PENJELAJAHAN
DEMOKRASI IDEAL
Oleh: Ridwan M. Said
Kehidupan
berbangsa di negeri ini hampir tidak pernah luput dari pangggung sandiwaranya
para elit, setelah dihebihkan dnegan bebrabagi skadal korupsi yang melibatkan
berbagai elit parpol, baik yang duduk di legsialtif maupun de eksekutif, kalai
ini media diraimakan dengan dua perdebatan isu tentang ambang batas bagi partai
yang berhak menemp-atkan wakilnya disenayan, dan sisitim penetapan caleg
terpilih aoakah sistim prporsinal terbuka atau tertutup. Atau campuran.
bila
sebelumya terjadi perbedaan sikap terhadap pemneurukan panja mafia pajak dan
bank century oleh beberapa paratai
koalisi pndukung p;merintah yang tergabung dalam setgab, kali ini Perdebatan tentang
tentanga ambang batas (electoral tresholt)
dan sistim penetapan caleg terpilih pemlu legislati 2014 ini kembali memecakan
kekuatan konsolidasi partai koalisi pendukung pemerrintah.
Kekuatan
itu setidaknya terbagi atas dua kekuatana, kekuatan pertama terganung pdip,
golkar dan emokrat yang mengunginkan ambang bats 4-5 porsen, sementara kekuatan
kedua di usung oleh paratai menengaha dan kedil 2-3 porsen yang di ususng oleh
PKS, PAN, PPP, PKB, Hanura, Gerindra. Yang menarik adalah partai peguasa dan
partaai koalisis memiliki sepemahaman yang sama. Perpecahan paratai kolaisis
pendukung pemrintaha ini menunjukan sekali lagi sebagai bentuk ketiadaan
ketiadak mampuan setgab, ini wajar karena koalisi yang dibangun baukan atas
kesamaanan visi politik sebagai cerminan dari garis perjuangan idiologis, namun
perkumpoulan setragas tidak lebih sebagai perkumpulan untuk bagi-bagai jatah
kekuasaaan.
Dibalik
perdebatan ambang batas dan sisitim penetapan caleg, menyimpan momen penting
paling menarik yang tepat, yakni mereview kembali pengkhianatan terhadap
konstitusi dan berbgaai implikasinya.
Penjelajahan Bangsa Indonesai
untuk mencari sosok demokrasi yang efektif sejak 1945 sampai saat ini sosok
yang bernama demokrasi ideal untuk Indonesia itu belum juga kunjung ditemukan,
sejak 1945 Indonesai sudah melakukan beberapa kali eksperimen bentuk demokrasi
mulai dari demokrasi mayoritas atau pemerintahan presidensial, namun fakta
menunjukan demokrasi model ini justru membuat pemerintahan tidak stabil, dalam
4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet, kemudian eksperimen selanjutnya
ialah era demokrasi terpimpin dengan tiga arus kekuatan politik utama dengan
konsep NASAKOM (Nasionalis, Agamais, dan Komunis), justru konsep ini menjadi
duri dalam daging, sehingga membuka runang tampilnya rezim Orde Baru dengan Soeharto sebagai nahkodanya, Soeharto menggunakan demokrasi
permusyawaratan perwakilan untuk mengelola negara, justru nasibnya juga tetap
sama. Lalu setelah terjadi pergantian rezim dari Orde Baru ke orde reformasi
eksperimen demokrasi yang efektifpun di lanjutkan dengan menerapkan sistem
pemerintahan presidensial dengan demokrasi mayoritas yang kemudian mengulangi
cerita lama kegagalan demokrasi di negeri ini, demokrasi pasca reformasi yang
dipenuhi oleh sikap elit politik dan masyarakat yang majamuk telah melahirkan
demokrasi sentrifulgar.
Penjelajahan panjang bangsa
Indonesia untuk menemukan sosok demokrasi ideal, telah melewati beragam
dinamika dan tantangan, mulai dari konstitusi UUD 1945
ditetapkan oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 (terdiri atas
Pembukaan dan Pasal-pasal). digantikan oleh
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada 27 Desember 1949,
pada 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS digantikan oleh Undang-undang Dasar
Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945
dinyatakan berlaku kembali di Indonesia hingga di amandemen sampai empat
kali dari tahun 1999-2002.
Hasil amandemen ke IV UUD
1945 yang paling dikritisi adalah
hilanya wacana negara kekeluargaan .“jang
sangat penting dalam pemerintahan
dan dalam hal hidupnya negara, ialah semngata, semngat para penyelenggara
negara, semngat para pemimpin pemerintahan. Meskipoen dibikin oendang-oendang dasar
jang menoeroet kat-katnja bersifat kekeloergaan, apbila semangat para
penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahn itoe pasti tidak ada gunanja
dalam praktek.”
Petikan kalimat di atas adalah
penjelasan yang tercantum dalam UUD 1945 yang asli, yang merupakan domumen
historis, dokumen politik dan dokumen hukum, dan merupak mazhab pembentukan
negara ini, yang telah dihapus dalam amandemen UUD 1945 yang ke empat tersebut.
Hilangnya dokemen itu merupakan pemutusan mata rantai sejarah filosofi pembentukan
bangsa Indonesai yang memiliki semangat kekeluargaaan merupakan kotektualisasi
paham kolektivisme yakni mazhab yang bertentangan dengan indivudualisme.
“bangsa Indonesai secara sosial
budaya dalah bangsa yang bersifat kolektivistik karena sikap, pemikiran,
perilaku dan tanggung jawab seorang warga bangsa kepada kolektivitasnya berada
di atas kepentingan indivudu. Oleh karena itu, negara RI didirikan dengan
berlandaskan semangat kekeluargaan yang merupakan kontekstualisasi paham
kolektivisme dengan corak budaya bangsa Indonesia”.
Pembentukan negara modern biasa
dipengaruhi oleh dua paham pemikiran tentang hubungan negara dan warga negara.
Penidasan para raja-yang seringkali mempersonifikasikan diri sebagai negara l’etat c’st moi-selama
berabad-abad di eropa setelah mendorong kelahiran gerakan renaissance, yang mengakui hak individu dari setiap warga negara.[1]
Paham kedaulatan (sovereignty) yang termanisverstasi pad
sikap Individualisme merupakan bagian dari gerakan sekulerisme, sementara paham
sekulerisme adalah puncak dari gerakan gagasa ndemokrasi modern dan negara
modern.[2]
Paham individualisme yang di
kembangkan oleh Thomas Hobbes, Jhon
Locke, Jean Jacqued Rousseau, Herbert Spencer dan H.J. Laski, talah mewarnai seluruh aspek kehidupan bangsa-bangsa
barat dan menjadi nilai dasar dalam sitem sosial, ekonomi dan sistem politik
demokrsi yang berkembang pesat, setelah bangsa eropa mengalami penindasan oleh
para penguasa absolut dalam negara monarki absolut, menurut paham individualisme,
negara ialah masyarakat hukum yang di susun atas dasar kontrak antara seluruh
iondividu dalam masyarakat (social
contract).[3]
Antitesi dari paham
individualisme adalah paham kolektivisme yang beranggapan bahwa individu tidak
mempunya kekebasan absolut, kesamaan idiologi atau keunggulan ras adalah dasar
dlam penyusunan negara yang terdiri dari pemimpin atau parata yang merupakan
supra struktur dalam masyarakat sebagai struktur. Lalu paham ini kemudian
mengalami perkembangan kecenderungan menjadi pemerintah dikatator totaliter
seperti yang dipraktekkan oleh bangsa Jerman pada masa Hitler, Uni sovyet dan
Italia masa komunisme, juga mao-ze-dong
di RRC.
Paham kolektivisme mempunyaio
beberapa cabang pikiran di antaranya diperkenalkan oleh marx, engels dan lenin
dengan teori klas (class theory). Negara dia anggap sebagai alat untuk menindas
kelas yang lain. Kelas yang kuat menindas kelas yang rendah. Negara kapitalis
adalah alat golongan elit menindas kaum buruh, untuk itu satu-satunya cara
ialah melakukan revolusi buruh untuk mengkhiri enidasan itu.
Kemudian cabang yang lain dari
teri kolektivitas adalah apa yang kemduain di kenal dengan teori integrasi yang
di perkenalkan oleh spinoza, adam mouller, hegel dan gramski,mereka menyatakan
negara didirikan bukan untuk menajami kepentingan idividu atau golongan akan
tetapi menjamin masyarakt seluruhnya saebagai satu kesatuan (holistik).
Dalam konteks Indonesia
berdirinya negara ini merupakan berangkat dari pikiran filosofis dasar negara
itu yaitu paham kolektivisme kekeluargaaan bukan kolektivisme ala sosialis yang
dikatatorian atau individualisme model parat yang kapitalistik, kolonialstik
dan imperialisme.
Setelah amandemen undang-undang
dasar 1945 sebanyak empat kali sejak 1999 sampai 2002, telah terjadi perubahan
yang mendasar dalam sistem politik dan pemerintahan NKRI.[4] di
samping membawa banyak manfaat dan kemajuan dalam ketatanegaraan, yang
berimplikasi pada tegaknya Hak-Hak Asasi, seperti “kebebasan berekspres”
melalui instrumen hukum yang fair dan demokratis, namun juga meninggalkan
beberapa lubang yang menganga, di antara banyak lubang/ atau kelemahan yang
menuai kritikan adalah Sistim demokrasi konsensus yang
berdasarkan pada asas permusyawaratan perwakilan yang di yakini sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang plural, majemuk, kemudian di ubah dengan
sistim demokrasi mayoritas yang lebih sederhana yang kemudian di anggap juga
cocok dengan mayarakat yang berstruktur sosial-budaya homogen.
Demikian juga sistem
pemerintah presidensial di tetapkan sebagai pengganti sistim pemerintahan
semi-presidensial, padahal, sistim presidensial dalam penelitian Scott
Mainwaring di XX negara hanya mampu bertahan pada sistem politik dengan
struktur kepartaian sederhana.
Akibat sisitim presidensial pasca
amandemen, Pada sistim pemerintah presidensial dengan format multi partai tidak
di dukung oleh check and balances
yang efektif antara cabang eksekutif dan legislatif, akibat dari amandemen yang
menggunduli kekuasaan presiden secara besar-besaran telah menimbulkan implikasi
konstitusional baru yaitu akumulasi kekuasaan yang terlalu besar pada
legislatif, akibatnya pemerintahan tidak stabil.[5] cita-cita bangsa yang berkarakter
kekeluargaan atau indigesasi dari koloktivisme sebagaimana gagasan Bung Hatta, bukan pula kolektivismenya Hitler dan Mosolini yang di landasi oleh keungglan Ras, ataupun kolektivisme Lenin dan Stalin yang dilandasi dominasi idiologi atau pula Mao-Ze Dong.[6]
Banyak negara yang baru
merdeka memilih model pemerintahan
sistem presidensil dalam kenyataanya terbukti secara empiris akhirnya gagal
mempertahankan stabilitas pemerintahan
Mereka mendasarkan pada Studi F.N
Riggs di 76 negara di dunia ketiga,
menyebutkan tidak ada satupun dari 33 negara yang menggunakan sistem
presidensial yang dapat bertahan, atau kesimpulan Scoot Mainwaring yang mengamati sistem presidensil di Amerika Latin
yang menyebutkan sistem presidensial dengan
multi partai di 31 negara yang dipandang paling sukses dalam pelaksanaan
demokrasio, ternyata tidak dapat menciptakan demokrasi yang stabil.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar