar suara mereka.
Indikasi lain dapat
di lihat dari berbagai klaim Pemerintah yang terus tidak konsisten dan terkesan
membohongi masyarakat, sebut saja masalah angka kemiskinan yang di klaim
Pemerintah yang hanya 13 juataan, padahal orang yang menerima bantuan beras
miskin sekitar tujuah puluh jutaan, itupun dalam kenyataan hanya sedikit di banding dengan orang-orang miskin
yang sederajat tingkatan ekonominya dengan yang menerima beras miskin dan
bantuan langsung tunai (BLT) oleh Pemerintah.
Masalah
HAM misalnya sampai sekarang beberapa pelanggaraan HAM berat seperti penembakan
mahasiswa trisaksi, kasus pembunuhan Minir, penculikan aktifis 1998 para pelakunya
sampai sekarang belum tersentuh sama sekali dan pengadilan HAM yang di bentuk
tidak satupun pelaku yang divonis pidana, Kemudian masalah pertahanan juga
Negara ini tidak punya nilai bergaining
di mata ‘musuh’ dan para tetangganya, karena Alutsiusta kita hanya memiliki
kemampuan mengejar jauh di belakang maling, Semacam kapal Australia atau Malaysia,
kapal nelayan negara tetangga yang mencuri ikan saja sulit di tangkap, apa lagi
berperang. Politik luar negeri misalnya
Indonesia menjadi negara yang paling singkat di kunjungi dalam lawatan Presiden
Amerika Serikat Barak Husein Obama di negara-negara Asia hal ini
mengindikasikan diplomasi politik luar negeri Presiden Yudhoyono sangat buncit
kekuatannya di mata Obama, artinya Indonesia tidak di anggap sebagai mitra
ekonomi atau pertahanan yang cukup strategis, atau rezim Yudhoyono selalu
menempatkan diri inferior.
Masalah pendidkan dan kesehatan
juga tidak kalah mengecewakan, Indonesia masih di kategorikan sebagai negara
yang masih gagal mencegah kematian bayi dan ibu melahirkan, negara gagal
wewujudkan hak pokok warga negara, tidak heran kemudian Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPK)
masih kalah saing dengan negara-negara tetangga atau negara-negara berkembang
lainya di belahan Dunia.
Bila
kita mencoba melirik lagi masalah hukum misalnya sungguh sangat mencengahkan
bahkan kian hari masalah ini semakin menjengkelkan, masyarakat sudah sangat
capek melihat gaya kepemimpinanan SBY yang lamban, seperti kerbau gendut malas,
gaya politik yang penuh dengan desain kewibawaan semata, tanpa mau melihat
realitas bangsa yang sesungguhnya penuh dengan kebohongan, para koruptor kakap
malah memiliki hubungan dekat dengan lingkaran istana kekuasaan.
Negara
ini saat-saat sekarang berada di lembah golongan formalistik, segalanya
terjebak pada rutinitas formal belaka, para penegak hukum hanya mampu
melaksanakan undang-undang tapi hal yang substansi seperti menjalankan hukum
hanyalah mimpi belaka, para aparat menjadikan pasal-pasal sebagai kitab suci
yang tidak bisa di langgar oleh kaum lemah, namun bagi kaum penguasa dan
pemodal sangat sulit mendapatkan pasalnya untuk di jerat, perintah penguasa
sudah menjadi titah Tuhan dan sabda para nabi yang wajib di junjung tinggi
walau hukum harus di selewengakan demi pengabdian pada penguasa.
Keadilan
dan tegaknya hukum bagi semua glongan rakayat tanpa memandang klas sosial
hanyalah mimpi sepanjang jaman selama agenda ekonomi dan politik yang lembek
seperti yang di perlihatkan oleh rezim bohong di bawah komando yudhoyono masih
merdeka. Mimpi-mimpi reformasi dan cita-cita konstitusi semakin hari semakin
jauh dari harapan, produk hukum dan prosduk pilitik lebih-lebih dalam
prakteknya semikin tidak menghidarkan rakyat ini dari sikap pesimis.
Yang
lebih bahaya lagi ialah semakin tuanya umur demokrasi yang di harapakan oleh
reformasi ternyata semakin muda dalam perdebatan dan wacana, akhir-akhir ini
kekuasana politik semakin mengarah pada oligarki dan ptronisme, bagaiman kemudian pusat-pusat kekuasaan hanya
di kuasai dan di pegang oleh segelintir orang, coba tengok kuatnya kuasa SBY di
partai Demokrat, atau PDIP yang hanya di bawah komando Megawati, atau lihat
keberadaan Setgab partai koalisi pendukung Pemerintah, keputusan- keputusan
penting bangsa hanya di ambil oleh segelintir orang yang memiliki agenda
politiknya sendiri.
Di berbagai daerah juga tidak
kalah menariknya, kekuasaan hanya di kendalikan oleh beberapa kekuatan keluarga
tertentu, seperti di Sulawesi Selatan
kekuasan di pegang oleh keluarga Sahrul Yasin Limpo, di Bima misalnya kekuasaan
hanya di kendalikan oleh keluarga Qurais dan keluaraga Fery Zulkarnain.
gambaran
dinamika politik Indonesia akhir-akhir ini, segalanya banyak yang berjalan
mundur, dan setiap yang mundur tentu saja membahayakan dan merugi, yang
berjalan maju hanya elit-elit kekuasaan
serta pengusaha yang bertambah kekayaannya, patronasi politiknya. Serta hanya
korupsi, kemiskinaan, pengangguran yang terus maju.
Membicarakan
cita-cita reformasi di bawah panggung kekuasan yudhoyono masih sangat jauh,
karena banhgsa ini jangankan bersaing, bertahan saja di tenhag arus globalisais
dan persaingan era perdagangan bebas sangat sulit, din syamsuddin menyatakan kemuduran
bangsa ini siebabkab oleha kehilangan jati dirinyam baik jati diri etika
politk, budaya, ekonimi, kompetisi membutuhkan enegri dan modal dasar yang di
pegang secara teguh, indonesia telah kehilangan kemampuan kemandirian dan
ketahanan irtu, maka sangat sulit indonesia bersaing menuju cita-cita bila
kemanirian dan komitmen pemimimpin bangsa
masih di penuhi dan di selimuti kebohongan semata.
Pertanyaaannya kemudian sampai
kapan yang berjalan mundur itu akan maju dan yang berjalan maju itu berhenti
berlaju atau setidaknya di kurangi kecepatan lajunya. Karena semua itu tidak
bisa di hentikan dan di majukan secara alamiah menunggu perubahan yang datang
dari langit. Harus di sadari setiap yang muncul alamiah pasti akan lamban
datangnya, untuk itu harus ada usaha-usah keras dari kita yang punya
keprihatinan terhadap persoalaan bangsa
ini, rezim Yudhoyoni sudah tidak mempan di andalkan untuk mengelola negri ini
tanpa keterlibatan banyak pihak untuk mengontrol, mengritisi dan mendesak, agar
memajukan apa yang sesungguhnya perlu di majukan dan menghentikan apa yang
sesungguhnya di hentikan, bukan bermain-main untuk pencitraan semata.
Dalam sejarah bangsa-bangsa
perubahan itu selalu lahir dari rahim gerakan kaum Intelekual, gerakan kaum
intelektual inilah yang di tunggu oleh bangsa ini, gerakan intelektual yang
punya misi bersama tanpa saling curigai antara yang satu dengan yang lain,
bukan yang satu berteriak mengkritisi Pemerintah justru yang lain mendekat ke
penguasa yang memerintah, hal inilah yang menyulitkan gerakan masyarakat sipil
pasca Orde Baru.
Penulis
adalah Alumni STIH Muh. Bima, pernah Ketua IMM Cabang Bima dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar