Minggu, 21 April 2013

KAJIAN TEORI HUKUM




MENILAI “SUMBAWA MENCEKAM” DALAM KAJIAN TEORI HUKUM
Oleh: Ridwan M. Said

NTB kembali terbelit ke zona konflik, begitulah kata-kata yang lebih kurang tepat untuk mengggambarkan kondisi NTB akhir-akhir ini. Dua hari lalu masyarakat Sumbawa mengamuk dengan merusak, menjarah dan membakar rumah, kendaraan, kios, toko, hotel, bahkan tempat ibadah, penyebabnya adalah meninggalnya seorang mahasiswa Universitas Sumbawa, masalah mulai membesar ketika polisi menyatakan bahwa meninggalnya mahasiswi tersebut murni kecelakan lalu lintas.
Sementara keluarga korban dan mahasiswa yang ikut simpatik tidak dapat menerima pernyataaan itu, mereka menilai kematian mahasiswa tersebut ada dugaan dibunuh oleh oknum Polisi yang kebetulan berasal dari lain, mahasiswa dan keluarga korban menuntut untuk segera mengadili si pelaku, namun tuntutan itu tidak direspon secara cepat oleh kepolisian, akhirnya terjadilah amukan warga.
Terlepas dari banyak faktor pendorong dan pendukung atas amukan warga, ada satu hal mendasar yang memicu gerakan massa tersebut, yakni lambannya aparat penegak hukum dalam merespon tuntutan warga, walau polisi sendiri sudah menyatakan kejadian itu disebabkan murni kecelakaan lalu lintas, itu bukan berarti kerja polisi telah usai, kalaupun alasan itu benar secara hukum, tetap saja ada kegagalan polisi dalam membangun komunikasi dengan pihak keluarga korban dan mahasiswa.
Dari persoalan di atas, timbul satu pertanyaan, bagaiama seharusnya tindakan yang diambil kepolisian dalam merespon aspirasi mahasiswa dan masyarakat Sumbawa (keluarga korban) sebelum terjadinya amukan massa, sehingga mungkin suasana mencekam seperti itu tidak akan terjadi dan yang lebih penting tidak terulangi kembali dikemudian hari. Persoalan diatas akan coba dilihat dengan pendekatan kajian teori hukum.
Pada dasarnya hukum adalah alat integrasi sosial, sebagai alat integrasi, ia setidaknya memiliki dua fungsi, yakni fungsi social control dan fungsi social engginering. Di era kini sebenarnya hukum di niatkan untuk mendorong dua fungsi diatas, namun yang terlihat hukum hanya focus sebagai socoal control saja, fungsi ini mengandung tujuan tujuan hukum di proyeksikan menjaga ketetiban dan kenyamanan dalam masyararakat. Di luar dua fungsi di atas sebenarnya masih banyak fungsi hukum, karena dalam teori hukum sendiri mengandung banyak mazhab, dan setiap mazhab hukum memiliki pijakan antologi, epistomologi, dan asiologi sindiri-sendiri, mazhab-mazhab hukum itu ialah, mulai dari mazhab hukum kodrat, positivisme, sejarah, sociological juresprudenc, dan mazhab realisme hukum.
Dalam kaitannya dengan kerusahan yang terjadi di Sumbawa, timbu pertanyaan, dasar mazhab hukum mana yang mempengaruhi pola kerja kepolisian, sehingga gagal menangkap emosi rakyat atas kejadian pemicu tersebut?
Untuk menjawab kasus di atas, dan memahami mazhab mana yang dominan mempengaruhi pola kerja aparat penegak hukum di Indonesia secara umum, maka kita akan kembali pada sejarah bangsa Indonesia. Sebagai negara peninggalan koloni Belanda, kita sampai saat ini masih mewarisi tradisi hukum Belanda tersebut, yakni dalam kajian teori hukum disebut mazhab positivisme (Austin, Kalsen, Hart) atau dalam kajian terori hukum disebut disebut modern (padanan hukum Adat/Islam).
Ajaran positivisme memaknai hukum itu adalah seperangkat norma (Kalsen) atau aturan (Hart) yang telah ditetapkan menjadi UU (ontologi), oleh penguasa atau yang berdaulat (DPR dan Presiden) (epistomologi), yang bersifat memaksa, serta memiliki sanksi   yang tegas, dengan tujuan agar terjaganya ketertiban dan kepastian hukum (aksiologi).
Teori hukum diatas memiliki kekuasaan dominan bahkan menghegemoni khasanah pembangunan hukum Indonesia (lihat teori hukum pembangunan Mochtar), karena dianut secara resmi oleh negara, ia memiliki pengaruh dan mungkin saja sangat sulit di hindari oleh pengak hukum seperti kepolisian dalam menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi. Dalam cara berpikir seoseorang yang dipengaruhi oleh paham hukum ini, hukum itu tidak lain merupakan UU yang dibuat oleh pemerintah, diluar itu tidak dianggap hukum, tujuannya adalah kepastian hukum. Jadi kalau timbul masalah seperti kasus meninggalnya mahasiswa di Sumbawa tersebut, cara kerjanya adalah menilai persoalan yang muncul apakah sesuai atau tidak dengan pasal-pasal yang ada dalam teks UU, kalau tidak sesuai maka dianggap tidak ada masalah hukum, cara berpikir model itu saat ini telah kita lihat konsekwensinya. Polisi melihat tidak ada tindak pidana, itu murni kecelakaan, persolaan dilihat hitam atau dengan kacamata kuda, melihat lurus kedepan, tidak ingin menoleh kekiri dan kekanan, kalau bukan hitam pasti putih, tidak ada merah, kuning atau hijau.
Kerja hukum dianggap selesai ketika telah sesuai dengan prosedur, bahkan prosedur lebih penting dari keadilan itu sendiri, keadilan akan dikorbankan atau dianggap telah terpenuhi mana kala prosedur telah di penuhi. Padahal prosedur itu sendiri era sekarang sangat mudah dimanipulasi. Sekali lagi dalam cara kerja teori hukum positivisme ia lebih mementingkan keadilan prsedural, bukan keadilan substantive sebagaimana yang benar-benar dikehendaki rakyat, keadilan procedural itu bertitik tolak dari teks UU, sebaliknya keadilan substantif itu bertitik tolak dari aspirasi rakyat.
Karena begitu mementingkan keadilan procedural tersebut tidak heran akhir-akhir ini kita sering menyaksikan hukum gagal bekerja ditengah masyarakat dengan munculnya konflik dimana-mana, koruptor tumbuh pesat, rakyat merasakan ada jurang yang besar antara apa yang dikehendaki hukum (UU) dengan apa yang di inginkan rakyat.
Itulah kenapa kemudian, sejak dahulu. Hingga sekarang paradigma positivisme banyak ditentang oleh para pakar teori hukum, cara kerjanya yang mengagungkan prosedur (glamourize of procedure) demi mengejar kepastian hukum, tidak lagi sohih dalam mengurai persoalan bangsa ini.
Dalam kasus kerusuhan Sumbawa  dan juga kasus-kasus lainnya yang terjadi di NTB, bila saja otoritas hukum setempat sensitive memaknai aspirasi rakyat, seperti menahan dulu yang di duga sebagai pelaku demi meredam emosi masyarakat, karena toh akhirnya nanti pengadilan juga yang akan memutuskan dia bersalah atau tidak. Kesimpulan yang menyatakan murni kecelakaan ditambah orang yang dicurigai itu adalah etnis luar dan seorang oknum polisi menambah kecurigaan warga.
Tapi karena polisi terlalu mementingkan prosedur dan kepastian hukum, mereka gagal ikut merasakan suasana hati rakyat dan keluarga korban yang kecewa dan menutut keadilan. Dalam suasana seperti itu otoritas penegak hukum seharusnya berani untuk keluar dari cara berpkir “hukum adalah teks UU semata-matan” manun juga tidak ada salahnya melihat hukum juga dilihat sebagai law in action, hukum tidak boleh ditifsirkan satu-satunya UU, masyarakat mengamuk tidak mungkin bisa di urai dengan teks, ia harus dilihat sebagai perasaan hukum, mungkin saja mereka merasa terinjak-injak harga dirinya, sehingga harus dilihat sebagai nilai (teori integratif), apa yang menjadi tuntutan rakyat harusnya dilihat juga sebagai hukum, yaitu menutut keadilan, teks UU harus diabaikan dalam suasana seperti itu, karena kalau teks UU menjadi harga mati, maka manusia akan menghamba pada teks, seharusnya teks itu di dayagunakan untuk kepentingan rakyat untuk menghadirkan keadilan, bukan sebaliknya sikap rakyat harus sesuai dengan UU, hukum untuk manusia, maka ia harus menghamba pada kepentingan manusia (teori hukum progresif).
Dalam cara pikir positivisme amukan rakyat tersebut dilihat sebagai ketidak taatan atau melakukan pembangkangan terhadap UU, dengan demikian kaum posotisme percaya, untuk mengakhiri pembangkangan teks UU harus akan ditegakkan. Namun bagi hukum progresif amukan warga tersebut tidak semata-mata dilihat sebagai pembangkangan, justru teks UU dan perilaku aparatlah yang harus di rubah, karena tidak berdaya guna, malah kenyataannya menjadi pemicu malapetaka.[]



KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...