Oleh Ridwan Said*
13 TAHUN Bangsa ini lepas
dari genggaman Orde Baru, Pancasila kembali menjadi wacana, MPR di bawah Taufik
Kiemas, gencar mewacanakan perlu di jewantahkannya dengan rill Empat Pilar
Bangsa yaitu, Pancasila, NKRI, UUD 1945, Kebhinekaan Tunggal Ika. Kerinduan atas
Pancasila kembali menggema setelah Bangsa akhir-akhir ini diwarnai dengan
gerakan radikalisme atas nama kepercayaan, konflik SARA, terorisme, kebebasan
berekspresi yang berlebihan, menguatnya dominasi asing di berbagai sektor, liberalisasi
pasar, politik transaksional, oligarki politik, akhir dari semua itu ialah indikasi
dari gagalnya sebuah Bangsa.
1 Juni 2011 adalah
momentum peringatan kelahiran Pancasila, momen ini menjadi sangat tepat Mereview kembali sejarah berdirinya
bangsa dan nilai filosofis Pancasila, lalu memotretnya dalam kehidupan bernegara
serta seperti apa pengejewantahan dalam kebijakan Pemerintah masa kini, untuk
menatap masa depan.
Bergemurunya pembicaraan
akan Pancasila mencapai pusaran intesnya (center
of intensity) ketika Pemerintah gagal menjinakkan segala persoalan diatas, lalu
banyak orang melihat kembali Pancasila, karena di yakini, menguatnya radikalisme,
intoleransi, liberalisasi negara, dan lemahnya Negara disatu sisi di akibatkan hilangnya
jati diri bangsa, kalau dulu hanya Negara (TNI/Polri) yang boleh menembak
warga, sekarang tidak lagi menjadi monopoli mereka, karena “teroris” juga bisa “melakukan”
hal yang sama, dengan jaringan dan peralatan yang sama pula.
Ini adalah indikasi
negara ini menju negara gagal sebagaimana yang dikatakan (Robert Rotberg: 2002)
Indonesia merupakan satu dari 42 negara didunia yang sedang bergerak dari
status lemah menju kepada kegagalan atau keambrukan, sindrom dari suatu negara
yanga gagal adalah: keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis agama tidak kunjung selesai, korupsi
meraja lela, legitimasi Negara terus menipis, kerawanan terhadap tekanan luar
negeri, ketakberdayaan Pemerintah dalam meghadapi masalah dalam negeri.
Terlepas Pancasila
masih diperdebatkan kesohihannya dalam mengahadapi semua masalah itu, yang
jelas Pancasila bukan pepesan kosong yang tidak bermakna, di dalamnya
terkandung filosofi yang menjadi spirit pemersatu di tengah keberagaman, penerobos
sekat-sekat individualisme. Pertanyaan yang dapat di ajukan disini adalah
seberapa jauhkah filosofi bangsa itu determinan terhadap keberadaan suatu bangsa
pada masa lampau, kini dan akan datang, pertanyaan ini penting ketika kita
melihat anomali dan paradoksnya kehidupan berbagsa dewasa ini.
Weber menyatakan
kebangkitan Eropa Barat khususnya kaum Kristiani-Protestan
dipengaruhi oleh spirit pembaruan (purifikasi) agama itu yang meyakini, kerja
keras, keuletan, kejujuran, kesejahteraan di dunia merupakan jaminan untuk
masuk surga. Begitupun bangsa Jepang, China yang sangat percaya denga
nilai-nilai luhurnya.
Parsayarat terbentuknya
sebuah Negara, baru dikatakan sebagai Negara modern menurut (Addrews: 1968)
setidaknya harus memiliki tiga kesepakatan dasar yaitu, pertama kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama, kedua
kesepakan tentang the rule of law
sebagai landasan Pemerintah, ketiga
kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi Negara dan prosedur
ketatanegaraan. Semua prasayarat itu telah dipenuhi oleh bangsa Indonesia melalui
Pancasila, Konstitusi dan sistim politik. Pancasila, secara historis adalah
pandangan hidup yang nilai-nilainya sudah ada sebelum bangsa ini lahir secara
yuridis, secara kultural dasar-dasar pemikiran Pancasila berakar pada nila
kebudayaan nilai religius yang dimiliki oleh bangsa Indonesai (Kaelan: 2011),
nilai-nilai ini kemudian di bahas dan dirumuskan oleh para Founding Fathers Bangsa kemudian disepakati dalam konsensus di
forum BUPKI dilanjutkan di PKKI sebagai lembaga yang membentuk Negara.
Hasil kesepakan
inilah kemudian menghasilkan dasar pendirian bangsa, pada mulanya disepakati
piagam jakarta pada 22 juni 1945, yang dalam sila pertama menyebutkan “Kewajiban menjalanakan sariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya,” kemudian di ganti dengan “Ketuhanan yang masa Esa.”kesepakan pertama itulah yang ditagih
Islam politik dan Islam konservatif yang melahirkan juga perlawanan terhadap
Negara (Pancasila).
Bangsa Indonesia
telah menentukan jalan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu “khitoh” kenegaraan, Philosophiche Grondslog atau dasar falsafah Negara yaitu Pancasila,
sebagai falsafah bangsa secara yuridis ia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,
alinea ke IV yang berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi, atau dalam
teori hukum Von Savigny menyebutnya sebagai “Volkgeyst” yaitu jiwa bangsa,
oleh karena itu ia adalah sumber dari segala sumber hukum dan kebijakan Negara
dalam wilayah operasionalisasinya.
Pancasila sebagai
dasar Negara, philoshopy grondslag
merupakan suatu realitas objektif bangsa dan negara Indonesia yang memiliki
dasar lebitimasi yuridis, filosofis, politis, historys dan kultural, hanya saja
para pemimpin bangsa ini telah menggadaikan Pacasila hanya untuk kepentingan
pragmatis, dan mereka menafsirkan pancasila secara serampangan yang sesuai dengan
kehendak politiknya, berganti rezim berganti pula pemaknaan terhadap Pancasila,
bahkan saling bertentangan (ironiskan). Pancasila sebagai Bacis Philosophy seharusnya ia dapat memberikan warna dasar seperti
kejujuran, konsisten, toleransi, kebahagiaan serta kesejahteraan walau rezim berubah, namun kebebasan setelah
reformasi ia telah terjadi kesalah epistomologi penafsirkan secara serampangan (epistomology mystake). kekacauan
penafsiran terhadap pancasila ini setidaknya terjadi, menyamakan antara nilai,
norma, dan praksis (fakta) dengan Pancasila,
kemudian,konteks politik dimana mengidentikkan Pancasila dengan rezim
kekuasaan, yang terlintas kemudian adalah Pancasila sebagai label Orba, fakta
sejarah menunjukan ketika Orde Baru berkuasa Pancasila dijadikan sebagai
legitimasi politik, memaksakan kehendak, bahkan dijadikan sebagai alat melenyapkan
penantang (baca: tangjung priok, lampung berdarah, dll.) sehingga Era Reformasi
ketika orang berbicara Pancasila sama halnya mengembalikan kewibawaan Orba, P4
yang menjadi sarana indoktrinasi Orde
Baru dihapuskan, selanjutnya kesesatan epistomologi yang ketiga adalah menempatkan Pancasila sebagai varian yang setingkat
dengan agama, bagi politik yang mendasarkan pada agama bahkan menganggap Pancasila
sebagai penghalang bahkan mengancam Agama, padahal Pancasila itu sama sekali
berbeda dengan agama, dan tidak benar pula
Pancasila itu menampung apa saja, Pancasila itu merupakan filosofis bangsa Indonesia,
dan ketika berbicara filososfi bangsa maka yang terlintas kemudian adalah, kehidupan
yang dilandasi oleh ketuhanan, bukan ateisme seperti komunisme, juga tidak
memisahkan kehidupan bangsa dan agama seperti liberalisme, dalam memutuskan
sesuatu Pancasila menghendaki dilakukan dengan musyawarah dan mufakat, bukan one man one vote, disinilah harus
dimaknai bahwa sesungguhnya “Negara” dalama skala makro sebenarnya yang
melakukan perlawanan/pembangkangan terhadap Pancasila, bukan di arahkan
sepenuhnya pada kaum muslimin “konservatif”.
Terputusnya mata
rantai filosofi pembentukan bangsa dengan hilangnya wacana Negara kekeluargaan
pasca amandemen ke 4 yang merupakan kotektualisasi paham kolektivisme yakni
mazhab yang bertentangan dengan indivudualisme. Demokrasi konsensus yang
berdasarkan pada asas permusyawaratan perwakilan yang di yakini sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang plural, majemuk, kemudian di ubah dengan sistim demokrasi
mayoritas yang liberal, pemerintah presidensial di tetapkan sebagai pengganti
sistim pemerintahan semi-presidensial, Studi
F.N Riggs di 76 negara di dunia
ketiga, dari 33 negara yang menggunakan sistim presidensial tidak ada satupun
dapat bertahan, atau kesimpulan Scoot Mainwaring
yang mengamati sistem presidensil di Amerika Latin yang menyebutkan sistim
presidensial dengan multi partai di 31 Negara
yang dipandang paling sukses dalam pelaksanaan demokrasi, ternyata tidak dapat
menciptakan demokrasi yang stabil.
Dari segi
ekonomi, Amandemen UUD 1945 juga
khususnya pasal 33 telah menggoyahkan sendi-sendi sistem ekonomi yang
berkeadilan sosial yang dicita-citakan founding
father dan membuka pintu bagi sitim ekonomi liberal-kapitalistik yang
memang jauh menyimpang dari ide dasar pendirian bangsa ini. Gelombang
globalisasi yang terwujud dalam kesepakatan G20, AFTA, dll, memaksa UKM gulung
tikar karena kalah bersaing, Untuk keluar dari krisis itu maka agar pemerintah
tidak disebut sebagai pelawan/penantang Pancasila dalam skala makro, revitalisasi
dan reaktualisasi nilai Pancasila
menjadi mutlak dan dimulai dari komitmen Pemerintah untuk menginternalisasikan
nilai kejujuran tanpa kebohongan, keuletan tanpa sandiwara, keperpihakan yang
tidak politis, kekeluargaan tanpa individualis, kalau tidak riak-riak perlawanan
dari Islam konsevatif akan terus berlanjut, dan Pancasila hanya akan menjadi
kata-kata yang sekedar dirindukan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar