Senin, 11 Februari 2019

MENGUATNYA PEMBUSUKAN KPK: LUAR & DALAM


Oleh: Ridwan
Sungguh berat langkah untuk melawan korupsi di negeri ini: pertama, Fenomena langka yang jarang ditemukan Sejak berdiri tahun 2003 silam, dalam putusannya Pengadilan Tipikor sebagai Ending dari kerja lembaga Super Body (KPK) akhirnya muncul juga. Gagasan untuk memperluas jangkauan daya dobrak KPK dengan mendirikan PN Tipikor di tiap Provinsi, kontras dengan cita-cita dengan munculnya vonis bebas beberapa koruptor oleh Pengadilan Tipikot di beberapa Wilayah, (Bandung) vonis bebas Wakil Walikota Bogor, Bupati Subang,  Walikota Bekasi, (PN Tipikor Semarang) Direktur Utama PT Karuni Sejati, (PN Tipikor Jakarta) vonis bebas mantan sekretaris Gubernur Bank Indonesia, (PN Tipikor Surabaya) vonis bebas sembilan perkara korupsi. Kedua, semakin gencarnya upaya pelemahan KPK oleh DPR, Pemerintah, dan pihak-pihak lain.
Bila selama ini hanya Pengadilan Umum yang di identifikasi sebagai surganya para koruptor, dengan venomena pembebasan koruptor yang cenderung meningkat tiap tahun, serta ringannya  vonis yang dijatuhkan. Dengan Rata-rata vonis yang dilakukan selama tahun 2005-2009 adalah 5,82 bulan penjara atau setengah tahun (Ridwan: Suara Mandiri, 20-12-2010). Kalau menigikuti penggolongan (Salaman Luthan: 2007) vonis itu tergolong sangat ringan, penggolongan sanksi pidana yaitu, sangat berat bila lebih dari 12 tahun, berat bila pidana yang dijatuhkan antara 9-12 tahun, sedang bila vonis 6 sampai 9 tahun, ringan bila antara 3 sampai 6 tahun, dan sangat ringan bila kurang dari 3 tahun.
Kondisi ini berbalik dengan vonis yang dilakukan oleh pengadilan tipikor yang tidak pernah memfonis bebas terdakwa sejak 2004-2010, bahkan pengadilan tipikor tidak pernah memvonis hukuman percobaaan maupun vonis dibawah 1 tahun, pengadilan tipikor memvonis rata-rata  50,90 bulan penajara atau 4,24 tahun penjara.
Namun cerita keramat Pengadilan Tipikor yang tidak pernah memvonis ringan serta tidak pernah membebaskan koruptor terhenti setelah pengadilan khusus itu di buka dibeberapa ibu kota propinsi, kredibililatas itu harus terbayar mahal menyusul vonis bebas para koruptor diberbagai daerah oleh pengadilan khusus Tipikor Daerah.
Pertanya mendasar atas kejadian langka itu adalah, apa penyebabnya ? pengadilan tindak pidana korupsi diwilayah sangat mudah tanpa beban, bahkan sangat enteng keluar dari tradisi pengadilan tipikor selama ini yang tidak pernah memvonis bebas para koruptor, dan bagaimana pula kisah nekatnya lembaga DPR menggembosi Pemeberantsan korupsi.
Konstruksi putusan
Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh hakim dalam proses mengkostruksi putusan. Permasalahan itu terkait antara lain, lemahnya hakim mengkstruksi dasar-dasar pertimbangan.  Lemahanya hakim dalam menginterpretasikan fakta-fakta hukum, lemahnya kepekaan hakim atas dasar teori dan atau falsafah yang digunakan, serta terkait rendahnya kualitas moralitas hakim (KY: 2007)
Selain Itu yang memepengaruhi kualitas putusan hakim adalah berdasaran ilmu psikologi, memang wajar fenomen putusan hakim yang tidak berkualitas, karena didukung oleh cara hakim mengkostruksi putusan dengan langkah-langkah dalam proses persidangan, pertama-tama hakim mendengarkan dakwan yang dibacakan JPU, lalu hakim baru menyusun cerita (putusan) berdasarkan informasi itu.
Adanya kecenderungan hubungan antara pemaknaan hakim tentang korupsi dengan putusan yang yang dijatuhkan, jika hakim menggunakan pemaknaan sempit tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakawa maka ada kecenderungan hakim menajutuhkan putuan tidak bersalah atau vonis bebas, jika vonisnya bersalah maka sanksinya sangat ringan. Sebaliknya bila hakim mengikuti pemaknaan luas tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa, maka terdapat kecenderungan hakim menjatuhkan putusan bersalah, dan saksi pidananya bervariasi, mulai dari sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat, namun kecenderungannya hakim menajutuhkan pidana dengan kategori ringan.  penafsir luas adalah penafsir yang memaknai korupsi secara materil dengan memasukkan unsur kepatutan dan perbuatan tercela, yang bersumber dari ketentuan hukum tidak tertulis, disi lain penafsiran sempit adalah, penafsiran yang memaknai kosupsi hanya berdasarkan aturan perundang-undangan tertulis dan mengabaikan ketentuan hukum yang tidak tertulis.
Hasil Penelitian Komisia Yudisial (KY: 2009), dari 195 sampel putusan hakim yang di teliti, ditemukan dalam putusannya telah mengedepankan keadilan prosedural, hal ini terjadi karena disebakan oleh banyak faktor; salah satunya adalah rendahnya pemahamana pembuat putusan terhadap doktrrin-doktrin standar pada satu pihak dan kurang berperannya yurisprudensi sebagai sumber hukum dipihak lain. Kurang  berkualitanya putusan-putusan hakim itu muncul disebabkan oleh: (a) tidak dipetimbangkannya yurisprudensi sebagai sumber hukum selain UU (4,56 porsen) , (b) tidak dipertimbangkannya doktrin-doktrin standar sebagai sumber hukum (3,26 porsen), (c) tidak dipertimbagkannya doktrin standar dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan terdakawa (5,32 porsen), (d) tidak dipertimbangkannya yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan terdakwa (9,28 porsen); (e) tidak dipertimbangkannya hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum (4,81); (f) terjadinya disparitas yang cukup tajam antara sanksi pidana putusan dengan requisitor (2,86 porsen).
Dari Segi Penalaran Hukum, Dari 195 putusan yang diteliti secara umum memperlihatkan  tata penalaran hukum yang kurang berkualitas (50,94 porsen dari 840 jawaban bersifat negatif) besarnya kecenderungan bersifat kurang berkualitasnya putusan-putusan hakim ini terletak pada: lemahnya pemaknaan dasar hukum putusan (5,24 porsen), absennya penafsiran baru oleh hakim atas dasar hukum putusan (11,07 porsen), pengkonstruksian hukum yang lemah (7,98 porsen) dan  tidak dipertimbangkannya dasar hukum diluar undang-undang 1,54 % (KY: 2009).
Busuk Luar, Dalam
Fenomena pembebasan koruptor oleh PN Tipikor dibeberapa Daerah, kian hari mengkhawatirkan, kejadian ini menunjukkan indikasi mulai ambruknya lembaga khusus itu, yang memang ditugaskan oleh rakyat untuk menggusur penyakit sosial yang sudah menggurita yang diberi label Extra Ordinary Crime, ini semacam venomena gunung es setelah beberapa waktu lalu dua Pimpinan KPK (Bibt-Candra) berhasil keluar dari lubang jarum atas tudingan menerima suap dari Anggodo Widjoyo, yang ahirnya diselamatkan putusan Deponnering Kejagung. Disusul tudingan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Najarudin dimana seluruh Pimpinan KPK melakukan pertemuan yang tidak wajar dengan pihak-pihak yang dianggap bermasalah, kemudian dalam putusan komite etik yang berjumlah tujuh orang, memutuskan secara bulat bahwa Busyro Muqoddas dan Bibit tidak melanggar kode etik, sementara Candra, Yasin dan Haryono Umar dinyatakan tidak melanggar kode etik,  namun putusan komite etik yang bekerja dua bulan penuh itu diambil dengan perbedaan pendapat (disseting opinion). Sementra Direktur Penindakan dan Sekjen KPK dinyatakan melanggar kode etik. Ini membuktikan Pimpinan KPK bukan lagi manusia-manusia yang kredibel, dan steril dari kongkalikong dengan arus utama kekuatan politik, bukankah ini membuktikan secara moral telah terjadi pembusukan dari dalam lembaga itu.
