MENANTI INSAFNYA NEGARA
Oleh: Ridwan M. Said
Untuk Pertama
kali, dalam sejarahnya sebagai presiden SBY mengalami penurunan elektabilitas hingga
dibawah 50 %, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil survei beberapa lembaga
yang secara kontinyu, menggalang opini public
atas kinerja pemerintah, setidaknya disebabkan oleh berbagai kasus korupsi yang
diduga melibatkan kader partai demokrat, serta kasus terpancungnya TKI di Arab
Saudi tanpa diketahui oleh perwakilan pemerintah Indonesia.
Rakyat Indonesia
kemudian menghukum SBY dan partainya (Demokrat) dengan tingkat kepercayaan yang
menurun sangat drastis, itu artinya secara harfiah SBY tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai Presiden yang harus didukung oleh legitimasi mayoritas
suara rakyat (50,1 %), dengan kondisi legtimasi seperti itu, bila dibandingkan
dengan negara lain seperti Jepang, mengharuskan seorang Perdana Menteri atau Presiden
mengundurkan diri, Tapi inikan alam Indonesia ! semua bisa di tutupi dengan setumpuk
isu-isu lain.
Penghukuman
rakyat yang bersikap tidak simpatik pada rezim SBY ini sebenarnya mencerminkan
kondisi (condition), pola pikir (mainstream), ketangkasan (exeleration), dan struktur sosial (social strucuture) rakyat Indonesai yang sebenarnya
(baca: struktur perubahan sosial), yang tentu saja berkaitan erat dengan
tingkat pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Mereka sangat mudah emosi dan
meledak-ledak pada saat masalah sedang hangat disungguhkan mass media, Sebalikya,
persoalan yang sangat substansial dan serius, yakni “kejahatan-kejahatan” masif
“negara” yang menyangkut kelangsungan kehidupan masa kini dan akan datang, tidak
pernah memancing kemarahan, kejengkelan, dan emosi rakyat Indonesia.
Tulisan
ini ingin mengingatkan pada kita semua, khusnya kelas menengah (middel class) agar jangan hanya emosi,
jengkel dan marah karena terpancungnya beberapa TKW diluar negeri, dan rentetan
kasus korupsi yang membelit kader partai Demokrat, lalu menghukum pemerintah
dan partai itu dengan tingkat kepercayaan yang rendah, justru kemarahan,
kejengkelan, dan emosi itu juga harus diarahkan pada lamanya negara ini absen dalam
mewujudkan cita-cita para funding father
66 tahun lalu, dalam mewujudkan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan bagi
seluruh rakyat. Persoalan beberapa kasus yang mencuat dipermukaa belakangan ini
memang bukan masalah sepele, namun masalah yang sesungguhnya, entah sengaja
atau tidak terkubur oleh pemberitaan media, sangat besar, dan masyarakat Indonesia
luput dan tidak marah atas kejahatan itu.
Ironis
Masih sangat
mudah ditemukan bukti nyata manusia Indonesia, yang putus sekolah, gizi buruk, busung
lapar, petani gagal panen, kekurang dokter dimana-mana, bunuh diri, dan rakyat yang
bercokol dibawah garis kemiskinan, penggangguran yang semakin meningkat,
anak-anak yang selarusnya bertugas untuk belajar dan menikmati masa kecil dan
remajanya terpaksan bekerja berjam-jam demi mempertahankan hidup, pekerja anak
Indonesia Tahun 2009 hasil survei ILO bekerja sama dengan BPS mengungkap,
sedikitnya 4 juta dari 58,8 juta anak di Indonesia berusia 5-17 tahun terpaksa
bekerja, sebanyk 1,7 juta bekerja 12 jam hingga 21 jam per minggu. Pada saaat
yang sama pula rakyat tidak menghukum pemerintah yang telah menjual dan menyerahkan
aset-aset penting nasional, seperti perbankan, telekomunikasi, dan pertambangan
yang semunya dikuasai asing diatas rata-rata 70 %.
Pada
satu sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,1 porsen 2010, dan
diprediksi 6,4 porsen tahun 2011 dan akan terus naik. orang kelas menengah baru
Indonesia mencapai 50 juta jiwa (middle
class), atau cadangan devisa pada pekan ketiga juni 2011 yang terus
mengalami kenaikan, mencapai 119 milyar dolar AS, dibanding mei 2011 yang hanya
118 Milyar Doalar AS.
Ironisnya
Kondisi itu tidak simetris dengan tingkat pendidikan dan kemiskinan yang terus
melanda rakyat Indonesia, Rektor UMS Prof. Bambang Setiaji dalam sebuah
tulisannya menggambarkan, kondisi tingkat pendidikan
Indonesia yang berpendidikan sampai lulus SD sebesar 3,3, juta,
berpendidikanSMP 2,6 juta, berpendidikan SMA 3,7 juta, dan berpendidikan
perguruan tinggi berbagai level hampir 1 juta.
Pada
saat yang sama program penurunan kemiskinan berjalan ditempat bahkan mundur, tingginya
angka pertumbuhan saat ini tidak mampu mendorong percepatan penurunan angka
kemiskinan, BPS mencatat jumlah masyarakat miskin pada maret 2011 mencapai 30,2
juta jiwa, atau hanya turun satu juta jiwa, di banding pada periode maret 2010.
Pada hal pada periode sebelumnya (maret
2009-maret 2010) penurunan kemiskinan mencapai 1,51 juta orang. Penyebab dari
lambannya penurunan orang miskin ini adalah naiknya garis kemiskinan, selama
maret 2010-maret 2011, garis kemiskinan meningkat sebesar 10,39 porsen, dari
Rp. 211.726 perkapita perbulan menjadi Rp. 233.740 perkapita perbulan, artinya
mereka-mereka yang mengeluarkan uang dibawah Rp. 7.800 perhari dapat dianggap miskin (Republika, 2/7/).
Pemerintah
mengklaim 30,2 juta orang miskinm, Ironisnya yang menerima BLT 70 juta.
Sementara kalau mengacu pada versi bank dunia
US $2 yang di konversi berdasar Exchange
Rate, menjadi Rp. 20.000,00 per hari atau Rp. 600.000,00 perkapita
perbulan, dengan asumsi Rp. 8.600 perdolar atau Rp. 17.000 perhari nyaris
miskin, dengan begitu ada sekitar lebih kurang 116 juta orang yang miskin di
Indonesia, atau satu diantara dua orang Indonesia adalah kategori miskin.
Dengan
pertumbuahan ekonomi yang tinggi dan masuk kategori sebagai negara kuat baru
dalam percaturan ekonomi global seharusnya pemerintah masih bisa berbuat banyak
untuk mengurangi pengangguran, kemiskinan dengan kondisi APBN mencapai Rp. 1.300
Triliun, pertanyaannya kapan uangan yang banyak itu digunakan untuk kebutuha
rakyat ?. Padahal dalam pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara bertanggung
jawab keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyatnya, seperti pendidikan,
kesehatan, jaminan hari tua, dan jamina sosial lainnya.
Sampai saat
ini Pemerintah hanya mampu menjamin bagi golongan-golongan tertentu, seperti
program, PT. Askes, PT. Jamsostek,
dengan bentuk jaminan, kematian, kecelakaan kerja, hari tua, dan kesehatan,
Jamkesmas dengan dana investasi Rp. 104 T. BLT (program politis) yang jumlahnya masih sangat buncit, dan menyentuh
pekerja formal saja, dibandingkan dengan tinggkat pengangguran dan kemiskinan
di Indonesia yang tidak kunjung menurun, malah semakin stagnan.
Munculnya
orang kaya baru di Indoensia memberikan konstirubusi pada penerimaan negaran
melalui pajak, tapi kenaikan golongan kelas menengah ini diprediksi rentan kembali jatuh pada posisi miskin, ini
diakibatkan tidak adanya sistim jaminan keamanan sosial yang dijamin oleh
negara.
Hadangan
BPJS
Pemerintah
dan DPR sebenarnya sudah punya konsep bagus untuk memberikan jaminan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dengan lahirnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang
SJSN, yang akan ditindak lanjuti dengan RUU BPJS yang ditargetkan selesai pertengahan
bulan juli 2011 ini, pembahasannya sudah berlangsung lebih dari 1 tahun,
inisitif ini dari DPR, RUU ini mengalami jalan yang berliku-liku dan panjang, sudah
lebih dari lima tahun amanat UU SJNS tentang pembentukan BPJS, namun selalu
mendapat hadangan keras dari Pemerintah, mulai dari perdebatan inventarisasi
masalah, jenis-jenis program, badan pelaksana, sampai pada pendanaannya. Menteri
BUMN sudah mengeluarkan surat edaran S-374/MBU/2011 tanggal 24 juni 2011,
berisi penolakan transformasi empat BUMN, yang terdiri atas Jamsostek, Asabri,
Taspen dan Askes. menjadi BPJS, tidak terkecuali juga perkumpulan pengusaha melakukan
perlawanan dengan cara mendesak pemerintah, agar hanya menfokuskan pada
penguatan program kesehatan saja, sementara program-program jaminan sosial
lainnya yang krusial harus ditiadakan.
Bila RUU
BPJS disahkan, maka merupakan suatu kemenangan besar bagi rakyat Indonesia, Jaminan sebelumnya dirubah dari kepesertaan
hanya terbatas pekerja formal, maka dalam RUU BPJS baik formal maupun pekerja
informal seperti TKI dan seluruh rakyat Indonesai berhak mengikutinya dengan
iuran perbulan, dengan 5 jenis program, yaitu Jaminan Kematian, Jaminan
Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kesehatan, dan
bila rakyat tidak mampu membayar iuran, maka pemerintah wajib membayarkannya.
Mari kita tunggu, apakah batas pertengahan juli ini
RUU BPJS yang diajukan DPR disetujui bersama oleh pemerintah dibawah rezim Yudoyono,
bila iya ! maka DPR telah membuat sejarah baru ditengah kemadukannya,
menginsafkan “negara” ini dari dosa-dosa besarnya, yang melupakan tujuan pendirian
bangsa, bila tidak ! maka saatnya rakyat Indonesai lebih pantas lagi untuk
marah, jengkel, dan emosi pada pelaksana mandat negara ini dengan menghukum dan
mendeletimasinya, dan bila perlu mencabut mandat itu kembali.[]
Sebelumnya telah didiskusikan di FORMS NTB dan telah di muat di harian umum suara mandiri (Senin, 9 juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar