BIMA
MEMBARA LAGI
Oleh: Ridwan M Said*
“Bima
membara“ itulah kata-kata yang tertulis di dinding FB teman saya, kata-kata
ini sendiri mungkin bukan lagi menjadi kata yang sangat asing bagi penjelajah
dunia maya, atau sebagian besar penyimak berita di Indonesia. Bima membara
pernah menjadi headline hampir semua
media ketika polisi mengambil tindakan repsesif, dengan memukul, menendang dan
menembak para demostran yang menolak ijin pertambangan di wilayah Lambu, kasus
itu kemudian berujung pada pembakaran kantor pemerintahan, dan para massa
demostran melakukan pembebasan paksa puluhan tahanan di rutan Bima.
Dalam rentan
satu bulan terakhir Bima kembali menjadi headline
berbagai media, mulai dari kasus konflik antara Desa Roka vs Roi hingga
menewaskan salah satu warga Roi dan melukai beberapa warga, tak lama kumudian
di susul konflik Desa Samili vs Godo,
yang berujung pada pembakaran pemukiman warga Godo, hampir seratus rumah
beserta isinya hangus terbakar, yang akhirnya membuat warga Godo memblokir
satu-satunya jalan darat yang menghubungkan NTB dengan Pulau Flores-NTT, dan
setelah dilakukan negosiasi oleh pemerintah daerah akhirnya kasus ini mereda,
namun kemarin (selasa/18/10) Godo vs Samili
jilid II kembali membara, saling serang, dengan niat melukai dan membunuh lawan
masing-masing, itulah mungkin yang ada dalam benak pikiran mereka yang terlibat
perang saat ini, walau sesungguhnya dalam arena konflik itu lebih banyak yang
ikut-ikutan bahkan hanya sekedar menonton saja. Kasus Godo vs Samili berawal
dari kematian warga Godo yang di curigai akibat di “sihir” oleh warga Samili yang
menikah dan berdomisili di Godo, lalu di bunuh oleh warag Godo, keluarga korban
yang ada di Samili tidak menerima lalu membakar rumah warga Godo.
Sebenarnya kasus
konflik terbuka (open conflic) antar
desa seperti ini bukan sesuatu hal yang tabu bagi masyarakat Bima, hampir
puluhan kali telah terjadi, sebagian besar desa-desa yang ada di Kabupaten Bima
pernah mengalaminya dengan tingkat eskalasi yang berbeda-beda. Sebelum kasus Roi
vs Roka, Godo vs Samili, jauh hari sebelumnya ekslasi perang antara desa yang
menewaskan banyak korban jiwa telah terjadi, mulai dari Laju, Rupe vs Tanjung
Mas yang menghanguskan seluruh pemukiman masyarakat Tanjung Mas, Cenggu vs Renda,
Renda vs Ngali, Ncera vs Lido, Ncera vs Soki, Karumbu vs Rupe, Sie vs Tanggal, di
kecamatan Donggo dan Soromandi juga pernah terjadi, Dari sekian kasus konflik
yang terjadi yang terlama dan banyak memakan korban jiwa adalah kasus perang
antara Desa Ngali vs Renda.
Hampir setiap
konflik yang terjadi, selalu mengakibatkan kerugian harta benda dan jiwa, baik
akibat langsung dari perang itu sendiri maupun akibat tindakan repsesif aparat
keamanan yang jenuh melihat konflik itu, efek social, ekonomi atas konflik itu
sangat besar.
Pertayaannya
kemudian kenapa konflik-konflik yang terjadi di Kabupaten Bima, dengan mudah
merembah menjadi konflik komunal, apakah di masing-masing desa tiada lagi
tokoh-tokoh agama, pemuda dan masyarakat yang dapat memediasi setiap konflik
yang terjadi agar tidak merambah pada koflik komunal, atau tiadakah aparat
penegak hukum yang dengan segera dapat mencegahnya sesegera mungkin, dengan
melakukan pendekatan persuasive dan juga bila perlu sekali dengan cara
represif.
Berkaca dari
pengalama, konflik Ngali vs Renda dan sebagian besar konflik yang terjadi di Kabupaten
Bima, saya meyakini hampir semua konflik komunal yang terjadi di Kabupaten
Bima, selalu di awali persoalan personal, misalnya permusushan antara pemuda
desa yang satu dengan desa yang lain, salah satu pemuda kemudian membacok atau
menganiaya pemuda desa lain, lalau pemuda yang terluka tadi melibatkan keluarga,
keluarag korban kemudian menghadang dan membacok bahkan membunuh warag yang
desanya sama dengan pelaku tadi, akibat dari sikap kelaurga korban pertama yang
membabi buta kemudian memancing kemarahan warga desa lain (lawan), dan
terjadilah konflik terbuka yang melibatkan seluruh warga.
Sebenarnya
berbagai konflik-konflik yang terjadi tersebut dapat dengan segera diantisipasi
bila saja, ada tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa maupun tingkatannya ke
atas, dan yang lebih penting aparat penegak hukum segera menangkap dan mengadili
pelaku pembacokan pertama/pemicu pertama.
Masyarakat Bima sangat
mudah terprofokasi, sulit di jelaskan dari satu sudut pandang, kenapa semua itu
bisa terjadi dengan mudah, teori konflik menjelaskan, konflik itu bisa terjadi
karena di picu oleh banyak hal, mulai dari tingkat pendidikan, ekonomi-kesejahteraan,
social-budaya, politik dan penegakan hukum.
Saya melihat mudahnya konflik pribadi beralih dengan mudah
menjadi konflik komunal, di sebabkan oleh kondisi masyarakata yang sedang
mengalami masa transisi dan juga hancurnya pranata social. Setelah kejatuhan
orde baru yang sangat otoritarian proteksionis lewat militer pada waktu itu,
hadirnya reformasi membuat orang bima mengekspresikan kebebasan itu dengan
tidak mengindahkan pranata-pranata hukum, pada saat yang sama pranata social
seperti tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa-desa tidak lagi manjur
dan di dengarkan setiap nasehat dan ucapanya, pada sisi lain aparat penegak
hukum seperti kepolisian belum spenuhnya matang dan profesioal dalam melayani,
mengayomi dan melindungi masyarakat, diperparah citra buruk aparat penegak
hukum di tengah masyarakat, yang akhirnya melahirkan ketidak percayaan pada
kredibilitas lembaga tersebut, masyarakat kemudian menjadi berasumsi bahwa menyelesaikan
permasalahan pada lembaga hukum, justru sangat lamban, dan tidak memuaskan,
akhirnya mengambil jalan sendiri dengan main hakim sendiri dengan melibatkan
kelompok, pengadilan jalanan dengan membakar hidup-hidup pelaku (lawan), dan
perang antara kampung menjadi tontonan gratis.
Terlepas dari
alasan masyararakat yang sedang mengalami masa ransisi dan hancurnya pranata
social terutama di tingkatan desa, maka aparat penegak hukum harus mengambil
langkah dan tindakan yang nyata sebagi bukti masih adanya fungsi Negara, mulai
dari solusi jangka pendek sampai jangka panjang.
Solusi
Solusi jangka
pendek yang bisa ditawarkan ialah aparat kepolisian harus menggalang koordinasi
dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, mulai dari tokoh masyarakat,
korban, pemerintah daerah, dan ormas keagamaan, menangkap dan mengadili pemicu
dan pelaku tanpa memandang kedudukan (law
invocment), kemudian kalau tidak mau berhenti juga, maka biarkan saja
mereka kerkonflik sampai mereka sendiri tidak suka lagi atau jenuh, bila perlu para
dalang konflik di tembak di tempat (tidak sampai mati), dengan cara demikian mereka
sendiri akan mengalami trauma dan berpikir beruang kali bila ingin melakukan
perang di kemudian hari, karena memang konflik tidak selalu berdimensi
negative, namun bisa menjadi sumber
pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342).
Solusi jangka panjang adalah, aparat penegak hukum harus lebih
antisipatif, penegak hukum harus memperbaiki citranya, menjauhkan institusi itu
dari miras, pemerasan, berkaloborasi dengan gembong penjahat, serta tidak bersikap
diskriminatif, harus selalu menjungjung keadilan (justice for all), demi tegaknya negara hukum (rule of law), di
samping pemerintah daerah harus punya komitmen politik untuk tetap
memberdayakan tokoh-tokoh masyarakat dan juga ormas Islam, masyarakat harus
terus di beri bimbingan rohani lewat ormas dan tokoh masyarakat setempat, kemudian
juga harus menyiapkan saran umum seperti lapangan olah raga, tanpa itu omong
kosong kesadaran hukum masyarakat dapat tercapai. Selain itu pemerintah juga
harus terus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemeberdayaan,
pendidikan, dan lain-lain.[]
* Aktivis
Pemuda Muhammadiyah Bima, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UMS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar