Kamis, 21 Maret 2013

KONFLIK BIMA


BIMA MEMBARA LAGI
Oleh: Ridwan M Said*

 “Bima membara“ itulah kata-kata yang tertulis di dinding FB teman saya, kata-kata ini sendiri mungkin bukan lagi menjadi kata yang sangat asing bagi penjelajah dunia maya, atau sebagian besar penyimak berita di Indonesia. Bima membara pernah menjadi headline hampir semua media ketika polisi mengambil tindakan repsesif, dengan memukul, menendang dan menembak para demostran yang menolak ijin pertambangan di wilayah Lambu, kasus itu kemudian berujung pada pembakaran kantor pemerintahan, dan para massa demostran melakukan pembebasan paksa puluhan tahanan di rutan Bima.
Dalam rentan satu bulan terakhir Bima kembali menjadi headline berbagai media, mulai dari kasus konflik antara Desa Roka vs Roi hingga menewaskan salah satu warga Roi dan melukai beberapa warga, tak lama kumudian di susul konflik Desa Samili vs Godo,  yang berujung pada pembakaran pemukiman warga Godo, hampir seratus rumah beserta isinya hangus terbakar, yang akhirnya membuat warga Godo memblokir satu-satunya jalan darat yang menghubungkan NTB dengan Pulau Flores-NTT, dan setelah dilakukan negosiasi oleh pemerintah daerah akhirnya kasus ini mereda, namun kemarin (selasa/18/10) Godo vs Samili jilid II kembali membara, saling serang, dengan niat melukai dan membunuh lawan masing-masing, itulah mungkin yang ada dalam benak pikiran mereka yang terlibat perang saat ini, walau sesungguhnya dalam arena konflik itu lebih banyak yang ikut-ikutan bahkan hanya sekedar menonton saja. Kasus Godo vs Samili berawal dari kematian warga Godo yang di curigai akibat di “sihir” oleh warga Samili yang menikah dan berdomisili di Godo, lalu di bunuh oleh warag Godo, keluarga korban yang ada di Samili tidak menerima lalu membakar rumah warga Godo.
Sebenarnya kasus konflik terbuka (open conflic) antar desa seperti ini bukan sesuatu hal yang tabu bagi masyarakat Bima, hampir puluhan kali telah terjadi, sebagian besar desa-desa yang ada di Kabupaten Bima pernah mengalaminya dengan tingkat eskalasi yang berbeda-beda. Sebelum kasus Roi vs Roka, Godo vs Samili, jauh hari sebelumnya ekslasi perang antara desa yang menewaskan banyak korban jiwa telah terjadi, mulai dari Laju, Rupe vs Tanjung Mas yang menghanguskan seluruh pemukiman masyarakat Tanjung Mas, Cenggu vs Renda, Renda vs Ngali, Ncera vs Lido, Ncera vs Soki, Karumbu vs Rupe, Sie vs Tanggal, di kecamatan Donggo dan Soromandi juga pernah terjadi, Dari sekian kasus konflik yang terjadi yang terlama dan banyak memakan korban jiwa adalah kasus perang antara Desa Ngali vs Renda.
Hampir setiap konflik yang terjadi, selalu mengakibatkan kerugian harta benda dan jiwa, baik akibat langsung dari perang itu sendiri maupun akibat tindakan repsesif aparat keamanan yang jenuh melihat konflik itu, efek social, ekonomi atas konflik itu sangat besar.
Pertayaannya kemudian kenapa konflik-konflik yang terjadi di Kabupaten Bima, dengan mudah merembah menjadi konflik komunal, apakah di masing-masing desa tiada lagi tokoh-tokoh agama, pemuda dan masyarakat yang dapat memediasi setiap konflik yang terjadi agar tidak merambah pada koflik komunal, atau tiadakah aparat penegak hukum yang dengan segera dapat mencegahnya sesegera mungkin, dengan melakukan pendekatan persuasive dan juga bila perlu sekali dengan cara represif.
Berkaca dari pengalama, konflik Ngali vs Renda dan sebagian besar konflik yang terjadi di Kabupaten Bima, saya meyakini hampir semua konflik komunal yang terjadi di Kabupaten Bima, selalu di awali persoalan personal, misalnya permusushan antara pemuda desa yang satu dengan desa yang lain, salah satu pemuda kemudian membacok atau menganiaya pemuda desa lain, lalau pemuda yang terluka tadi melibatkan keluarga, keluarag korban kemudian menghadang dan membacok bahkan membunuh warag yang desanya sama dengan pelaku tadi, akibat dari sikap kelaurga korban pertama yang membabi buta kemudian memancing kemarahan warga desa lain (lawan), dan terjadilah konflik terbuka yang melibatkan seluruh warga.
Sebenarnya berbagai konflik-konflik yang terjadi tersebut dapat dengan segera diantisipasi bila saja, ada tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa maupun tingkatannya ke atas, dan yang lebih penting aparat penegak hukum segera menangkap dan mengadili pelaku pembacokan pertama/pemicu pertama.
Masyarakat Bima sangat mudah terprofokasi, sulit di jelaskan dari satu sudut pandang, kenapa semua itu bisa terjadi dengan mudah, teori konflik menjelaskan, konflik itu bisa terjadi karena di picu oleh banyak hal, mulai dari tingkat pendidikan, ekonomi-kesejahteraan, social-budaya, politik dan penegakan hukum.
Saya melihat  mudahnya konflik pribadi beralih dengan mudah menjadi konflik komunal, di sebabkan oleh kondisi masyarakata yang sedang mengalami masa transisi dan juga hancurnya pranata social. Setelah kejatuhan orde baru yang sangat otoritarian proteksionis lewat militer pada waktu itu, hadirnya reformasi membuat orang bima mengekspresikan kebebasan itu dengan tidak mengindahkan pranata-pranata hukum, pada saat yang sama pranata social seperti tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa-desa tidak lagi manjur dan di dengarkan setiap nasehat dan ucapanya, pada sisi lain aparat penegak hukum seperti kepolisian belum spenuhnya matang dan profesioal dalam melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat, diperparah citra buruk aparat penegak hukum di tengah masyarakat, yang akhirnya melahirkan ketidak percayaan pada kredibilitas lembaga tersebut, masyarakat kemudian menjadi berasumsi bahwa menyelesaikan permasalahan pada lembaga hukum, justru sangat lamban, dan tidak memuaskan, akhirnya mengambil jalan sendiri dengan main hakim sendiri dengan melibatkan kelompok, pengadilan jalanan dengan membakar hidup-hidup pelaku (lawan), dan perang antara kampung menjadi tontonan gratis.
Terlepas dari alasan masyararakat yang sedang mengalami masa ransisi dan hancurnya pranata social terutama di tingkatan desa, maka aparat penegak hukum harus mengambil langkah dan tindakan yang nyata sebagi bukti masih adanya fungsi Negara, mulai dari solusi jangka pendek sampai jangka panjang.
Solusi
Solusi jangka pendek yang bisa ditawarkan ialah aparat kepolisian harus menggalang koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, mulai dari tokoh masyarakat, korban, pemerintah daerah, dan ormas keagamaan, menangkap dan mengadili pemicu dan pelaku tanpa memandang kedudukan (law invocment), kemudian kalau tidak mau berhenti juga, maka biarkan saja mereka kerkonflik sampai mereka sendiri tidak suka lagi atau jenuh, bila perlu para dalang konflik di tembak di tempat (tidak sampai mati), dengan cara demikian mereka sendiri akan mengalami trauma dan berpikir beruang kali bila ingin melakukan perang di kemudian hari, karena memang konflik tidak selalu berdimensi negative, namun bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342).
Solusi jangka panjang adalah, aparat penegak hukum harus lebih antisipatif, penegak hukum harus memperbaiki citranya, menjauhkan institusi itu dari miras, pemerasan, berkaloborasi dengan gembong penjahat, serta tidak bersikap diskriminatif, harus selalu menjungjung keadilan (justice for all), demi tegaknya negara hukum (rule of law),  di samping pemerintah daerah harus punya komitmen politik untuk tetap memberdayakan tokoh-tokoh masyarakat dan juga ormas Islam, masyarakat harus terus di beri bimbingan rohani lewat ormas dan tokoh masyarakat setempat, kemudian juga harus menyiapkan saran umum seperti lapangan olah raga, tanpa itu omong kosong kesadaran hukum masyarakat dapat tercapai. Selain itu pemerintah juga harus terus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemeberdayaan, pendidikan, dan lain-lain.[]
 *  Aktivis Pemuda Muhammadiyah Bima, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UMS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...