Memang harus di akui bahwa dinegeri ini tidak ada yang gratis, apa lagi menyangkut jabatan penting seperti Pimpinan KPK, jabatan itu bukan pemberian garatis apalagi hadiah, semua punya imbalannya, lihatlah kinerja Pimpinan KPK sekarang, hampir kasus kasus besar tidak ada yang tuntas, seperti tudingan Najarudin keterlibatan para petinggi partai demokrat yang bermain dalam banyak proyek APBN, kasus Nunung Nurbaeti sebagai pemberi suap pada kasus cek pelawak DPR, kasus Century, kasus Kemenakertran yang melibatkan Menteri. Pengembangan dari kasus Wisma Atlet dan Kemenakertras KPK menyasar ke Badan Anggaran DPR sebagai tempat berkumpulnya para mafia anggaran sebagaimana pernah disuarakan Kader PAN Wa Ode Ida sebelumnya, sehinggara membuat badan itu memboikot pembahasan anggaran Negara.
 Disinilah titik awal dari pembusukan KPK dari laur, kekhawatiran para pimpinan paratai politik terhadap sepakterjang KPK yang di indikasi mengalihkan isu yang melilit partai demokrat sebelumnya, hinggara para Pimpinan KPK di panggil DPR dengan alasan rapat koordinasi, justru kenyataaannya forum itu beruabha menjadi momen penghujatan KPK, hingga kader PKS Fahri Hamzah mewacanakan pembubaran KPK. niat itu ternyata tidak berhenti sampai disitu, keinginan untuk melemahkan KPK itu diwujudkan dengan menyiapkan naskan revisi Undang-undang No. 30 tahun 2003 tentang KPK, dengan niat memangkas beberapa kewenagan KPK, ini juga membuktikan pembusukan KPK datangnya dari luar yakni dari DPR, juga Pemerintah, yang kalau diukur dari kinerjanya sebagai lembaga yang, cengeng, malas, baik mengahdiri sidangan maupun dilihat dari semakin berkuranagnya RUU yang berhasil disahkan target Prolegnas dari tahun ketahun.
Dengan adanya indikasi terjadi pembusukan pemberantasan korupsi, baik dari dalam, seperti bermasalahnya beberapa pimpinan dan pejabat KPK, yang puncaknya adalah pembebasan koruptor oleh PN tipikor Daerah pertama kali sejak berdirinya pengadilan tindak pidana korupsi. Serta indikasi-indikasi nyata pembusukan dari luar oleh Pemerintah dan DPR yang menyiapkan revisi UU 30 tahun 2003 sebagai dasar hukum KPK, kedepan sangat sulit berharap korupsi dapat dihapuskan dinegeri ini, lalu pertanyaannya kita harus mempercayakan pada siapa pemberantasan korupsi di negeri ini. Kalau berharap pada pemerintah jangan bermimpi sepanjang komitmen nyata tidak ada, begitupun para pimpinan KPK harus mulai mensterilkan diri menajadi karter kasus dan jabatan, kemudian untuk para pioner akhir hukum seperti hakim, sepanjang masih memaknai hukum sebagai undang-undang semata, dan tidak merubah cara memaknai hukum dengan memperhatikan tuntutan masyarakat yang menempatkan korupsi sebagai kejahatan extra ordinary crime, maka pemberantasan korupsi tetap stagnan bahkan akan semakin mundur.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...