Oleh:
Ridwan M. Said*
NTB
kembali terbelit ke zona konflik, begitulah kata-kata yang lebih kurang tepat
untuk mengggambarkan kondisi NTB akhir-akhir ini. Dua hari lalu masyarakat Sumbawa
mengamuk dengan merusak, menjarah dan membakar rumah, kendaraan, kios, toko, hotel,
bahkan tempat ibadah, penyebabnya adalah meninggalnya seorang mahasiswa Universitas
Sumbawa, masalah mulai membesar ketika polisi menyatakan bahwa meninggalnya
mahasiswi tersebut murni kecelakan lalu lintas.
Sementara
keluarga korban dan mahasiswa yang ikut simpatik tidak dapat menerima pernyataaan
itu, mereka menilai kematian mahasiswa tersebut ada dugaan dibunuh oleh oknum Polisi
yang kebetulan berasal dari lain, mahasiswa dan keluarga korban menuntut untuk
segera mengadili si pelaku, namun tuntutan itu tidak direspon secara cepat oleh
kepolisian, akhirnya terjadilah amukan warga.
Terlepas
dari banyak faktor pendorong dan pendukung atas amukan warga, ada satu hal mendasar
yang memicu gerakan massa tersebut, yakni lambannya aparat penegak hukum dalam
merespon tuntutan warga, walau polisi sendiri sudah menyatakan kejadian itu disebabkan
murni kecelakaan lalu lintas, itu bukan berarti kerja polisi telah usai, kalaupun
alasan itu benar secara hukum, tetap saja ada kegagalan polisi dalam membangun
komunikasi dengan pihak keluarga korban dan mahasiswa.
Dari
persoalan di atas, timbul satu pertanyaan, bagaiama seharusnya tindakan yang
diambil kepolisian dalam merespon aspirasi mahasiswa dan masyarakat Sumbawa (keluarga
korban) sebelum terjadinya amukan massa, sehingga mungkin suasana mencekam
seperti itu tidak akan terjadi dan yang lebih penting tidak terulangi kembali dikemudian
hari. Persoalan diatas akan coba dilihat dengan pendekatan kajian teori hukum.
Pada
dasarnya hukum adalah alat integrasi sosial, sebagai alat integrasi, ia
setidaknya memiliki dua fungsi, yakni fungsi social control dan fungsi social
engginering. Di era kini sebenarnya hukum di niatkan untuk mendorong dua
fungsi diatas, namun yang terlihat hukum hanya focus sebagai socoal control saja, fungsi ini mengandung tujuan tujuan hukum di proyeksikan menjaga
ketetiban dan kenyamanan dalam masyararakat. Di luar dua fungsi di atas
sebenarnya masih banyak fungsi hukum, karena dalam teori hukum sendiri
mengandung banyak mazhab, dan setiap mazhab hukum memiliki pijakan antologi,
epistomologi, dan asiologi sindiri-sendiri, mazhab-mazhab hukum itu ialah, mulai
dari mazhab hukum kodrat, positivisme, sejarah, sociological juresprudenc, dan mazhab realisme hukum.
Dalam
kaitannya dengan kerusahan yang terjadi di Sumbawa, timbu pertanyaan, dasar mazhab
hukum mana yang mempengaruhi pola kerja kepolisian, sehingga gagal menangkap
emosi rakyat atas kejadian pemicu tersebut?
Untuk
menjawab kasus di atas, dan memahami mazhab mana yang dominan mempengaruhi pola
kerja aparat penegak hukum di Indonesia secara umum, maka kita akan kembali pada
sejarah bangsa Indonesia. Sebagai negara peninggalan koloni Belanda, kita
sampai saat ini masih mewarisi tradisi hukum Belanda tersebut, yakni dalam
kajian teori hukum disebut mazhab positivisme (Austin, Kalsen, Hart) atau dalam
kajian terori hukum disebut disebut modern (padanan hukum Adat/Islam).
Ajaran
positivisme memaknai hukum itu adalah seperangkat norma (Kalsen) atau aturan
(Hart) yang telah ditetapkan menjadi UU (ontologi), oleh penguasa atau yang
berdaulat (DPR dan Presiden) (epistomologi), yang bersifat memaksa, serta memiliki
sanksi yang tegas, dengan tujuan agar
terjaganya ketertiban dan kepastian hukum (aksiologi).
Teori
hukum diatas memiliki kekuasaan dominan bahkan menghegemoni khasanah pembangunan
hukum Indonesia (lihat teori hukum pembangunan Mochtar), karena dianut secara
resmi oleh negara, ia memiliki pengaruh dan mungkin saja sangat sulit di
hindari oleh pengak hukum seperti kepolisian dalam menyelesaikan berbagai kasus
yang terjadi. Dalam cara berpikir seoseorang yang dipengaruhi oleh paham hukum
ini, hukum itu tidak lain merupakan UU yang dibuat oleh pemerintah, diluar itu
tidak dianggap hukum, tujuannya adalah kepastian hukum. Jadi kalau timbul
masalah seperti kasus meninggalnya mahasiswa di Sumbawa tersebut, cara kerjanya
adalah menilai persoalan yang muncul apakah sesuai atau tidak dengan
pasal-pasal yang ada dalam teks UU, kalau tidak sesuai maka dianggap tidak ada
masalah hukum, cara berpikir model itu saat ini telah kita lihat
konsekwensinya. Polisi melihat tidak ada tindak pidana, itu murni kecelakaan, persolaan
dilihat hitam atau dengan kacamata kuda, melihat lurus kedepan, tidak ingin
menoleh kekiri dan kekanan, kalau bukan hitam pasti putih, tidak ada merah,
kuning atau hijau.
Kerja
hukum dianggap selesai ketika telah sesuai dengan prosedur, bahkan prosedur
lebih penting dari keadilan itu sendiri, keadilan akan dikorbankan atau
dianggap telah terpenuhi mana kala prosedur telah di penuhi. Padahal prosedur
itu sendiri era sekarang sangat mudah dimanipulasi. Sekali lagi dalam cara
kerja teori hukum positivisme ia lebih mementingkan keadilan prsedural, bukan
keadilan substantive sebagaimana yang benar-benar dikehendaki rakyat, keadilan
procedural itu bertitik tolak dari teks UU, sebaliknya keadilan substantif itu
bertitik tolak dari aspirasi rakyat.
Karena
begitu mementingkan keadilan procedural tersebut tidak heran akhir-akhir ini
kita sering menyaksikan hukum gagal bekerja ditengah masyarakat dengan
munculnya konflik dimana-mana, koruptor tumbuh pesat, rakyat merasakan ada
jurang yang besar antara apa yang dikehendaki hukum (UU) dengan apa yang di inginkan
rakyat.
Itulah
kenapa kemudian, sejak dahulu. Hingga sekarang paradigma positivisme banyak ditentang
oleh para pakar teori hukum, cara kerjanya yang mengagungkan prosedur (glamourize of procedure) demi mengejar
kepastian hukum, tidak lagi sohih dalam mengurai persoalan bangsa ini.
Dalam
kasus kerusuhan Sumbawa dan juga
kasus-kasus lainnya yang terjadi di NTB, bila saja otoritas hukum setempat
sensitive memaknai aspirasi rakyat, seperti menahan dulu yang di duga sebagai
pelaku demi meredam emosi masyarakat, karena toh akhirnya nanti pengadilan juga
yang akan memutuskan dia bersalah atau tidak. Kesimpulan yang menyatakan murni
kecelakaan ditambah orang yang dicurigai itu adalah etnis luar dan seorang oknum
polisi menambah kecurigaan warga.
Tapi
karena polisi terlalu mementingkan prosedur dan kepastian hukum, mereka gagal ikut
merasakan suasana hati rakyat dan keluarga korban yang kecewa dan menutut
keadilan. Dalam suasana seperti itu otoritas penegak hukum seharusnya berani
untuk keluar dari cara berpkir “hukum adalah teks UU semata-matan” manun juga tidak ada salahnya melihat hukum juga dilihat
sebagai law in action, hukum tidak
boleh ditifsirkan satu-satunya UU, masyarakat mengamuk tidak mungkin bisa di urai
dengan teks, ia harus dilihat sebagai perasaan hukum, mungkin saja mereka merasa
terinjak-injak harga dirinya, sehingga harus dilihat sebagai nilai (teori
integratif), apa yang menjadi tuntutan rakyat harusnya dilihat juga sebagai
hukum, yaitu menutut keadilan, teks UU harus diabaikan dalam suasana seperti
itu, karena kalau teks UU menjadi harga mati, maka manusia akan menghamba pada
teks, seharusnya teks itu di dayagunakan untuk kepentingan rakyat untuk menghadirkan
keadilan, bukan sebaliknya sikap rakyat harus sesuai dengan UU, hukum untuk
manusia, maka ia harus menghamba pada kepentingan manusia (teori hukum
progresif).
Dalam
cara pikir positivisme amukan rakyat tersebut dilihat sebagai ketidak taatan
atau melakukan pembangkangan terhadap UU, dengan demikian kaum posotisme
percaya, untuk mengakhiri pembangkangan teks UU harus akan ditegakkan. Namun bagi
hukum progresif amukan warga tersebut tidak semata-mata dilihat sebagai
pembangkangan, justru teks UU dan perilaku aparatlah yang harus di rubah,
karena tidak berdaya guna, malah kenyataannya menjadi pemicu malapetaka.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar