ANOMALI
KAPITALIME
(Dilema Advokasi Lingkungan)
Oleh: Ridwan M.Said
Revolusi
perancis yang di ikuti dengan revolusi-refolusi lainnya, seperti revolusi hijau
di Inggris, merupakan titik awal dari perubahan pola produksi manusia dan
berdampak pada kemajuan di berbagai bidang, di bidang agama misalnya,
sebelumnya monopoli kebenaran miliknya
gereja di bagi dengan ilmuwan dan para filsuf, di bidang politik yang
sebelumnya di kuasai raja berubah di bawah kekuasaan kedaulatan rakyat, kemudian
menciptakan tatanan strata sosial baru yaitu clas borjuis, di bidang, di bidang
ekonomi dari sebelumnya menggunakan cara-cara tradisional di geser oleh mesin
(industrialisasi).
Abad 18
dan 19 diyakini sebagai awal abad modern, puncaknya adalah abad 20, di tandai
dengan peralihan sistim produksi dan penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi
lainnya, di bidang tehnologi Bom pembunuh massal telah memberangus puluhan ribu
nyawa, kasus meledaknya bom nuklir di hirosima, dan Nagasaski di Jepang 1945
oleh Amerika memaksa jepang untuk segera meninggalkan beberapa daerah aneksasi
jajahannya sehingga membuka peluang Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Setelah lepas
dari cengkeraman konflik (perang dingin) yang berkepanjangan ditandai dengan
kekalahan kubu sosialis dipersentasikan oleh Unisovyet yang kemudian luluh
lantar, dan Amerika sebagai pihak yang menang ditandai oleh semakin jaya dan
ekspansinya kapitalisme yang meniscayakan kompetisi di segal bidang, baik
tehnologi, industri, serta eksploitasi sumberdaya alam secara besar-bearan.
Kemenangan
pihak kapitalisme dan kehancuran sosialisme secara signifikan merevolusi
tampilan peradaban dunia, kapitalisme yang mengusung konsep kebebasan individu,
dalam tataran agama mengusung liberalisme, kemudian dalam domain pasar menuntut
kebebsasan dan kompetisi, negara praksis hanya menjadi penjaga malam. atau
bertugas menjaga stabilitas pasal. Pemain utama dalam percaturan ekonomi dunia
kemubdian berpindah tangan dari negara ke coorporation,
coorporasi kapitaslime dengan kekuatan modal dan kebebasan pasar menjarah semua
sumber daya alam seperti menanam investasi diberbagai bidang, seperti kehutanan,
batu bara, migas dan pertambangan, dalam wilayah tehnologi dan infomasi
melakukan inovasi dan menciptakan berbagai tehnologi baru. roh dan nyawanya
kapitalisme adalah keserakahan, kapitalisme tidak mengenal kata puas.
Ternyata
dikemudian hari inovasi dibidang tehnologi, pengerukan perut bumi tanpa
terkendali, industrialisasi ini tidak sekedar memberikan konstribusi kemajuan
sepeti peningkatan produksi, kemampuan di bidang tehnologi, harpaan hidup yang
semakin tinggi, namun juga membawa dampak yang amat mengkawatirkan dunia, seperti
pemanasan global.
Global Warming berupa naiknya
temperatur global berkisar 1,4-5,8 C, berakibat naiknya permukaan laut 10-20 cm
dan akan terus naik sampai 88 cm tahun 2100. kepunahan keaneka rgaman hayati. Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut J.
Barros dan J.M. Johnston erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang
dilakukan manusia, antara lain disebabkan, pertama, kegiatan-kegiatan
industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan yang berbahaya seperti logam
berat, zat radio aktif dan lain-lain. Kedua, Kegiatan pertambangan, berupa
terjadinya perusakan instlasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan,
pencemaran udara dan rusaknya lahan bekas pertambangan. Ketiga, kegiatan
transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kegiatan
pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat kimia untuk
memberantas serangga/tumbuhan pengganggu, seperti insektisida, pestisida,
herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk anorganik (Absori: 2010).
Indonesai
sendiri akibat dari perubahan iklim membuat
produktivitas pertanian menurun di sebabkan ketidak jelasan curah hujan, sehingga
pendapatan petani semakin kecil. Padahal, dua pertiga warga miskin di Indonesia
berada di pedesaan dan mengandalkan hidupnya dari pertanian, dan otomatis
berimbas pada peningkatan kemiskinan. Diramalkan, pada 2050 terjadi defisit
gabah kering sebesar 60 juta ton.
Dampak
dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang amat mencemaskan dan menakutkan
akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia secara lebih luas dapat
berupa, pertama, pemanasan global, telah menjadi isu Internasional yang
merupakan topik hangat di berbagai negara bahkan di berbagai negara seperti
Australia misalnaya muncul “Partai Hijau”. Dampak dari pemanasan global adalah
terjadinya perubahan iklim secara global dan kenaikan permukaan laut, dakibat
pemanasan global, Dari 13.466 jumlah pulau Indonesia sebanyak 12 pulau terluas
terancam tenggelam, setiap tahunnya laut indonesia naik 5-10 cm. (Kompas,
21/5).
Kedua, hujan asam, disebabkan karena
sektor industri dan transportasi dalam aktivitasnya menggunakan bahan bakar
minyak atau batu bara yang dapat menghasilkan gas buang ke udara. Gas buang
tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran udara. Pencemaran udara yang berasal
dari pembakaran bahan bakar, terutama bahan bakar fosil mengakibatkan
terbentuknya asam sulfat dan asam nitrat. Asam tersebut dapat diendapkan oleh
hutan, tanaman pertanian, danau dan gedung sehingga dapat mengakibatkan
kerusakan dan kematian organisme hidup Ketiga, lubang ozon, ditemukan
sejak tahun 1985 di berbagai tempat di belahan bumi, seperti di Amerika Serikat
dan Antartika. Penyebab terjadinya lubang ozon adalah zat kimia semacam
kloraflurkarbon (CFC), yang merupakan zat buatan manusia yang sangat berguna
dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti untuk lemari es dan AC.
Sebagai
reaksi dari akibat pembangunan dan industrialisasi yang telah menyebabkan
berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan, di seluruh dunia sedang terjadi
gerakan yang disebut gerakan ekologi dalam ((deep ecology) yang
dikumandangkan dan dilakukan oleh banyak aktivis organisasi lingkungan yang
berjuang berdasarkan visi untuk menyelematkan lingkungan agar dapat
berkelanjutan. Gerakan ini merupakan antitesa dari gerakan lingkungan dangkal (shallow
ecology) yang berperilaku eksplotatif terhadap lingkungan dan
mengkambinghitamkan agama sebagai penyebab terjadinya kerusakan alam
lingkungan. Gerakan ini beranggapan bahwa bumi dengan sumber daya alam adanya
untuk kesejahteraan manusia. Karena itu, kalau manusia ingin sukses dalam
membangun peradaban melalui industrialsiasi, bumi harus ditundukkan untuk
diambil kekayaannya.
Upaya
Dunia Internasional.
Kerusakan
dan pencemaran lingkungan hidup yang terus terjadi, membuat kekahwatiran
masyarakat dunia terhadapa kelangsungan bumi semakin meningkta, upaya-upaya itu
di tunjukan pertama kali melaui Deklarasi Stockhom yang di prakarsai oleh PBB 1972,
kemudian Deklarasi Rio Dejaneiro 1992, di ikuti KTT Bumi di Johannesburg-Afrika
Selatan 2002, KTT Bumi 2002 yang dikenal dengan Wold Summit on Sustainable
Development di Johanesburg, telah merumuskan deklarasi politik pembangunan
berkelanjutan dengan agenda bahasan dokumen berisi program aksi (the
programe of action) dan deklarasi politik (the political declaration)
tentang pembangunan berkelanjutan yang merupakan pernyataan kelanjutan dukungan
terhadap tujuan agenda 21. Agenda 21 berisi kesepakatan mengenai program
pembangunan berkelanjutan, yang harus ditinjaklanjuti oleh negara-negara
peserta konferensi Rio de Janeiro tahun 1992.
Kesepakatan
agenda 21 melalui deklarasi pembangunan dan lingkungan hidup di Rio de Janeiro,
Brasil tahun 1992 sebenarnya merupakan sebuah kemenangan dari misi menyelamatan
bumi yang didorong oleh semangat gerakan ekologi dalam (deep ecology). Kesepakatan
ini memuat pandangan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam
kehidupan lain, yakni bagian alam bumi (biosfir), sehingga perilaku perusakan
dan pencemaran pada sebagian bumi pada suatu negara dipandang sebagai perilaku
yang tidak etis. Bumi dan sumber daya alam dipandang sebagai sesuatu yang
memiliki hak hidup seperti manusia karena semuanya merupakan ciptaan Tuhan
Prinsip
dasar pembangunan berkelanjutan meliputi, pertama, pemerataan dan
keadilan sosial. Dalam hal ini pembangunan berkelanjutan harus menjamin adanya
pemerataan untuk generasi sekarang dan yang akan datang, berupa pemerataan
distribusi sumber lahan, faktor produksi dan ekonomi yang berkeseimbangan
(adil), berupa kesejahteran semua lapisan masyarakat. Kedua, menghargai
keaneragaman (diversity). Perlu dijaga berupa keanegaragaman hayati dan
keanegaraman budaya. Keaneragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan
bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan
yang akan datang. Pemeliharaan keaneragaman budaya akan mendorong perlakuan
merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai
masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
Deklarasi
Je Deneiro telah di ratifiksi oleh Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1994. yang
merupakan komitmen untuk menurunkan emis gas rumah kaca, untuk merumuskan itu telah
di tindak lanjuti dengan peragkat dan tata cara pelaksanaannya melalui Protokol Kyoto (1997) yang berisi
komitmen negara-negara industri untuk mengurangi emisi paling sedikit 5 porse
sampai tahun 2012, kyoto ini telah di ratifikasi oleh lebih dari 130 Negara namun
sayang terkendala oleh ketidak siapan AS dan Australia yang tidak mau
menandatanganinya, padahal emisi yang dihasilkan oleh AS sekitar 27 porsen dan Negara
eropa lainnya 53 porsen, sementara negara berkembang lainnya hanya 30 porsen. Tahun
2002 di Bali telah dilaksanankan KTT Konsep pembanguan berkelanjutan oleh
negara-negara berkembang pada, pada konverensi ke 13 Converence Of Paties juga dilaksankan pada tahun 2007 di Bali,
kemudian dilanjutkan di Denmark tahun 2009 Converence
Of Paties ke-15, dan dilanjutkan di “Thailan
tahun 2010”, LAGI-LAGI negara maju seperti AS tidak menyepakatinya.
Untuk menurunkan
emisi gas rumuh kaca Indonesia dan Norwegia mei 2010. telah menandatangani
kerja sama melalui program REDD+ dengan cara deforestasi dan degradasi hutan
serta konservasi keragamaan hayati. dengan janji norwegia merikan hibah 1 Milyar
Dolar AS. Presiden SBY mengeluarkan Kepres 19 tahun 2010 mengenai pembentukan Satgas
persipan pembentukan kelembagaan REDD+ yang di ketuai Kuntoro Mangkusubroto,
target penurunan karbon 26 porsen yang sudah di tanda tangani melui letter of intent (Lol) (Kompas, 20/5), selain
itu pemerintah juga sudah menandatangani kerjasama UN-REDD+ dengan Jerman, Jepang,
Australia, Korea Selatan.
Isi LOI
Indonesia Norwegia itu tidak sekedar moratorium, namun juga termasuk mengelola
lahan terdegradasi, penegakan hukum kehutanan, dan antisipasi konflik
masyarakat. tindak lanjut dari Kepres 19 tahun 2010 Presdiden SBY menandatangani
instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan pemberian ijin baru dam
penyempurnaan tata kelola hutan alam, primer dan lahan gambut. yang sudah
tertunda 5 bulan, guna mendapatkan kucuran dana dari Pemerintah Norwegian
sebesar 1 milyar dolar AS, dengan tahap pertama 30 juta dolar AS, tapi sayang
ijin hutan sekunder masih tetap diberikan.
Di Brazil
upaya mengurangi emisi karbon dilakukan dengan program yang di sebut dengan Juma yaitu memberikan uang sekitar 50
dolar AS atau Rp. 430.000. kepada
mayarakat agar tidak membabak hutan, program ini di sebut pola bolfa
floresta oleh perusahaan-perusahaan asing kelas Dunia, pertama kali
bergulir 2008 di areal 589 hektar hutan lebat. proyek ini sampai tahun 2050 di
yakin akan mencagah pembabatan hutan sampai 62 porsen dan menghemat pelepasan
karbon sampai 210.000.
Indonesia
adalah korban sekaligus pelaku dalam konteks perubahan iklim, karena perilaku eksploitatif, dalam pemanfaat sumber
daya alam, pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada ekstraksi sumber daya alam,
secara masif tanpa memperhatikan standar REDD+, pembukaan lahan secara masif,
industri perkebunan, pengusahaan hasil hutan, Pulp, dan pertambangan, pembukaan
kebun kelapa sawit 300 sampai 400 hekatar pertahun, dari 7,9 lahan berijin
kebun sawit 2,1 juta hektar di kuasai 10 perusahaan. (Kompas 20/5) dilemanya
adalah satu sis negara mendapat penerimaan dari sektor industri nonmigas, tahun
2010 sektor batu bara nilainya 17,7 milyar dolar AS, atau 14 porsen total
ekspor nonmigas di ikuti CP0 13,6 milyar dolar AS dan Pulp 5,5 milyar dolar AS.
Dilema
Instrumen Hukum Lingkungan.
Indonesia
dengan posisi sebagai salah satu negara yang memiliki hutan terbesar didunia, dan
berada pada garis khatulistiwa, membuat dunia internasional menaruh perhatian
yang cukup besar pada kelangsungan hutan yang dimiliki indonesia, dunia
internasiona dalam rangka menjaga hutan itu, tidak sekedar mebantu kucuran dana
namun juga pemantauan penindakan atas pencemaran lingkungan dan kerusakan
hutan.
Bencana alam
yang terus malanda baik gempa bumi, banjir, longsor setidaknya disebabkan oleh
pembabakan liar dan perambakan hutan oleh masyarakat lokal, idustrialisasi,
pertambangan adalah antek-antek kapitalisme yang paling besar konstribusinya dalam
kerusakan lingkungan.
Untuk itu
Indonesai telah mengeluarkan berbagai aturan hukum untuk melindungi,
memelihara, memulihkan dan mencegah kerusakan lingkungan, bahkan sebelum
kemedekaan telah ada hukum yang melarang kerusakan lingkungan, pasca
kemerdekaan lahir UU 14 tahun 1982, kemudian UU No. 23 tahun 1997 yang digantikan
oleh UU 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, rangkaian
undang-undang itu juga melahirkan berbagai praturan pelaksan dan turunannya,
sperti uu tentang pertambangan, kehutanan, Penanaman Modal Asing, PP tentan
perijinan, Amdal, dll.
Aturan Hukum
Indonesai memperkenalkan dalam penyelesaian kasus lingkungan hidup mengenal dua
model penyelesaian, pertama dengan cara penyelesaian jalur pengadilan yang
terdiri dari tiga intrumen yakni admisntrasi (PTUN dan Legal Standing), pidana,
dan perdata yang dibagi lagi atas pilIhan gugatan perata bisa dengan dasar
pasal 1365 KUHP Perdata, Calass Action, dan Legal
Standing. Kemudian melaui jalur informal adalah dengan cara mediasi, arbitrase
dan negosiasi.
Masalahnya
kemudian adalah ada fakta menunjukan bahwa sebagain besar masalah lingkungan yang
diselesaikan lewat jalur formal atau pengadilan selalu mengalami kebuntun bagi
rakya korban pencamaran dan kerusakan lingkungan, atau selalu di menangkan oleh
pihak perusahaan.
Prof. Ansori
yang melakukan penelitian pencemaran dan kerusakan lingkungan di Jawa Tengah menyimpulakan
penyelesaian sengketa lingkungan melaui jalur formal tidak efektif, maka cara
terbaik yang lebih efektif dan menguntungkan semua pihak lebih-lebih masyarakat
lemah adalah melaui jalur non formal dengan pendekatan coperatif dan partisipatif, dengan Alternativ
Dispate Resolusion (ADR), ini di akibatkan oleh aparat penegak hukum belum
berani keluar dari pemahaman hukum yang positif-formal, dalam berbagai kasus
gugatan diajukan masyarakat melalui class
action atau legal standing,
majelis hakim lebih memilih pendekatan positifistik dengan mengunakan instrumen
hukum berdasarkan pada apa yang di atur dalam KUH Perdata dan KUHAP dan
menggunakan pendekatan penanganan kasus tersebut di anggap sebagai pesoalan
atau guguatan perdata biasa (Absori: 2009)
Selama
penerapan UU Nomor 23 Tahun 1997 yang
diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 hingga saat ini, masih banyak pelaku
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang tidak tersentuh oleh hukum.
Kalaupun berlanjut ke pengadilan, seringkali putusan pengadilan belum dapat
memenuhi rasa keadilan bagi lingkungan. Berdasarkan data kasus tahun 2009 s/d
2010 yang sampai disidangkan di pengadilan, hakim memutuskan 5 kasus
vonis penjara, 14 kasus vonis bebas murni dan 1 kasus vonis percobaan. (SI Jakarta,
16/12/2010).
Pemerintah
pusat dan pemerintah daerah memiliki kecenderungan mendorong penyelesaian
perselisihan sengketa pertanahan secara formalistik dari pada membantu proses
penyelesaian lewat mediasi. Komnas HAM menerima laporan pada tahun 2010 5.500
dari seluruh derah di indonesia, tahun 2009 laporan yang masuk sebanyak 5.400
sebanyak 40 porsen dari total kasus itu merupakan konflik pertanahan atau
senhgketa di lahan sumber daya alam. Pemerintah selalu melakukan penyelesaian
konflik itu dengan jalur formal hukum dan hasilnya 90 porsen di mengankah oleh
pengusaha garafik itu tidak pernah turun, semakin lama semakin akan semakin
membesar. (Kompas 14/ 4).
kegagalan
penyelesaian masalah lingkungan hidup selama ini selain karean tidak adanya
political will pemerintah, serta intev
nsi
politik yang cukup kuat, juga dalam tubuh uu itu sendiri, dilema ini sangat
terasa konyol ketika mencemati instrumen hukum yang digunakan, padahal secara
normatif hukum lingkungan cukup konprehensif namun misalnya dengan kekhususannya
menggunakan tiga intrumen hukum sekaloigus (administratif, perdata dan pidana),
dalam gugtan perdata misalnya sangat sulit membuktikan kesalah, legal standing
misalnya ada tidak meberikan runga untuk minta ganti rugi, , begitupun PTUN, pidana
juga hanya sekedara mimpi dan pajangan, satu-satunya instrumen yang dapat
memberikan peluang ganti rugi masyaratak adalah hukum perdata biasa Class Action itupun sangat sulit di
menangkan oleh rakyat kecil.[]
Materi ini pernah Disampaikan pada diskusi rutin Forum Mahasiswa Pascasarjana (FMPS) NTB-Surakarta, pada hari sabtu malam 21 mei
Tidak ada komentar:
Posting Komentar