BOLA, POLITIK, DAN SANDERA HUKUM: Sebuah Renungan Akhir
Tahun
Oleh:
Ridwan M. Said
Gagap gempita
langkah spektakuler Tim Merah Putih di Piala AFF mampu membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia yang selama
ini terpuruk. Antusiasme rakyat mendukung tim merah putih
seakan menggambarkan begitu rindunya
masyarakat dengan kata yang bernama “juara”
dan tentunya pasti membanggakan, betapa tidak selama ini rakayat selalu
ditemani dan disuguhi beragam “prestasi”
yang menjengkelkan, dan tidak menyenangkan. Sebut saja dan Indonesia sebagai
Negara terkorup di asia pacific. Antusiasme ini
mendapat sokongan (suport) yang cukup
tinggi dari pemberitaan media, hal ini setidaknya telah mampu menurunkan tensi emosional masyarakat awam yang cenderung merasa muak menyaksikan dagelan politik
yang ditampilkan oleh elit negeri ini di panggung sandiwara politik
sepanjang tahun 2010.
Agresifnya langkah Gonzales dkk, membuat rakyat
Indonesia sedikit mampu melupakan kemelut sandiwara para
elit dan mafia yang selalu mewarnai Headline sebagian
besar mass media. Namun sayang, keperkasaan
Tim Garuda yang mencukur lawan-lawannya pada babak
penyisihan hingga masuk ke final, ternyata anti klimaks pada putaran terakhir. Indonesia
harus mengakui keunggulan Malaysia dan menerima kekalahan secara pahit. Setelah pada
leg pertama di stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur Tim
Indonesia dicukur 3-0 tanpa balas, dan pada leg kedua di Stadion
Gelora Bung Karno (GBK) timnas hanya mampu menang 2-1, walaupun menang pada leg kedua tapi kita kalah agregat 4-2. Malaysia
akhirnya keluar sebagai juara baru.
Pertanyaannya
kemudian, akankah adrenalin
akan
kembali naik atau setidaknya nasionalisme akan bertahan atas kekalahan itu? Salah satu jawaban yang bisa kita
ajukan di sini ialah
tergantung bagaimana media mampu
mengemas suatu peristiwa yang menyuguhkan realitas empirik perjalanan
Bangsa selama satu tahun terakhir, untuk kemudian
dijadikan sebagai suatu komoditas pemberitaan yang mampu menyedot perhatian
pemirsa serta mampu mnembangkitkan rasa nasionalisme yang semakin pudar.
Berjalan
mundur
Euphoria Sepak bola tanah air akhir tahun ini benar-benar
mampu menguburkan problem-problem besar bangsa. Padahal kita semua tahu, sepanjang
tahun 2010 begitu banyak masalah datang dan pergi silih berganti Tahun 2010 benar-benar merupakan tahun kemunduran
dari banyak hal dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Di bidang pertanian, selama
tahun 2010 yang paling menderita adalah petani. Akibat
bencana iklim ekstrem, berbagai komoditas pangan dan pertanian mengalami penurunan produksi, Menurut data Badan Pusat
Statistik menunjukkan, produksi padi 2010 hanya naik 2,46 porsen, atau 0,74
persen dibawah target 66,68 juta ton gabah kering giling, produksi jagung
kurang 2 ton dari target 19.8 juta ton. Petani bawang merah di Brebes-Jateng
gagal panen atau setidaknya menurun drastis produksinya, Produksi kedelai turun
7,13% atau turun 69,497 ton dari tahun 2009, produksi gula turun 400.000 ton
dan Produksi susu turun 100 ton perhari.
Dalam hal politik juga
mencatat beberapa persoalan, ketegangan dengan Malaysia berkaitan masalah perbatasan, rentetan jatuhnya pesawat dan
helikopter, dalam hal politik luar negeri, diplomasi kita juga sangat lemah,
hal ini terlihat dari beberapa kali pembatalan kunjungan Presiden AS Barack
Husein Obama dan menjadi kunjungan tersingkat
dalam lawatan Obama ke Negara Asia. Pembatalan
kepergian Presiden Yudhoyono ke negeri
Belanda pada tanggal 5 oktober karena kekhawatiran
terhadap ancaman
dengan penangkapan oleh anggota RMS di belanda,
Tahun ini mencatat sejarah penting dalam gerakan
pemberantasan korupsi. Untuk pertama kalimya,
seorang terpidana korupsi diampuni. Presiden Sby memberikan Grasi/ pengampunan
kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kaltim)
Syaukani Hasan Rais pada perayaan hari kemerdekan 17 Agustus (Kompas, 20/12). Di
samping itu, kasus yang paling mencuat dan Trand Setter 2010 juga adalah kasus
pemberian talangan kepada Bank Century 7,67 triliyun kemudian disusul kasus
pegawai pajak Gayus Tambunan, serta kasus kriminalisasi Pimpinan KPK, sampai
berlarut-larutnya, di samping masalah
terorisme.
Untuk kasus Century, DPR
menorehkan sejarah dengan membentuk panitia khusus untuk menelisiknya dan
bahkan memanggil Wapres serta Mantan Menkeu Sri Mulyani,
hasilnya sangat jelas yaitu merekomendasikan aparat penegak hukum, KPK,
Kejaksaan dan Kepolisian menindak lanjutinya bahkan Tim pengawaspun dibentuk, sayangnya
riuh rendah kasus ini mereda setelah
koalisi partai pendukung Pemerintah membentuk Setgab. Bahkan pemberitaan akhir-akhir ini menyatakan bahwa setgab tengah
mengalami keretakan yang cukup rawan.
Politik penyanderaan
Tahun 2010 saya kira semua orang sepakat bahwa
bidang politik dan hukum merupakan bidang yang paling menjengkelkan sekaligus memprihatinkan. Kita harus rela menyaksikan
etika politik yang tidak bermartabat, tidak bisa dimungkiri, di negeri ini
jarak antara kata-kata dan tindakan amatlah jauh.
Sejak 2004 Yudhoyono menyatakan akan memerangi korupsi bahkan akan tampil di
bagian terdepan, nyatanya itu hanya “bedak” politik. Bahkan pada tahun 2009 ia mengeluarkan kata-kata yang sangat
mengkhawatirkan dengan menyatakan kewenangan KPK terlalu luas, banyak pihak
yang kaget ketika IPK Indonesia 2,8 tahun 2010 sama dengan tahun 2009 dengan
peringkat Negara tergagal memerangi korupsi ke 110 dari 178 Negara, seharusnya
turun akibat pelemahan KPK secara sisitematis. Koordinator
Bidang Hukum ICW, Febri Diansyah menyatakan pemberantasan
korupsi tahun ini lebih buruk dibanding tahun lalu, hal ini paling tidak terindikasi dari menurunnya kuantitas
dan kualitas perkara yang ditangani KPK.
Perkembangan dinamika politik yang saling sikut
menyikut antara parpol yang melibatkan banyak elemen, baik politisi, pengusaha
dan aparat penegak hukum telah melahirkan tradisi politik penyanderaan. Politik
penyanderaan (reclination policy) ini
memakan korban dan menghabiskan energi, anggota fraksi PKS Misbakhun yang
selama ini dikenal vokal dan kritis justru diproses hukum
dan divonis satu tahun penjara atas kasus pemalsuan dokumen akta gadai dan
surat kuasa. PPP terkena kasus
mantan Mensos Bachtiar Chamzah dengan kasus pengadaan sapi dan sarung, PKB
dengan kasus perpecahan partai, PAN dengan kinerja menteri Hukum dan HAM-nya yang semua itu terlihat
nyata adanya unsure politisasi dan saling sandera kekuatan demi melindungi
kepentingan kelompok tertentu.
Golkar harus bekerja ekstra,
karena kasus Gayus adalah kasus yang dapat mengunci partai itu.
Energi Partai Demokrat juga tersedot untuk menangkal (abjure) serangan terkait pemberian dana talangan 6,67 triliyun Bank
Century, PDIP yang selama ini vokal jadi oposisi mulai terganggu dengan kasus
pemberian cek pelawat pemilihan Deputi Senior BI Miranda Goeltom tahun 2004.
Praktek politik saling sandera dalam kasus Century
dan Gayus melibatkan tokoh-tokoh kunci di Setgab. Kriminalisasi KPK ada peran
politik yang bemain, Direktur Eksekutif Reform Institue Yudi Latif menegaskan
tahun 2010 merupakan tahun perongrongan dan pelemahan hukum oleh politik,
sementara Teten Masduki menyatakan kriminalisasi KPK bukan temporer tapi
sistematik.
Hukum telah digunakan untuk melindungi kepentingan
kelompok tertentu tetapi di sisi lain juga untuk mengamputasi lawan politik. Seharusnya
hukum berdiri di atas profesionalitas dan keadilan,
bukan untuk kekuasan dan kepentingan politik tertentu. Namun nyatanya, di negeri ini Parpol dan politisi saling
memegang kartu “truf”, dan kartu “truf” itu adalah
senjata yang paling
gampang sekaligus mematikan terkait masalah hukum dari lawan politiknya.
Politik
determinan atas hukum
Melihat peta dinamika sosial politik negeri ini sangat sulit dijelaskan
dengan argumentasi rasional (teori). Dalam
kajian politik hukum, tesis Mahfud MD menyatakan bahwa ketika
konfigurasi pemerintahan itu otoriter, maka
produk hukum akan berkarakter ortodoks/ konservatif/ represif dan cenderung elitis. Sebaliknya
ketika peta politik berkonfigurasi demokratis maka karakter produk hukum
bersifat responsif, atau dalam
bahasanya Philipe Nonet dan Philipe Selznic, peran
masyarakat sangat kuat dan Pemerintah mengakomodir
aspirasi masyarakat itu.
Konfigurasi politik Indonesia saat ini bisa
dikatakan “demokratis”, namun
ada satu hal yang harus dicatat ternyata konfigurasi politik yang demokratis
tidak selalu mampu menempatkan hukum sebagai instrumen kehidupan atau
kebijakan, malah energi politik sangat dominan dan menghegemoni hukum secara determinant. Masyarakat selama ini “dinina bobokan” dengan doktrin
Negara Hukum (Rechstaat/Rule of law/ Justice For All) dan
lain-lain, itu hanya berlaku dalam dunia “sollen”
(seharusnya) tapi dalam kenyataaanya “das
sein” politklah yang dominan terhadap hukum, atau dalam kata lain hukum
tergantung dari pada kemauan politik, buktinya penegak hukum sangat mudah
terpengaruh dengan kepentingan politik dan desain politik elit.
Argumentasi itu dikuatkan dalam tataran sistem
perubahan dan eskalasi sosial, bahwa bidang yang paling berpengaruh adalah
ekonomi, kemudian politik, dan hukum menempati kekuatan pengaruh sangat rendah
sama dengan budaya dll. Kaum Marxis menyatakan, ekonomi
merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada
sruktur atas. Tidak
ada satu pun peristiwa sejarah di dunia ini yang
tidak dapat dijelaskan dengan kategori-kategori kepentigan ekonomi. Perang,
revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motof-motif ekonomi
dan politik adalah alat bercokolnya agenda ekonomi melalui
penjungkirbalikan supremacy hukum.
Khudzaifah Dimyati
menyatakan hukum bukanlah kawasan “esotrik”
artinya tidak bisa melepaskan diri dari dunia lain semacam ekonomi, politik,
budaya dan sosial, untuk itu harusnya rakyat mulai sadar
bahwa hukum dan keadilan di negeri tidak akan pernah ditegakkan selama
penguasa, politisi dan kaum pemodal tidak memiliki moral dan etika yang berpihak kepada mereka. Selama hal ini masih dominan, harapan
tegaknya hukum dan keadilan hanya
akan menjadi asa tahunan yang senantiasa berulang semata.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar