Oleh: Ridwan M. Said
Saat ini pengelolaan
dunia pendididikan kita sedang dalam sorotan yang luar biasa. Ditengah pesimisme
dan kritikan tajam anak bangsa atas UN tahun sebelumnya, dunia pendidikan
kembali guncang karena terjadi penundaan UN di sebelas propinsi, atau sebanyak 1,1
juta siswa tingkat SMA tidak bisa melaksanakan UN sesuai jadwal awal.
Seperti
biasa, atas kejadian itu presiden bereaksi keras, dengan memanggil Muhammad Nuh
(mendikbud), agar melakukan infestigasi, dan segera membereskan persoalaan itu.
pada saat yang bersamaan SBY juga memerintahkan panglima TNI dan Kapolri untuk
ikut membantu dengan mengerahkan personal dan fasilitasnya guna memastikan
pendistribusian soal UN berjalan dengan baik. Walau demikian pelaksanaan UN
yang di tunda tersebut tetap saja melahirkan penundaa-penundaan lain di
sejumlah propinsi (Republika, 19/4).
Tidak
hanya SBY yang kecewa atas amburadulnya UN, lembaga legislative, LSM dan
pemerhati pendididkan lainnya juga serentak menyatakan ujian nasional tahun ini
adalah yang terburuk. Akibat keterlambatan pencetakan soal tersebut membawa rentetan
dampak amburadul lainnya, mulai dari bertaburannya pemain-pemain yang menjual
belikan kunci jawaban, kegelisahan siswa dan para penyelenggara UN di tingkat
daerah yang bingung menunggu kepastian UN sampai pada pembengkakan anggaran.
Pertanyaannya
apa yang salah dengan penyelenggaran dunia pendidikan kita? Naif sekali ketika
kita menyederhanakan persoalan amburadulnya UN dengan alibi sebab tehnis
sebagaimana yang di ungkap sang menteri, di balik itu ada masalah yang sangat serius
sesungguhnya yang sedang di alami oleg bangsa ini.
Tehnis
atau Strategis
Amburadulnya
UN, percikan dari gamabran besar tentang prolem bangsa ini, problem itu bersumbu
dari sejarah panjang perjalanan kita yang memang tidak serius melihat
pendidikan sebagai aset jangka panjang sekaligus strategi peradaban yang
melampaui jaman (overshoots age). Kita
sesungguhnya tidak usah jau-jauh mencontoh negeri Amerika atau Eropa, atau Asia
Timur sekalipun seperti Jepang dan Korea, di samping kita ada Singapore dan Malaysia
sebagai contoh yang sangat baik untuk mengoreksi sekaligus bahan refleksi
betapa kedua Negara itu mencapai kemajuan seperti yang terlihat kini akibat
dari keseriusan mereka memandang pendidikan sebagai titik awal kebangkitan (starting point the rise) dan kejayaan
masa kini dan akan datang.
Momentum
keamburadulan dunia pendidikan kita saat ini, sangat kebetulan menemukan
momentum yang tetap dengan pengalaman pribadi kami, ketika berkunjung ke
Singapore dan Malaysia, ketika kami tiba di bandara internasional changi singaopre, kesan pertama yang
terlihat adalah, betapa petuga-petugas di bandara tersebut sangat mengagumkan, semua
hampir seimbang antara yang warna kulitnya hitam dan putih, tubuhnya
proporsional dan gendut, itu artinya diskriminasi atas ras dan agama begitu
minim. Lalu ketika menaiki fasilitas umum, seperti kereta listrik, mall, pasar,
terminal, dll, sama sekali tidak terlihat adanya sampah dan orang yang merokok
di sembarang tempat, lalu antrian yang rapi, tradisi mendahulukan prempuan, itu
artinya tingkat kedisplainan dan kebersihan yang sangat luar biasa yang tentu
saja sulit di temukan pada fasilitas umum di Indonesia, belum lagi hampir semua
fasilitas tersebut terkoneksi/terintegrasi dengan kepentingan umum.
Lalu
apa rahasia kemajuan Singapore dan apa kaitannya dengan dunia pendidikan? Kemajuan
Singapore hari ini memiliki sejarah panjang, ketika Singapore berhasil melepaskan
diri dari kolonialisasi Inggris pada tahun 19… maka mereka hampir tidak
memiliki apapun, sepeti industry dll. Semua kekayaan itu masih dibawah
kepemilikan Inggris, berbeda dengan Indonesia yang mengambil jalan konfrontasi
dengan menasionalisasi seluruh perusahan-perusahan Belanda dan Swasta menjadi
milik Indonesia, efeknya kemudian industri-industri modern itu tepaksa di
kelola oleh tangan-tangan yang tidak terampil, imbas dari itulah yang di
sinyalir menjadi sebab kenapa Indonesia terlambat menjadi negara yang menguasai
industri.
Berbeda
dengan Singapore yang tidak memiliki apa-apa, industri masih di kuasai oleh Inggris,
SDA yang terbatas, mereka tidak serta merta menasionalisasi aset kolonial, sebaliknya
perlahan-lahan belajar mengelola industri modern itu. Praksi pada saat itu
mereka hanya memiliki manusia-manusia.
Untuk
mengejar ketertinggalan, maka pada saat itu (1980) Lee Kuan
Yew (PM Singapore)
menyerukan agar menghidupkan kembali ajaran
Konfusiusme, ajaran yang berakar pada konsep fǎ dan lǐ, Konsep lǐ
bersumber pada ajaran Kong Hu Cu (551-479 SM) yang menekankan pada etika dan
keselarasan social, konsep fǎ bersumber pada filsafat legalisme China
(221 SM) yang menekankan pada ketaatan pada perundang-undangan. Pada era Mao Tse
Tung berkuasa di China, ia menghidupkan kembali konsep lǐ dengan membuat
delapan ajaran yang dimuat dalam Buku Merah.
Keberhasilan
penanaman dan memadukan li sebagai
ajaran moral (halus), kemudian fa (keras)
yang menjadi derivasinya atau sebagai penyangga di percaya sebagai puncak
kejayaan (height of glory). Ajaran
Konfusiusme itulah menjadi Asian Values yang menjadi karakteristik
sistem sosial-politik di Asia Timur dan dipandang mendorong kemajuan ekonomi di
Asia Timur dan Asia Tenggara.
Yang
patut di catat dari keberhasilan konsep ajaran confusius (yang menginspirasi PM Singapore) ini adalah tidak
mungkin dapat tercapai bila tidak dilakukan dengan pendidikan, dengan
pendidikan yang baik itulah yang kemudian menjadi dasar kemanjuan siangaopre
hari ini.
Dengan Keberhasilan penenaman ajaran itulah Singapore
kemudian berhasil mebentuk corak masyarakat yang memiliki berkesadaran tinggi,
manajemen yang baik, disiplin, rapi, bersih, bertanggung jawab, tidak korup,
taat hukum, berkemajuan, semua itu adalah hasil internalisasi dasi ajaran li dan fa yang outputnya melahirikan masyarakat yang berbasis pada “rasa
malu”, sementara kita sesungguhnya memiliki landasan moral yang sangat kuat
melampaui li an fa yaitu basis “merasa berdosa” sebagai internalisasi ajaran agama,
adat istiadat, disamping norma-noma positif seperti hukum, namun kita tidak
berhasil mengintroduksi basis rasa berdosa itu dalam kehidupan, baik dalam
posisi sebagai pejabat negara, ahli dan praktisi hukum, pengelola perusahaan,
pendidik, dan sebagai rakyat.
Di
Indonesia dengan mudah mendengarkan kata-kata yang di lontarkan seorang pejabat
Negara “saya bertanggung jawab” tapi anehnya tanggung jawab itu hanya di bibir
saja, berbeda sekali dengan di negeri lain yang bertanggung jawab disertai
mundur dari jabatannya sebagai konsekwensi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar