Oleh: Ridwan Said*
SUDAH lebih dari satu dekade perjuangan
terbentuknya Propinsi Pulau Sumbawa (PPS) untuk memisahkan diri dari propinsi
induknya Nusa Tengara Barat (NTB), guna terbentuk
sebagai Daerah Otonom, Seperti kata pepatah tidak ada perjuangan yang sia-sia, sekecil
apapun usaha yang dilakukan pasti akan ada hasilnya, hanya saja hasil yang
diharapkan tidak semudah yang dipikirkan.
Perjungan ini
sendiri sudah di mulai sejak lama, Tahun 2008 adalah arah baru perjungan tokoh
dan masyarakat pulau Sumbawa, pada Pemilukada Gubernur tahun 2008 seorang tuan Guru
KH Jainul Majdi dan Badrul Munir terpilih sebagai Gubernur-Wakil Gubernur, dengan
terpilihnya mereka ini, cita-cita terbentuknya PPS seakan mendapat energi segar
baru (new energy brisk), dengan
alasan setidaknya pasangan inilah yang secara terang-terangan menjanjikan untuk
memperjungkan terbentukan PPS waktu kampanye. Janji politik ini tentu saja bagi
masyarakat pulau sumbawa bukanlah sekedar omong kosong, karena di lihat dari Track Record dan kapasitas Tuan Guru
Bajang yang berlatar belakang Kyai mumpun, tentu tidak diragukan, Kyai bukanlah
sosok seorang yang mencari keuntungan pribadi atau kelompok, apa lagi bersilat
lidah demi kepentingan politik sesaatnya, seperti kebanyakan politisi yang
sering pandai bersandiwara.
Hari berlalu
tahunpun berganti, masyarakat Pulau Sumbawa terus menunggu janji politik BARU
(Bajang-Badrul), dalam kampanyenya bila terpilih akan membentuk PPS paling
lambat tahun 2009, namun hingga penghujun tahun 2009 janji itu belum juga
muncul-muncul, hingga akhirnya tokoh Pulau Sumbawa bersama seluruh Kepala Daerah
menggelar kongres rakyat di Sumbawa. Masyarakat pulau Sumbawa yang jelas punya
alasan untuk memisahkan diri dari Propinsi NTB, selain fakta diskriminasi oleh
rezim-rezim sebelumnya dalam kebijakan juga faktor sosiologis, budaya yang
berbeda antara masyarakat yang berada di pulau lombok (Suku Sasak) dan masyarakat
yang berada di pulau Sumbawa (KSB, Sumbawa/ Suku Samawa, Kota dan Kabupaten Bima,
Dompu/ Suku Mbojo), kemudian dari segi geografis, kependudukan juga sudah
terpenuhi.
Jama’ah
Politik
Tuan Guru adalah
Jama’ah politik (see jama’ah politics)
ia adalah bagian terkecil dari jama’ah jama’ah politik lainnya, dalam
konstalasi panggung politik, jama’ah Politik tetaplah jam’ah politik, ia tidak
akan menjadi jama’ah tabligh. Karena hanya dikomunitas jam’ah tabligh dogma
ihlas, dan kejujuran masih tertancap kuat, apalagi menghianati jamah lain, ceritanya
menjadi lain ketika konteks kejujuran, keihlsan masuk pada ranah politik, yang
ada di sana adalah kekuasaan, entah dengan “cara” yang bagaimana, merubah
idiologipun bisa jadi (baca idiologi) apa lagi mengingkari janji. Dalam konteks
lambannya PPS Terbentuk, secara substansi kita tidak bisa menyalahakan Tuan
Guru Bajang sepenuh, karena ia hanyalah anggota jama’ah di tengah banyak jama’ah
lainnya. Namun bukan berarti sama sekali tidak ditemukan pintu untuk
mengkritisnya, ada beberapa alasan yang membuat lamban terbentuknya PPS.
Pertama. Tidak ada kesunguhan (truth) yang besar tuan guru untuk
memperjungkan agenda itu, kayaknya agenda itu tidak menjadi prioritas pada
paruh pertama dan kedua masa jabatannya mungkin juga tahun-tahun selanjutnya, hal
ini dapat di lihat dari lambannya Bajang menandatangani surat persetujuan hasil
paripurna DPRD NTB. Kedua. Bargaining
Nasional Bajang, memang rekam jejak Bajang cukup bagus dalam karir politiknya,
sebelum ia terpilih sebagai Gubernur, sebelumnya ia adalah anggota DPR RI
utusan partai PBB, yang pada masa periode 2004-2009 partai itu masih
menempatkan wakilnya di parlemen, namun pemilu 2009 partai ini tidak lolos Elektoral Trashoolt, artinya partai PBB
yang juga pengusung Bajang tidak punya “taring” politik yang kuat di pentas
nasional. faktor inilah yang sangat besar membuat lambannya pemekarang PPS (unfoldment), tokoh utama partai PBB
seperti Yusril Ihza Mahendra sampai saat ini masih terombang ambing terlilit
kasus Sisminbakum waktu ia menjadi Menteri Kehakiman, Hukum dan HAM, dan besar
dugaan terombang ambing atas permainan politik, lebih jelasnya konfliknya
dengan SBY.
Ketiga. Sudah menjadi Kebijakan Nasional Pemerintaan SBY dan DPR untuk melakukan moratorium
pemekaran Daerah sejak tragedi meninggalnya ketua DPRD Sumatera Utara pada saat
demonstrasi di kantor DPRD setempat oleh masyarakat Tapanuli Utara yang meminta
pemekaran, tragedi ini semacam menjadi legitimisi Pemerintah Pusat untuk
mengambil kebijakan moratorium pemekaran, sekaligus menjadi momen untuk meninjau
Daerah-daerah Otonomi yang sudah di mekarkan selama ini lebih-lebih Daerah
Kota/Kabupaten, alasan moratorium ini sendiri Pemerintah Pusat dan DPR melihat
pelaksanaan otonomi Daerah perlu di evaluasi, sikap ini cukup beralasan, karena
mayoritas Daerah Otonomi baru belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, dari segi anggaran, Daerah-daerah otonomi
masih banyak menggantungkan ABPD pada kucuran dana dari pusat, Hasil evaluasi
yang dilakukan oleh Menteri dalam Negeri
sekitar 80 porsen dari 205 daerah otonom gagal (Kompas 15/7/2010) dan justru menimbulkan banyak masalah, sebagai
contoh hampir semua daerah otonom di Aceh terancam gagal karena lebih dari 75
porsen APBD dihabsikan untuk belanja pegawai dan operasional birokasi, di Timor
Tengah Utara terpaksa harus utang pada pengusaha.
Korupsi juga
menjadi ancaman, Fenomena Kepala Daerah yang melakukan korupsi bukan lagi hal
baru, ada anomali desentralisasi melalui otonomi daerah yang cukup akut, desentralisasi
yang mencita-citakan percepatan pembangunan yang akhirnya mensejahterakanna rakyat
malah melahirkan raja baru dan kader-kader muda koruptor masa depan. Akibat dari
rentetan kegagalan inilah yang menjadi pertimbangan Pemerintah
Pusat untuk melakukan moratorium pemekaran daerah baru, bahkan banyak pihak
mendesak pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi terhadap daerah-daerah otonom
yang di anggap gagal, bahkan di gabungkan kembali dengan daerah induknya, bukan
tidak mungkin beberapa daerah otonom baru Kota/Kabupaten di NTB untuk di
gabungkan kembali dengan daerah induk, kalau mengacu secara yuridis normatif,
namun sangat sulit gagasan ini secara politik dapat di realisasikan, karena
imbas dan biaya politiknya sangat mahal.
Peluang
PPS
Setidaknya ada
dua alasan (reason) masyarakat pulau
sumbawa untuk menyalahkan Bajang dalam kaitannya dengan keterlambatan pemekaran
PPS sesuai dengan janji politiknya, Pertama.
mungkin masyarakat menilai Bajang selama ini tidak menjadikan agenda
pemekaran sebagai agenda prioritasnya, Kedua.
Secara moral kapasitas (capacity)
Bajang sebagai pemimpin politik dan Pemerintah yang berlatar seorang Kyai yang telah mengubar janji
pemekaran akan di pertaruhkan, inilah kerugian besar masyarakat NTB dan Indonesia
pada umumnya ketika seorang Kyai tidak mampu memenuhi janji yang pernah di
ucapkannya, pesimisme dan skeptis masyarakat akan pemimpin yang bersih dan
bermoral menjadi taruhan.
Secara politik
dan hukum keterlambatan pemekaran dalam hal ini Bajang tidak bisa disalahkan sepenuhnya
karena, kekuatan politik partai pengusung bajang tidak cukup untuk melakukan
agenda besar itu di tengah arus transaksional dan oligarki politik, di tambah
dengan kebijakan moratarium Pemerintah Pusat walAupun
kebijakan penghentian pemekaran ini tidak di tutup sama sekali. Pertanyaannya kemudian
seperti apa peluang PPS ?
Sampai januari
2011 lebih dari 181 permintaan pemakaran daerah,
dan yang sudah masuk ke DPR 98 permintaan (Kompas,
2/4). Yang jelas saat ini Pemerintah sedang rajin-rajinya menggulirkan wacana masalah
ini mulai dari pemekaran dengan ujicoba tiga tahun sebagai daerah persiapan
sampai dengan penggabungan kembali daerah gagal. Terlepas dari beragam wacana
itu yang jelas yang paling ketat untuk dimekarkan adalah daerah kota/
kabupaten, kalau Propinsi masih ada pelung, namun yang menjadi prioritas adalah
Daerah-daerah di perbatasan seperti di Kalimantan, dan untuk sementara PPS
belum masuk dalam daftar daerah yang dimintai pemEkaran
di kementerian Dalam Negeri maupun di DPR. Kemudian salah satu peluang PPS juga
adalah, dengan berpindahnya Gubernur sebagai Ketua partai Demokrat NTB terlepas
perdebatan pragmatisme politik, namun itu akan menjadi modal besar sebelum
habis masa jabatannya karena bagAimanpun juga
kekuatan Partai Demokrat-lah yang menentukan irama politik dan pembangunan Indonesia
saat sekarang, dan kalau bajang punya itikat baik ia harus menggunakan
kesempatan itu sebaik mungkin untuk membuktikan janji-janji politiknya,
masyarakat PPS menunggu janji-janji itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar