MENGUATNYA
PEMBUSUKAN KPK: LUAR & DALAM
Oleh: Ridwan M. Said
Sungguh berat langkah untuk melawan
korupsi di negeri ini: pertama, Fenomena
langka yang jarang ditemukan Sejak berdiri tahun 2003 silam, dalam putusannya Pengadilan
Tipikor sebagai Ending dari kerja
lembaga Super Body (KPK) akhirnya
muncul juga. Gagasan untuk memperluas jangkauan daya dobrak KPK dengan mendirikan
PN Tipikor di tiap Provinsi, kontras dengan cita-cita dengan munculnya vonis bebas
beberapa koruptor oleh Pengadilan Tipikot di beberapa Wilayah, (Bandung) vonis
bebas Wakil Walikota Bogor, Bupati Subang,
Walikota Bekasi, (PN Tipikor Semarang) Direktur Utama PT Karuni Sejati,
(PN Tipikor Jakarta) vonis bebas mantan sekretaris Gubernur Bank Indonesia, (PN
Tipikor Surabaya) vonis bebas sembilan perkara korupsi. Kedua, semakin gencarnya upaya pelemahan KPK oleh DPR, Pemerintah, dan pihak-pihak lain.
Bila selama ini hanya Pengadilan
Umum yang di identifikasi sebagai surganya para koruptor, dengan venomena
pembebasan koruptor yang cenderung meningkat tiap tahun, serta ringannya vonis yang dijatuhkan. Dengan Rata-rata vonis
yang dilakukan selama tahun 2005-2009 adalah 5,82 bulan penjara atau setengah
tahun (Ridwan: Suara Mandiri, 20-12-2010).
Kalau menigikuti penggolongan (Salaman Luthan: 2007) vonis itu tergolong sangat
ringan, penggolongan sanksi pidana yaitu, sangat berat bila lebih dari 12
tahun, berat bila pidana yang dijatuhkan antara 9-12 tahun, sedang bila vonis 6
sampai 9 tahun, ringan bila antara 3 sampai 6 tahun, dan sangat ringan bila
kurang dari 3 tahun.
Kondisi ini berbalik dengan vonis
yang dilakukan oleh pengadilan tipikor yang tidak pernah memfonis bebas
terdakwa sejak 2004-2010, bahkan pengadilan tipikor tidak pernah memvonis
hukuman percobaaan maupun vonis dibawah 1 tahun, pengadilan tipikor memvonis
rata-rata 50,90 bulan penajara atau 4,24
tahun penjara.
Namun cerita keramat Pengadilan
Tipikor yang tidak pernah memvonis ringan serta tidak pernah membebaskan
koruptor terhenti setelah pengadilan khusus itu di buka dibeberapa ibu kota
propinsi, kredibililatas itu harus terbayar mahal menyusul vonis bebas para
koruptor diberbagai daerah oleh pengadilan khusus Tipikor Daerah.
Pertanya mendasar atas kejadian
langka itu adalah, apa penyebabnya ? pengadilan tindak pidana korupsi diwilayah
sangat mudah tanpa beban, bahkan sangat enteng keluar dari tradisi pengadilan
tipikor selama ini yang tidak pernah memvonis bebas para koruptor, dan
bagaimana pula kisah nekatnya lembaga DPR menggembosi Pemeberantsan korupsi.
Konstruksi
putusan
Ada beberapa permasalahan yang
dihadapi oleh hakim dalam proses mengkostruksi putusan. Permasalahan itu
terkait antara lain, lemahnya hakim mengkstruksi dasar-dasar pertimbangan. Lemahanya hakim dalam menginterpretasikan fakta-fakta
hukum, lemahnya kepekaan hakim atas dasar teori dan atau falsafah yang
digunakan, serta terkait rendahnya kualitas moralitas hakim (KY: 2007)
Selain Itu yang memepengaruhi
kualitas putusan hakim adalah berdasaran ilmu psikologi, memang wajar fenomen
putusan hakim yang tidak berkualitas, karena didukung oleh cara hakim
mengkostruksi putusan dengan langkah-langkah dalam proses persidangan,
pertama-tama hakim mendengarkan dakwan yang dibacakan JPU, lalu hakim baru
menyusun cerita (putusan) berdasarkan informasi itu.
Adanya kecenderungan hubungan
antara pemaknaan hakim tentang korupsi dengan putusan yang yang dijatuhkan,
jika hakim menggunakan pemaknaan sempit tentang unsur-unsur tindak pidana
korupsi yang dilakukan terdakawa maka ada kecenderungan hakim menajutuhkan
putuan tidak bersalah atau vonis bebas, jika vonisnya bersalah maka sanksinya
sangat ringan. Sebaliknya bila hakim mengikuti pemaknaan luas tentang
unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa, maka terdapat
kecenderungan hakim menjatuhkan putusan bersalah, dan saksi pidananya
bervariasi, mulai dari sangat ringan, ringan, sedang, berat, sangat berat,
namun kecenderungannya hakim menajutuhkan pidana dengan kategori ringan. penafsir luas adalah penafsir yang memaknai
korupsi secara materil dengan memasukkan unsur kepatutan dan perbuatan tercela,
yang bersumber dari ketentuan hukum tidak tertulis, disi lain penafsiran sempit
adalah, penafsiran yang memaknai kosupsi hanya berdasarkan aturan
perundang-undangan tertulis dan mengabaikan ketentuan hukum yang tidak
tertulis.
Hasil Penelitian Komisia Yudisial
(KY: 2009), dari 195 sampel putusan hakim yang di teliti, ditemukan dalam
putusannya telah mengedepankan keadilan prosedural, hal ini terjadi karena
disebakan oleh banyak faktor; salah satunya adalah rendahnya pemahamana pembuat
putusan terhadap doktrrin-doktrin standar pada satu pihak dan kurang
berperannya yurisprudensi sebagai sumber hukum dipihak lain. Kurang berkualitanya putusan-putusan hakim itu
muncul disebabkan oleh: (a) tidak dipetimbangkannya yurisprudensi sebagai
sumber hukum selain UU (4,56 porsen) , (b) tidak dipertimbangkannya
doktrin-doktrin standar sebagai sumber hukum (3,26 porsen), (c) tidak
dipertimbagkannya doktrin standar dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan
terdakawa (5,32 porsen), (d) tidak dipertimbangkannya yurisprudensi sebagai
sumber hukum dalam menentukan tindak pidana dan kesalahan terdakwa (9,28
porsen); (e) tidak dipertimbangkannya hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum
(4,81); (f) terjadinya disparitas yang cukup tajam antara sanksi pidana putusan
dengan requisitor (2,86 porsen).
Dari Segi Penalaran Hukum, Dari 195
putusan yang diteliti secara umum memperlihatkan tata penalaran hukum yang kurang berkualitas
(50,94 porsen dari 840 jawaban bersifat negatif) besarnya kecenderungan
bersifat kurang berkualitasnya putusan-putusan hakim ini terletak pada:
lemahnya pemaknaan dasar hukum putusan (5,24 porsen), absennya penafsiran baru
oleh hakim atas dasar hukum putusan (11,07 porsen), pengkonstruksian hukum yang
lemah (7,98 porsen) dan tidak
dipertimbangkannya dasar hukum diluar undang-undang 1,54 % (KY: 2009).
Busuk Luar, Dalam
Fenomena pembebasan koruptor oleh PN
Tipikor dibeberapa Daerah, kian hari mengkhawatirkan, kejadian ini menunjukkan indikasi
mulai ambruknya lembaga khusus itu, yang memang ditugaskan oleh rakyat untuk
menggusur penyakit sosial yang sudah menggurita yang diberi label Extra Ordinary Crime, ini semacam
venomena gunung es setelah beberapa waktu lalu dua Pimpinan KPK (Bibt-Candra)
berhasil keluar dari lubang jarum atas tudingan menerima suap dari Anggodo
Widjoyo, yang ahirnya diselamatkan putusan Deponnering
Kejagung. Disusul tudingan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Najarudin dimana
seluruh Pimpinan KPK melakukan pertemuan yang tidak wajar dengan pihak-pihak
yang dianggap bermasalah, kemudian dalam putusan komite etik yang berjumlah
tujuh orang, memutuskan secara bulat bahwa Busyro Muqoddas dan Bibit tidak melanggar
kode etik, sementara Candra, Yasin dan Haryono Umar dinyatakan tidak melanggar
kode etik, namun putusan komite etik
yang bekerja dua bulan penuh itu diambil dengan perbedaan pendapat (disseting opinion). Sementra Direktur
Penindakan dan Sekjen KPK dinyatakan melanggar kode etik. Ini membuktikan Pimpinan
KPK bukan lagi manusia-manusia yang kredibel, dan steril dari kongkalikong
dengan arus utama kekuatan politik, bukankah ini membuktikan secara moral telah
terjadi pembusukan dari dalam lembaga itu.
Memang harus di akui bahwa dinegeri
ini tidak ada yang gratis, apa lagi menyangkut jabatan penting seperti Pimpinan
KPK, jabatan itu bukan pemberian garatis apalagi hadiah, semua punya imbalannya,
lihatlah kinerja Pimpinan KPK sekarang, hampir kasus kasus besar tidak ada yang
tuntas, seperti tudingan Najarudin keterlibatan para petinggi partai demokrat
yang bermain dalam banyak proyek APBN, kasus Nunung Nurbaeti sebagai pemberi
suap pada kasus cek pelawak DPR, kasus Century, kasus Kemenakertran yang
melibatkan Menteri. Pengembangan dari kasus Wisma Atlet dan Kemenakertras KPK
menyasar ke Badan Anggaran DPR sebagai tempat berkumpulnya para mafia anggaran sebagaimana
pernah disuarakan Kader PAN Wa Ode Ida sebelumnya, sehinggara membuat badan itu
memboikot pembahasan anggaran Negara.
Disinilah titik awal dari pembusukan KPK dari
laur, kekhawatiran para pimpinan paratai politik terhadap sepakterjang KPK yang
di indikasi mengalihkan isu yang melilit partai demokrat sebelumnya, hinggara
para Pimpinan KPK di panggil DPR dengan alasan rapat koordinasi, justru
kenyataaannya forum itu beruabha menjadi momen penghujatan KPK, hingga kader
PKS Fahri Hamzah mewacanakan pembubaran KPK. niat itu ternyata tidak berhenti
sampai disitu, keinginan untuk melemahkan KPK itu diwujudkan dengan menyiapkan
naskan revisi Undang-undang No. 30 tahun 2003 tentang KPK, dengan niat memangkas
beberapa kewenagan KPK, ini juga membuktikan pembusukan KPK datangnya dari luar
yakni dari DPR, juga Pemerintah, yang kalau diukur dari kinerjanya sebagai
lembaga yang, cengeng, malas, baik mengahdiri sidangan maupun dilihat dari
semakin berkuranagnya RUU yang berhasil disahkan target Prolegnas dari tahun
ketahun.
Dengan adanya indikasi terjadi
pembusukan pemberantasan korupsi, baik dari dalam, seperti bermasalahnya
beberapa pimpinan dan pejabat KPK, yang puncaknya adalah pembebasan koruptor
oleh PN tipikor Daerah pertama kali sejak berdirinya pengadilan tindak pidana
korupsi. Serta indikasi-indikasi nyata pembusukan dari luar oleh Pemerintah dan
DPR yang menyiapkan revisi UU 30 tahun 2003 sebagai dasar hukum KPK, kedepan
sangat sulit berharap korupsi dapat dihapuskan dinegeri ini, lalu pertanyaannya
kita harus mempercayakan pada siapa pemberantasan korupsi di negeri ini. Kalau
berharap pada pemerintah jangan bermimpi sepanjang komitmen nyata tidak ada, begitupun
para pimpinan KPK harus mulai mensterilkan diri menajadi karter kasus dan
jabatan, kemudian untuk para pioner akhir hukum seperti hakim, sepanjang masih
memaknai hukum sebagai undang-undang semata, dan tidak merubah cara memaknai
hukum dengan memperhatikan tuntutan masyarakat yang menempatkan korupsi sebagai
kejahatan extra ordinary crime, maka
pemberantasan korupsi tetap stagnan bahkan akan semakin mundur.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar