MENILAI “SUMBAWA
MENCEKAM” DALAM KAJIAN TEORI HUKUM
Oleh: Ridwan M.
Said
Sementara
keluarga korban dan mahasiswa yang ikut simpatik tidak dapat menerima pernyataaan
itu, mereka menilai kematian mahasiswa tersebut ada dugaan dibunuh oleh oknum Polisi
yang kebetulan berasal dari lain, mahasiswa dan keluarga korban menuntut untuk
segera mengadili si pelaku, namun tuntutan itu tidak direspon secara cepat oleh
kepolisian, akhirnya terjadilah amukan warga.
Terlepas dari banyak
faktor pendorong dan pendukung atas amukan warga, ada satu hal mendasar yang
memicu gerakan massa tersebut, yakni lambannya aparat penegak hukum dalam
merespon tuntutan warga, walau polisi sendiri sudah menyatakan kejadian itu disebabkan
murni kecelakaan lalu lintas, itu bukan berarti kerja polisi telah usai, kalaupun
alasan itu benar secara hukum, tetap saja ada kegagalan polisi dalam membangun
komunikasi dengan pihak keluarga korban dan mahasiswa.
Dari persoalan
di atas, timbul satu pertanyaan, bagaiama seharusnya tindakan yang diambil kepolisian
dalam merespon aspirasi mahasiswa dan masyarakat Sumbawa (keluarga korban)
sebelum terjadinya amukan massa, sehingga mungkin suasana mencekam seperti itu tidak
akan terjadi dan yang lebih penting tidak terulangi kembali dikemudian hari.
Persoalan diatas akan coba dilihat dengan pendekatan kajian teori hukum.
Pada dasarnya
hukum adalah alat integrasi sosial, sebagai alat integrasi, ia setidaknya
memiliki dua fungsi, yakni fungsi social
control dan fungsi social engginering.
Di era kini sebenarnya hukum di niatkan untuk mendorong dua fungsi diatas,
namun yang terlihat hukum hanya focus sebagai socoal control saja, fungsi
ini mengandung tujuan tujuan hukum di proyeksikan menjaga ketetiban dan
kenyamanan dalam masyararakat. Di luar dua fungsi di atas sebenarnya masih
banyak fungsi hukum, karena dalam teori hukum sendiri mengandung banyak mazhab,
dan setiap mazhab hukum memiliki pijakan antologi, epistomologi, dan asiologi
sindiri-sendiri, mazhab-mazhab hukum itu ialah, mulai dari mazhab hukum kodrat,
positivisme, sejarah, sociological
juresprudenc, dan mazhab realisme hukum.
Dalam kaitannya
dengan kerusahan yang terjadi di Sumbawa, timbu pertanyaan, dasar mazhab hukum
mana yang mempengaruhi pola kerja kepolisian, sehingga gagal menangkap emosi
rakyat atas kejadian pemicu tersebut?
Untuk menjawab
kasus di atas, dan memahami mazhab mana yang dominan mempengaruhi pola kerja
aparat penegak hukum di Indonesia secara umum, maka kita akan kembali pada sejarah
bangsa Indonesia. Sebagai negara peninggalan koloni Belanda, kita sampai saat
ini masih mewarisi tradisi hukum Belanda tersebut, yakni dalam kajian teori
hukum disebut mazhab positivisme (Austin, Kalsen, Hart) atau dalam kajian
terori hukum disebut disebut modern (padanan hukum Adat/Islam).
Ajaran positivisme
memaknai hukum itu adalah seperangkat norma (Kalsen) atau aturan (Hart) yang
telah ditetapkan menjadi UU (ontologi), oleh penguasa atau yang berdaulat (DPR dan
Presiden) (epistomologi), yang bersifat memaksa, serta memiliki sanksi yang tegas, dengan tujuan agar terjaganya
ketertiban dan kepastian hukum (aksiologi).
Teori hukum diatas
memiliki kekuasaan dominan bahkan menghegemoni khasanah pembangunan hukum
Indonesia (lihat teori hukum pembangunan Mochtar), karena dianut secara resmi
oleh negara, ia memiliki pengaruh dan mungkin saja sangat sulit di hindari oleh
pengak hukum seperti kepolisian dalam menyelesaikan berbagai kasus yang
terjadi. Dalam cara berpikir seoseorang yang dipengaruhi oleh paham hukum ini, hukum
itu tidak lain merupakan UU yang dibuat oleh pemerintah, diluar itu tidak
dianggap hukum, tujuannya adalah kepastian hukum. Jadi kalau timbul masalah seperti
kasus meninggalnya mahasiswa di Sumbawa tersebut, cara kerjanya adalah menilai
persoalan yang muncul apakah sesuai atau tidak dengan pasal-pasal yang ada
dalam teks UU, kalau tidak sesuai maka dianggap tidak ada masalah hukum, cara
berpikir model itu saat ini telah kita lihat konsekwensinya. Polisi melihat
tidak ada tindak pidana, itu murni kecelakaan, persolaan dilihat hitam atau
dengan kacamata kuda, melihat lurus kedepan, tidak ingin menoleh kekiri dan
kekanan, kalau bukan hitam pasti putih, tidak ada merah, kuning atau hijau.
Kerja hukum
dianggap selesai ketika telah sesuai dengan prosedur, bahkan prosedur lebih
penting dari keadilan itu sendiri, keadilan akan dikorbankan atau dianggap
telah terpenuhi mana kala prosedur telah di penuhi. Padahal prosedur itu
sendiri era sekarang sangat mudah dimanipulasi. Sekali lagi dalam cara kerja
teori hukum positivisme ia lebih mementingkan keadilan prsedural, bukan
keadilan substantive sebagaimana yang benar-benar dikehendaki rakyat, keadilan
procedural itu bertitik tolak dari teks UU, sebaliknya keadilan substantif itu
bertitik tolak dari aspirasi rakyat.
Karena begitu
mementingkan keadilan procedural tersebut tidak heran akhir-akhir ini kita sering
menyaksikan hukum gagal bekerja ditengah masyarakat dengan munculnya konflik
dimana-mana, koruptor tumbuh pesat, rakyat merasakan ada jurang yang besar
antara apa yang dikehendaki hukum (UU) dengan apa yang di inginkan rakyat.
Itulah kenapa kemudian,
sejak dahulu. Hingga sekarang paradigma positivisme banyak ditentang oleh para
pakar teori hukum, cara kerjanya yang mengagungkan prosedur (glamourize of procedure) demi mengejar
kepastian hukum, tidak lagi sohih dalam mengurai persoalan bangsa ini.
Dalam kasus
kerusuhan Sumbawa dan juga kasus-kasus
lainnya yang terjadi di NTB, bila saja otoritas hukum setempat sensitive memaknai
aspirasi rakyat, seperti menahan dulu yang di duga sebagai pelaku demi meredam
emosi masyarakat, karena toh akhirnya nanti pengadilan juga yang akan memutuskan
dia bersalah atau tidak. Kesimpulan yang menyatakan murni kecelakaan ditambah
orang yang dicurigai itu adalah etnis luar dan seorang oknum polisi menambah
kecurigaan warga.
Tapi karena polisi
terlalu mementingkan prosedur dan kepastian hukum, mereka gagal ikut merasakan
suasana hati rakyat dan keluarga korban yang kecewa dan menutut keadilan. Dalam
suasana seperti itu otoritas penegak hukum seharusnya berani untuk keluar dari
cara berpkir “hukum adalah teks UU semata-matan”
manun juga tidak ada salahnya melihat hukum juga dilihat sebagai law in action, hukum tidak boleh
ditifsirkan satu-satunya UU, masyarakat mengamuk tidak mungkin bisa di urai dengan
teks, ia harus dilihat sebagai perasaan hukum, mungkin saja mereka merasa
terinjak-injak harga dirinya, sehingga harus dilihat sebagai nilai (teori
integratif), apa yang menjadi tuntutan rakyat harusnya dilihat juga sebagai
hukum, yaitu menutut keadilan, teks UU harus diabaikan dalam suasana seperti
itu, karena kalau teks UU menjadi harga mati, maka manusia akan menghamba pada
teks, seharusnya teks itu di dayagunakan untuk kepentingan rakyat untuk menghadirkan
keadilan, bukan sebaliknya sikap rakyat harus sesuai dengan UU, hukum untuk
manusia, maka ia harus menghamba pada kepentingan manusia (teori hukum
progresif).
Dalam cara pikir
positivisme amukan rakyat tersebut dilihat sebagai ketidak taatan atau
melakukan pembangkangan terhadap UU, dengan demikian kaum posotisme percaya,
untuk mengakhiri pembangkangan teks UU harus akan ditegakkan. Namun bagi hukum
progresif amukan warga tersebut tidak semata-mata dilihat sebagai
pembangkangan, justru teks UU dan perilaku aparatlah yang harus di rubah,
karena tidak berdaya guna, malah kenyataannya menjadi pemicu malapetaka.[]