KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN
YANG MENGUAT
Oleh: Ridwan HM Said
MENDEKATI akhir
tahun 2011 lalu dan awal dari
tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang sistemik, yaitu, Korupsi
(dari kasus Gayus ke Najaruddin) dan Kekerasan
(dari terorisme
ke konflik Sumber Daya Alam). Selain
kedua masalah besar diatas tidak berarti tidak ada masalah lain, Reshaffel Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) jilid II beberapa waktu
lalu misalnya, tidak lebih dari isu lanjutan masalah
korupsi yang melilit beberapa elit parpol penguasa dan juga oposisi.
Nampaknya dua masalah besar itu semakin hari semakin menunjukkan skenario
sistematik dan konspirasi besar yang melibatkan kekuatan asing dan penguasa
negeri, untuk menyelesaikan masalah besar itu kelihatannya sangat
menguras energi kepala negara beserta
jajarannya, tapi semakin hari semakin sulit diprediksi kapan berbagai masalah
itu akan benar-benar berakhir, sebaliknya justru makin menunjukan tanda-tanda
penguatan.
Masalah
korupsi misalnya, untuk memperkuat regulasi
pencegahan juga menjerat para koruptor puluhan peraturan
perundang-undangan telah dikeluarkan,
beberapa lembaga Ad Hoc (KPK/Satgas) telah
di bentuk disamping lembaga konvensional (Polri/Jaksa) koruptor
semakin banyak yang berkeliaran, parahnya mereka yang
terlibat berada di dipusaran kekuasan ditengah “pagaran”
UU dan lembaga anti korupsi yang
amat banyak,
laju perkembangan pelaku korupsi terus bertambah, kerugian negara
semakin membengkak, akibatnya dimata Dunia Internasional Indonesia dikenal
sebagai lumbung koruptor.
Masalah kekerasan dalam konteks “terorisme” yang semakin nekat, melegitimasi Densus 88 untuk bertindak represif, juga
memaksimalkan BNPTsebagai
upaya defentif dengan deradikalisasi,
dana cukup besar digelontorkan demi mendukung pemberantasan terorisme, dana Densus
88 diduga berasal dari kucuran
asing. Sudah banyak
yang
ditembak mati ditempat, ditahan tanpa prosedur, dan dipenjara namun tidak seorangpun
yang mampu memprediksi terorisme akan berakhir kapan.
Kemudian masalah kekerasan di bidang SDA, mulai dari Papua
yang tidak pernah berhenti berkicau sejak menyatu dengan NKRI. Pemerintah sudah
berusaha mengambil kebijakan guna meredam kekerasan yang terus meningkat. Otonomi Khusus
adalah opsi terakhir yang diberikan pusat kepada Papua sejak tahun 2001, kenyatannya
sampai sekarang Papua belum juga beranjak dari kekerasan yang setiap saat siap meledak kembali.
Riwayat
Jebakan
Dua masalah utama
diatas, yang jelas tidak muncul secara spontanitas,
tapi merupakan sengaja di “setiting”
dengan latar belakangnya masing-masing atau setidaknya sengaja dibiarkan untuk
kepentingan tertentu, pada titik inilah kemudian yang memunculkan pertanyaan,
siapa aktor dibalik itu semua, dan apa tujuannya ? secara historis, tanpa
ragu kita harus menyatakan, aktornya adalah dunia barat dan Amerika Serikat yang bersekongkol dengan “pemimpin” kita.
Persoalan benih korupsi dan kekerasan (SDA) adalah dua entitas yang
muncul berbarengan sebagai satu paket groyek golobalisasi yang di rancang oleh AS.
Fakta
sejarah menunjukkan sejak berakhirnya perang dingin antara blok barat yang
diwakili Amerika Serikat dan blok timur yang diwakil oleh Uni Soviet (kini Rusia), dikenal dengan
perang idiologi kapitalis dan sosialis. Amerika Serikat keluar sebagai pemenang
dan sejak saat itu tidak ada satupun negara yang dapat menghentikan hegemoni AS
di segala penjuru Dunia yang
dikehendakinya. Baik penguasaan melalui cara paksa (force) maupun dengan cara
lunak (solf). cara lunak dilakukan dengan meluncurkan
proyek globalisasi, dengan dalih membantu negara-negara dunia ketiga keluar dari keterbelakangan,
melakukan modernisasi disegala bidang, melalui dana pinjaman lewat lembaga vinancial yang didirikan Amerika Serikat
(IMF, Word Bank), dengan catatan seluruh
program-rogram strategic harus
mengikuti rekomendasi lembaga itu, artinya dengan mudah kekuatan lembaga vinancial global tersebut mengintervensi
penguasa pada negara yang bersangkutan, termasuk menggulingkan rezim yang
berkuasa. Gerakan modernisasi sebagai resep
lembaga yang dibentuk Amerika tersebut
buktinya sulit ditemukan negara-negara dunia ketiga yang mampu bangkit dari kekacauan
politik, korupsi, dan penguasaan SDA vital oleh negara
tersebut, justru keadaan sebaliknya ketika mencermati negara berkembang yang tidak mau
mengikuti resep Amerika Serikat
seperti Malaysia yang kini sangat jauh lebih maju.
Dalam
konteks Indonesia,
keterlibatan “Barat” dan Amerika Serikat, terutama pada isu
politik sangat jelas, sejak merdeka Indonesia secara tidak langsung sudah
bergantung pada AS, dimana “kemerdekaan di raih” karena
luluh
lantarnya Jepang akibat di bombardir AS, lalu para
pendiri Indonesia segera mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 agustus 1945. Seokarno
kemudian tampil sebagai Presiden, sikap
politiknya yang memilih tidak berafiliasi dengan AS (kapitalisme), dan lebih memilih
membangun
afiliasi politik dengan idiologi sosialisme (PKI) dengan konsep Nasakom membuat AS berang, dan memikirkan berbagai
cara untuk menggulingkan Soekarno.
lewat momen
pemberontakan PKI yang membunuh beberapa Jenderal, diawali dengan
berhembusnya isu terbentuk Dewan Jenderal TNI guna mengambil alih kepemimpinan,
kemudian memancing PKI melakukan kudeta, ternyata belakangan diketahui yang menghembuskan
isu itu adalah badan
intelijen AS (CIA). AS sangat terkejut dengan kerja Soeharto dapat dengan mudah
memberatas kekuatan idiologi sosialisme penyaing terbesar AS di Asia Tenggara, Soeharto
pun naik menjadi Presiden dengan membunuh
hampir “satu juta” nyawa yang diklaim sepihak sebagai pendukung
PKI tanpa proses hukum.
Setelah
Soeharto naik ke tampuk
pemimpin menggantikan Soekarno, UU yang pertama
kali ia keluarkan adalah UU No. 1 tahun 1967
tentang penanaman modal asing (PMA) hasil dari
pertemuan
di Genewa-Swiss, antara utusan Indonesia dengan para pengusaha kapitalis AS dan
negara-negara
barat lainnya, disinilah awal mula idiologi kapitalisme bercokol menancap kuat dibumi pertiwi, SDA
potensial dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing, seperti, Freeport, Generl
Motors, US Steel Tobacco, Alcoa, Goodyear,
Siemens, Presiden AS Nixon waktu itu menyebut Indonesia adalah “upeti dari Asia.”
Pada
saat yang sama Indonesia terjabak
dalam konspirasi jahat kekuatan Amerika Serikat melalui IMF dan World Bank, yang
memberikan dana pinjaman untuk melakukan modernisasi (globalisasi), dan Indonesia adalah negara yang
pertama kali dijadikan pilot project
program globalisasi. Satu pertiga Milyaran Dolar AS uang pinjaman ini kemudian menjadi sumber utama
korupsinya Soeharto dan para kroinisnya, itu artinya benih korupsi
besar-besaran di mulai sejak uang pinjaman yang mengalir dari lembaga bentukan AS
itu.
Menguatnya
Jebakan
Sepanjang tahun 2011 lalu jebakan
melalui setingan isu-isu yang sengaja
dipelihara
oleh AS dan dunia barat sangat terasa menguat,
isu terorisme misalnya “kelompok” Islam
yang di anggap terlibat dalam gerakan itu
semakin masuk pada ranah yang sesunguhnya diinginkan oleh dunia Barat dan Amerika
Serikat, sekarang Densus 88 dengan seenaknya saja menangkap, menahan bahkan
membunuh tanpa proses hukum, konyolnya ada yang diduga teroris yang tidak
diketahui identitasnya (mister X),
tidak ada lagi prosedur
hukum, mulai dari status saksi, tersangka, terdakwa dan terpidana. Parahnya
sebagian umat Islam yang dicap sebagai teroris terpancing secara membabi buta tanpa target
yang jelas yang akhirnya menjastifikasi aparat melakukan tindakan represif atas nama keamana Negara, dan kondisi ini akan
mengulangi tragedi satu juta rakyat Indonesia yang dibantai Soeharto atas PKI dulu tanpa
proses hukum, sekali
lagi itu adalah pesanannya AS untuk memberangus idiologi sosialis sebagai lawan
idiologi kapitalis, umat Islam jangan mau terjebak dengan perang idiologi barat.
Jebakan
yang semakin menguat juga dapat dilihat pada kasus Papua, kita tahu setiap
terjadi kekerasan di Papua selalu diawali dengan persoalan di PT. Freeport,
perusahaan emas itu adalah miliknya AS, kekerasan di Papua akan menjadi pintu
masuk AS untuk melakukan intervensi
dengan mendukung merdekanya Papua
dari NKRI atas dalil aparat Indonesia melakukan pelanggaran HAM,
seperti yang terjadi di Timor Leste dulu.
Perosalaan
terorisme, kekerasan di Papau, benih korupsi merupakan kasus-kasus besar yang
muncul dan menguat
akibat jebakan dunia barat dan AS
khususnya yang berkonspirasi dengan penguasa
negeri ini, AS menginginkan kekayayan SDA kita tanpa batas dan melemahkan idiologi Sosialis
dan Islam sebagai saingan kapitalisme, sementara kepentingan elit lokal adalah “kekuasaan”. Bangsa ini penuh
dengan skenario dan jebakan, untuk keluar dari segala persolaan
itu dibutuhkan pemimpin yang berani dan bernurani tapi bukan
penyanyi Seperti SBY.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar