Senin, 11 Februari 2019

KEKUATIRAN YANG BERALASAN ! Tanggapan atas tulisan “Kekuatiran Yang Tak Beralasan”

Oleh: Ridwan M. Said*
WALAPUN berita “Bima Membara” yang sempat mengheboh menjadi issue nasional, karena secara intensif diangkat oleh berbagai media local maupun nasional baik cetak maupun elektronik mewarnai paroh akhir bulan desember 2011 berlanjut sampai pada awal januari 2012. Tragedi yang menyebabkan meninggalnya dua warga Lambu (versi Polisi) serta beberpa orang lainya luka-luka akibat tembakan brutal aparat, bukan berarti tragedy itu hilang sama sekali dalam wacana public, terutama di tingkatan local Bima, namun anehnya arah wacana para elit, terutama elit daerah semakin mengarah pada perdebatan motif lain dibalik gerakan masyarakat Lambu, Bupati Bima mensinyalir gerakan penolakan tambang di susupi kepentingan politik, sehingga sang Bupati menantang lawan politiknya bertarung melalui jalur yang sehat dan etis pada 2015 nanti (SM/9/1).
Terlpas dari semua perdebatan motif sesuai yang disinyalir oleh Bupati Bima (Ferry Zulkarnain, ST), tulisan saudara Taufikurrahman, ST (dalam tulisan ini akan di singkat TR) dalam media ini di kolom opini (SM, kamis, 05/01) bagi saya cukup mengusik perasaan kemanusian, tulisan yang berjudul “kekuatiran yang tidak beralasan,” karena ada beberapa poin penting yang menurut saya sangat tidak arif dan cenderung menyepelekan jatuhnya banyak korban jiwa.
Dari tulisan saudara TR tersebut pesan pokok penting yang ingin disampaikannya yaitu, kepercayaan beliau pada teori (ilmu geologi) dan regulasi (Amdal) pengelolaan pertambangan, ia menyatakan dalam paragraf tiga, secara keilmuan geologi wilayah Bima terletak pada zona tumbukan lempeng Benua dan lempeng Samudera (stubduction zone) sehingga wilayah Bima berpotensi sebagai wilayah pertambangan. Kemudian di paragraf empat disebutkan  kegitan PT. SMN adalah masih pada tahap eksplorasi sehingga ia menuding kekuatiran masyarakat Lambu akan tercemarnya sumber mata air sebagai kekuatiran yang membabi buta, sangat berlebihan, dan keliru yang cukup parah. Dan memang pencemaran dan kerusakan masih agak jauh, karena masih ada rangkaian pajang yang harus dilewati dalam Usaha pertambangan yang meliputi tahapan kegiatan, penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang (pasal 1 ayat (6) PP No 22 2010). Selanjutnya pada paragraf lima beliau kembali menyatakan kekuatiran itu tidak beralasan, terlalu dini, karena segala pertimbangan dampak akan dituangkan dalam Amdal. Secara pribadi penulis menilainya tulisan TR sebagai sikap yang tidak arif, walaupun mungkin saja pada dasarnya memiliki niat “baik” untuk menjelaskan dampak pertambangan dalam perpektif dunia kelimuan “teori.” dan Jaminan regulasi (Amdal) dari wilayah teknisnya saja sesuai dengan yang diungkapkan beliau pada paragraf dua.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan saya menilai saudara TR tidak arif, dan sekaan tertutup oleh awan kegelapan teori dan Regulasi, serta terselip nafsu mendukung hadirkan pertambangan di Bima, mungkin sikap kita sama dalam menempatkan teori dalam domain cita-cita/ide (dassein) yaitu berfungsi menjelaskan (to explain), meramalkan (to predict), dan mengendalikan (to control) (J. Suprapto: 2009), namun perbedaan kita yang menonjol adalah pada tataran kenyataan (dassolen), dalam kenyataan walau tidak jarang antara keinginan dan kenyataan sama atau antara ajaran teori dan realitas, namun untuk menghitung gap antara cita-cita dan kenyataan tidak habis tinta tentang ketimpangannya, bahkan dalam sejarahnya “teori” pernah menjadi tragedi kemanusiaan sepanjang abad manusia, kita masih ingat dengan teri Nowton yang memaksakan kenyataan harus sesuai dengan teori, padahal teori hadir untuk mengabdi untuk memecahkan kenyataan hidup.
Selain itu teori itu terbatas, secara terotis mungkin “benar” bahwa aktifitas pertambangan tidak akan mengganggu mata air karena akan ada cara untuk mengantisipasinya, akan tetapi kasus lumpur Lapindo cukup menjadi bukti kegagalan teori dan regulasi, sampai saat ini proses ganti rugi dan penutupan lubang semburun panas itu belum ditemukan cara yang tepat, terlepas ada alasan macam-macam, namun bukankan ini menunjukan keterbatasan teori, dan teori hanya mampu menangkap hal-hal yang rasioanal dan empirik saja, sementara masyarakat lokal disamping rasional juga mempercayai hal-hal yang irasional atau metafisik, seperti mitos, kutukan Allah swt, dll, jadi wajar kekuatiran mereka beralasan, karena cakupan jangkauan cara berpikir dan perdiksi mereka lebih luas dari jangkauan teori yang saudara TR paparkan, dan ingat Brian Z. Tamanaha pernah menyatakan “teori modern” dibangun diatas pembangkangan terhadap “Tuhan,” karena sikapnya yang mengagungkan rasio, tanpa melibatkan kalbu sebagai tempat bersemayamnya nilai-nilai keyakinan dan ketuhanan.
Selanjutnya teori dan regulasi bukanlah mahluk, ia bergantung (variable dependent) pada siapa yang menggunakannya (variable independent), artinya baik buruknya materialisasi dari gagasan itu bergantung  pada siapa yang mempraktekkannya, dalam dunia bertambangan tentu saja yang mengendalikannya adalah investor, perusaahan pertambang adalah salah satu dedengkoknya kapitalisme, neoliberalisme dan neokolonialisme, dalam logika kapitasme “provit” adalah rumusan utama, idiologinya adalah kerakusan (greediness), tidak ada obat mujarab yang dapat mengobati penyakit kerasukan kapitalisme, perangkat praturan perundang-undangan tentang kehutanan, pertambangan, lingkungan hidup dan renegosisasi kotrak karya pertambanagn telah dikeluarkan guna membatasi kerakusan perusaahaan pertambangan, namun pihak investor tidak mau menaatinya, lihat saja dominasi saham asing di PT. Frepoort, dll. Pertambangan dioperasikan atas kemauan perusahaan bukan kemauan kumpulan Ustad, Kyai atau Tuan Guru yang memiliki sikap dan padangan seimbang dan harmonis, baik secara horizontal maupun vertical.
Sementara masalah pokok lingkungan yaitu pencemaran (pasal 1 angka 14 UU 32/2009) dan kerusakan LH (Pasal 1 angka 6 UU 32/2009), hampir kebanyakan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, hama wereng, dan berbagai penyakit aneh lainnya yang muncul belakangan ini diakibatkan oleh kerusakan dan pencemaran lingkungn melalui aktifitas industri lebih khusunya pertambangan.
Dari segi janji kesejahteraan, memang harus diakui ada penambahan pemasukan untuk APBD walau nilainya sangat  kecil ketimbang yang didapat pihak investor, secara kasat mata di daerah-daerah pertambangan yang kaya akan mineral, dan batu bara, seperti di Papua, Sumbawa, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, hampir tidak ditemukan kelebihan yang menonjol dari daerah daerah itu, Papau misalnya sampai sekarang masih belum beranjak dari kondisi semua serba tertinggal, seperti  kemiskinan, kesehatan, pendidikan, di NTB tidak ada keunggulan yang menonjol yang dialami masyarakat KSB. Disamping itu setiap aktivitas pertambanganga selalu diikuti oleh munculnya kawasan prostitusi disekitar daerah itu, alasannya cukup sederhana, yakni para kariyawan yang bekerja diwilayah pertambanagn dengan gaji besar akan menjadi bidikan baru para pebisnis prostitusi dan juga warga sekitar yang tidak beruntung secara ekonomis, kondisi ini tentu saja sangat di khawatirkan oleh masyarakat Lambu.
Dari segi penegakan hukum, selama keberlakuan  UU 32 tahun 2009 tentang pencemaran dan perlindungan LH, hasil evalusai menteri LH dan beberapa lembaga pemerhati LH hampir mustahil ditemukan adanya sanksi tegas dari pemerintah terhadap perusahaan pelaku perusakan dan pencemaran LH, itu artinya sangat tipis peluang dimenangkan oleh kelompok masyarakat local bila suatu saat muncul masalah LH, karena yang dihadapi adalah pihak corporation yang rakus dan dapat melakukan apa saja, bahkan mereak bisa mengendalikan kekuatan kekuasan politik, birokrat, dan para penegaka hukum, ditambah lagi instrument hukum lingkungan yang sama sekali tidak berpihak para rakyat kecil sebagai korban pencemaran dan kerusakan LH.
Jadi dalam melihat persoalaan alasan perlawanan masyarakat Lambu tidak cukup melihat dalam perspektif keilmuan “teori” dan regulasi (peraturan perundang-undangan) saja, namun harus dilihat secara komprehensif, dalam domain fakta yang tersuguhkan masa lalu, kini dan yang akan datang, karena ajaran teori disamping berpeluang keliru dan terbatas, juga bergantung pada factor lain, terutama, faktor pelakunya seperti political will pemerintah, niat baik perusahaan, keperpihakan penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), bukankah semua pihak yang disebutkan diatas dalam kenyataannya masih dalam kondisi minus kepercayaan oleh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KORUPSI DAN KEKERASAN JEBAKAN YANG MENGUAT

Oleh: Ridwan HM Said MENDEKAT I akhir tahun 2011 lalu dan awal dari tahun 2012 ini Indonesia diwarnai oleh dua masalah besar yang ...