Oleh: Ridwan M. Said*
WALAPUN
berita “Bima Membara” yang sempat
mengheboh menjadi issue nasional, karena secara intensif diangkat oleh berbagai
media local maupun nasional baik cetak maupun elektronik mewarnai paroh akhir
bulan desember 2011 berlanjut sampai pada awal januari 2012. Tragedi yang
menyebabkan meninggalnya dua warga Lambu (versi Polisi) serta beberpa orang lainya
luka-luka akibat tembakan brutal aparat, bukan berarti tragedy itu hilang sama
sekali dalam wacana public, terutama di tingkatan local Bima, namun anehnya arah
wacana para elit, terutama elit daerah semakin mengarah pada perdebatan motif
lain dibalik gerakan masyarakat Lambu, Bupati Bima mensinyalir gerakan
penolakan tambang di susupi kepentingan politik, sehingga sang Bupati menantang
lawan politiknya bertarung melalui jalur yang sehat dan etis pada 2015 nanti (SM/9/1).
Terlpas
dari semua perdebatan motif sesuai yang disinyalir oleh Bupati Bima (Ferry
Zulkarnain, ST), tulisan saudara Taufikurrahman, ST (dalam tulisan ini akan di
singkat TR) dalam media ini di kolom opini (SM, kamis, 05/01) bagi saya cukup mengusik
perasaan kemanusian, tulisan yang berjudul “kekuatiran
yang tidak beralasan,” karena ada beberapa poin penting yang menurut saya
sangat tidak arif dan cenderung menyepelekan jatuhnya banyak korban jiwa.
Dari
tulisan saudara TR tersebut pesan pokok penting yang ingin disampaikannya yaitu,
kepercayaan beliau pada teori (ilmu geologi) dan regulasi (Amdal) pengelolaan
pertambangan, ia menyatakan dalam paragraf tiga, secara keilmuan geologi
wilayah Bima terletak pada zona tumbukan lempeng Benua dan lempeng Samudera (stubduction zone) sehingga wilayah Bima berpotensi
sebagai wilayah pertambangan. Kemudian di paragraf empat disebutkan kegitan PT. SMN adalah masih pada tahap eksplorasi
sehingga ia menuding kekuatiran
masyarakat Lambu akan tercemarnya sumber mata air sebagai kekuatiran yang
membabi buta, sangat berlebihan, dan keliru yang cukup parah. Dan memang
pencemaran dan kerusakan masih agak jauh, karena masih ada rangkaian pajang
yang harus dilewati dalam Usaha pertambangan yang meliputi tahapan kegiatan,
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang (pasal
1 ayat (6) PP No 22 2010). Selanjutnya pada paragraf lima beliau kembali
menyatakan kekuatiran itu tidak beralasan, terlalu dini, karena segala
pertimbangan dampak akan dituangkan dalam Amdal. Secara pribadi penulis menilainya
tulisan TR sebagai sikap yang tidak arif, walaupun mungkin saja pada dasarnya memiliki
niat “baik” untuk menjelaskan dampak pertambangan dalam perpektif dunia
kelimuan “teori.” dan Jaminan regulasi (Amdal) dari wilayah teknisnya saja sesuai
dengan yang diungkapkan beliau pada paragraf dua.
Ada
beberapa alasan yang menyebabkan saya menilai saudara TR tidak arif, dan sekaan
tertutup oleh awan kegelapan teori dan Regulasi, serta terselip nafsu mendukung
hadirkan pertambangan di Bima, mungkin
sikap kita sama dalam menempatkan teori dalam domain cita-cita/ide (dassein) yaitu berfungsi menjelaskan (to explain), meramalkan (to predict), dan mengendalikan (to control) (J. Suprapto: 2009), namun perbedaan
kita yang menonjol adalah pada tataran kenyataan (dassolen), dalam kenyataan walau tidak jarang antara keinginan dan
kenyataan sama atau antara ajaran teori dan realitas, namun untuk menghitung gap
antara cita-cita dan kenyataan tidak habis tinta tentang ketimpangannya, bahkan dalam sejarahnya “teori” pernah menjadi
tragedi kemanusiaan sepanjang abad manusia, kita masih ingat dengan teri Nowton
yang memaksakan kenyataan harus sesuai dengan teori, padahal teori hadir untuk
mengabdi untuk memecahkan kenyataan hidup.
Selain
itu teori itu terbatas, secara terotis mungkin “benar” bahwa aktifitas
pertambangan tidak akan mengganggu mata air karena akan ada cara untuk mengantisipasinya,
akan tetapi kasus lumpur Lapindo cukup menjadi bukti kegagalan teori dan
regulasi, sampai saat ini proses ganti rugi dan penutupan lubang semburun panas
itu belum ditemukan cara yang tepat, terlepas ada alasan macam-macam, namun bukankan
ini menunjukan keterbatasan teori, dan teori hanya mampu menangkap hal-hal yang
rasioanal dan empirik saja, sementara masyarakat lokal disamping rasional juga
mempercayai hal-hal yang irasional atau metafisik, seperti mitos, kutukan Allah
swt, dll, jadi wajar kekuatiran mereka beralasan, karena cakupan jangkauan cara
berpikir dan perdiksi mereka lebih luas dari jangkauan teori yang saudara TR
paparkan, dan ingat Brian Z. Tamanaha pernah menyatakan “teori modern” dibangun
diatas pembangkangan terhadap “Tuhan,” karena sikapnya yang mengagungkan rasio,
tanpa melibatkan kalbu sebagai tempat bersemayamnya nilai-nilai keyakinan dan ketuhanan.
Selanjutnya teori dan regulasi bukanlah mahluk, ia
bergantung (variable dependent) pada siapa yang menggunakannya
(variable independent), artinya baik buruknya materialisasi dari gagasan itu
bergantung pada siapa yang mempraktekkannya,
dalam dunia bertambangan tentu saja yang mengendalikannya adalah investor, perusaahan
pertambang adalah salah satu dedengkoknya kapitalisme, neoliberalisme dan neokolonialisme,
dalam logika kapitasme “provit” adalah
rumusan utama, idiologinya adalah kerakusan (greediness), tidak ada obat mujarab yang dapat mengobati penyakit
kerasukan kapitalisme, perangkat praturan perundang-undangan tentang kehutanan,
pertambangan, lingkungan hidup dan renegosisasi kotrak karya pertambanagn telah
dikeluarkan guna membatasi kerakusan perusaahaan pertambangan, namun pihak
investor tidak mau menaatinya, lihat saja dominasi saham asing di PT. Frepoort,
dll. Pertambangan dioperasikan atas kemauan perusahaan bukan kemauan kumpulan Ustad,
Kyai atau Tuan Guru yang memiliki sikap dan padangan seimbang dan harmonis,
baik secara horizontal maupun vertical.
Sementara
masalah pokok lingkungan yaitu pencemaran (pasal 1 angka 14 UU 32/2009) dan kerusakan
LH (Pasal 1 angka 6 UU 32/2009), hampir kebanyakan bencana alam, seperti
banjir, tanah longsor, hama wereng, dan berbagai penyakit aneh lainnya yang
muncul belakangan ini diakibatkan oleh kerusakan dan pencemaran lingkungn
melalui aktifitas industri lebih khusunya pertambangan.
Dari
segi janji kesejahteraan, memang harus diakui ada penambahan pemasukan untuk APBD
walau nilainya sangat kecil ketimbang
yang didapat pihak investor, secara kasat mata di daerah-daerah pertambangan yang
kaya akan mineral, dan batu bara, seperti di Papua, Sumbawa, Kalimantan, dan
daerah-daerah lainnya di Indonesia, hampir tidak ditemukan kelebihan yang
menonjol dari daerah daerah itu, Papau misalnya sampai sekarang masih belum
beranjak dari kondisi semua serba tertinggal, seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, di NTB
tidak ada keunggulan yang menonjol yang dialami masyarakat KSB. Disamping itu setiap
aktivitas pertambanganga selalu diikuti oleh munculnya kawasan prostitusi
disekitar daerah itu, alasannya cukup sederhana, yakni para kariyawan yang bekerja
diwilayah pertambanagn dengan gaji besar akan menjadi bidikan baru para
pebisnis prostitusi dan juga warga sekitar yang tidak beruntung secara
ekonomis, kondisi ini tentu saja sangat di khawatirkan oleh masyarakat Lambu.
Dari
segi penegakan hukum, selama
keberlakuan UU 32 tahun 2009 tentang pencemaran dan
perlindungan LH, hasil evalusai menteri LH dan beberapa lembaga pemerhati LH hampir
mustahil ditemukan adanya sanksi tegas dari pemerintah terhadap perusahaan
pelaku perusakan dan pencemaran LH, itu artinya sangat tipis peluang dimenangkan
oleh kelompok masyarakat local bila suatu saat muncul masalah LH, karena yang
dihadapi adalah pihak corporation yang
rakus dan dapat melakukan apa saja, bahkan mereak bisa mengendalikan kekuatan
kekuasan politik, birokrat, dan para penegaka hukum, ditambah lagi instrument
hukum lingkungan yang sama sekali tidak berpihak para rakyat kecil sebagai
korban pencemaran dan kerusakan LH.
Jadi
dalam melihat persoalaan alasan perlawanan masyarakat Lambu tidak cukup melihat
dalam perspektif keilmuan “teori” dan regulasi (peraturan perundang-undangan)
saja, namun harus dilihat secara komprehensif, dalam domain fakta yang
tersuguhkan masa lalu, kini dan yang akan datang, karena ajaran teori disamping
berpeluang keliru dan terbatas, juga bergantung pada factor lain, terutama, faktor
pelakunya seperti political will pemerintah,
niat baik perusahaan, keperpihakan penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim), bukankah
semua pihak yang disebutkan diatas dalam kenyataannya masih dalam kondisi minus
kepercayaan oleh rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar