KENAPA MASYARAKAT
BIMA AGRESIF
Oleh:
Dr. Ridwan M. Said, S.H., M.H
Di hari suci Idul Adha,
masyarakat Bima disuguhkan sebuah fenomena yang mencabik hati nurani dan rasa
kemanusiaan dinodai oleh perilaku yang tidak terpuji, yaitu terjadi dua
peristiwa pembunuhan di dua lokasi yang berbeda di Kecamatan Wera dan Sape Bima,
dengan sebab yang sederhana dan sepele. Idul adha/qurban yang seharunya menjadi
hari dimana menjadi momen untuk merayakan kemenangan, bermaaf-maafan, hari
dimana kisah dan sejarah monumental umat manusia yang diteladankan oleh Nabi
Ibrahim di uji oleh Allah untuk mengorbankan harta yang paling di sayanginya
yakni anaknya sendiri untuk disembelih sebagai ujian ketaannya kepada perintah
Allah, yang pada akhirnya Allah SWT menggantikannya dengan perintah menyembelih
hewan. Nabi Ibrahim mau dan rela mengorbakan anaknya sekalipun merupakan bentuk
ketundukan terhadap perintah Tuhan atau motif keimanan.
Kontras dengan kisah
Nabi Ibrahim yang berkorban atas dasar motif keimanan dan ketaqwaan, pada
sebagaian dari kita (mayarakat Bima), justru di hari suci tersebut tunduk dan menyerah
pada kemauan nafsu dan emosi yang tidak lain merupakan pintu setan/iblis
memperdayai manusia. Fenomena manusia yang tunduk pada jiwa vegetafinya (nafsu
dan emosi) di atas, sesungguhnya potret dari kondisi umum yang sering terjadi
hampir di sebagian besar wilayah Bima. Persoalannya kemudian kenapa kasus-kasus
pembunuhan atau sikap agresif seperti ini menjadi mudah sekali muncul dan
intensitasnya cukup sering terjadi. Pertanyaa ini sekilas sederhana tetapi
sesungguhnya tidak mudah untuk di temukan satu jawaban tunggal, karena itu
fenomena maraknya kasus pertikaian sosial umumnya termasuk konflik horizontal,
lebih khusus lagi kasus pembunuhan untuk menjelaskannya perlu dilihat dari
berbagai sudut pandang.
Sikap agresif,
termasuk mudahnya sesorang melakukan penganiayaan yang berujung pada kematian,
kalau dilihat dari sudut pandang hukum, jelas merupakan sebuah perilaku yang
mencerminkan pribadi yang tidak taat terhadap hukum, tidak memilki kesadaran
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, sistem hukum di negara
kita (KUPH) sudah menyiapkan hukum yang sedemikian rupa dalam rangka memberikan
balasan yang setimpal.
Jelasnya, sikap
agresif (konflik, pembunuhan) dalam sudut pandang hukum positif merupakan
gejala yuridis. Akan tetapi, hukum bukanlah sistem yang ada dalam ruang hampa
dan kosong, hukum sesungguhnya bersentuhan dengan ranah empiris (realitas
sosial), psikologis (jiwa), bahkan realitas metafisik (keimanan). Oleh sebab
itu, persoalan perilaku pelanggaran hukum tidak bisa dilihat semata-mata
sebagai perilaku yang tidak berkesadaran hukum semata atau pelanggaran norma
hukum positif, karena kita akan menemukan kebenaran yang dangkal kalau sudut
pandang dibatasi sebatas gejala yuridis. Karenanya, sudut pandang lain sangat
penting untuk menjelaskan perilaku agresif itu, dan ragam sudut pandang inilah
yang hendaknya menjadi bahan pertimbangan.
Dari sudut pandang
agama misalnya, perilaku pembunuhan atau manusia yang suka membuat kerusakan merupakan
gambaran manusia yang gagal menginternalisasi pesan kedamain dalam agama, tidak
takut dosa dan ingkar terhadap ketentuan Allah, dari sudut pandang moral dan
kejiwaan perilaku agrsif adalah potret manusai yang dipimpin oleh jiwa
hewaninya (nafsu dan emosi). Faktor pemahaman dan internalisasi agama yang
kemudian berimbas pada rapuhnya jiwa yang dikuasai iblis/setan lewat nafsu dan
emosi, jelas berkonstribus signifikasi dalam menyumbang perilaku agresif, dan yang
pasti ada banyak orang yang mengalami fluktuatifnya ketaqwaan dan stabilan
emosi/nafsu, cuman kadar dan cara penyalurannya saja yang berbeda
intensitasnya.
Selain aspek
kejiwaan di atas, faktor sosiologi (kebudayaan), termasuk peran pemerintah
dalam melakukan pembangunan perlu di telaah perannya dalam sebuah gambaran
masyarakat agresif Bima, pada titik inilah inilah kita terpaksa harus berpikir
kebelakang. Dalam konteks masyarakat Bima pada umumnya, saya mengamati
masyarakat Bima pada hakekatnya merupakan sebuah potret masyarakya yang sedang
mengalami transisi kebudayaan, yakni dari kebudayaan lama yang berbasis
kekeluargaan, musyawarah (gotong royong), religius, agraris dan tradisonal menuju
masyarakat yang semi-liberal, demokratis struktural, pra-modern, pra-industi,
pra-jasa, informatik.
Transisi tersebut
muncul pertama kali ketika momentum kejatuhan Orde Baru dimana peran militer
yang serba proteksionis- represif sangat kuat, yang kemudian digantikan oleh
era reformasi, dimana masyarakat Indonesia umunya dan Bima khususnya mengekspresikan
kebebasan dengan cara yang salah. Era reformasi yang yang ditandai dengan
desentralsiasi (otronomi daerah) dikuti oleh liberalisasi politik yang luar
bisa. Liberalisasi poliitk ini mendorong sikap pragmatisme dan materiliasme di tengah
masyarakat, oleh sebab biaya politik yang sangat mahal. Peran pranata sosial
lama (orang tua, kerabat, guru ngaji, lebe,
galara dll.) seiring waktu mulai bergeser
dan luntur kewibawaannya, kemudian digantikan dan dikooptasi oleh pranata baru yang
serba individualise, material, rasional, dan fromal.
Kondisi di atas,
diperparah dengan suplai kepemimpinan lokal yang lemah dalam visi dan komitmen kebudayaan,
implikasinya dari tidak adanya visi kebudayaan Pemerintahan Daerah gagal
merawat pranata lama yang tergerus oleh arus perubahan, maka kitapun kehilangan
daya tahan, kehilang daya tahan menyebabkan kita hilang momentum, hilangnya mementum
berimplikasi pada lemahnya daya saing. Karena kita kehilangan daya tahan,
menyebabkan kita menjadi masyarakat yang mengadopsi ragam nilai dari segala
penjuru secara bebas, tanpa ada sistem yang filter dan memproteksi secara
memadai. Tidak heran kemudian kita menyaksinya begitu mudahnya barang haram serti
narkoba menyebar ke pelosok kampung tanpa ada sistem yang memproteksinya, termasuk
fenomena konflik sosial yang sering terjadi sebenarnya bisa saja ditangkal dan
di lokalisir sendainya sistem pranata lama masih dirawat dan di adaptasikan.
Kita tidak mungkin menyerahkan segala urusan
ini termasuk persolan pencegahan perbuatan-perbuatan kriminal ditengah
masyarakat diserahkan seutuhnya kepada institusi modern semacam Polisi, Tentara,
pengadilan, birokrasi dll, oleh sebab secara makro negara ini sedang dalam masa
transisi, dimana segalanya masih berupa menunju lebih baik, bahkan sebaliknya
kondisinya cenderung lebih buruk (Lihat Shaomin Li, Ilan Alon dan Jun Wu,
2017).
Maraknya perilaku agresif yang terjadi pada
masyarakat Bima, sekali lagi jelas sedang memperlihatkan gejala transisi yang sedang
terjadi, dan kita umunya gagal adaptasi dengan gerak langkah jaman, karena kita
gagal adaptasi, maka kita sulit untuk bersaing, gagal memaksimalkan keunggulan,
kemanjuan dan keunggulan masih sekedar harapan bahkan mimpi.
Kami berpandangan, untuk menangkal perilaku
agresif termasuk maraknya kasus pembunuhan dan konflik horizintal pada
masyarakat Bima, pertama-tama, tentu saja harus di lakukan pemetaan secara
komprehensif terlebih dahulu tipologi termasuk pola-pola dan sebabnya konflik
yang ada selama ini, agar diketahui sebab paling determinan dan
karakteristiknya dengan baik, lalu kemudian dijadikan sebagai bahan untuk
melakukan resolusi konflik, dan baik yang berjangka pendek, menengah, maupun
panjang, yang pailng penting dari semua upaya itu adalah, pentingnya perubahan
pola dan fokus pembangunan di daerah ini, dimana aspek kebudayaan Bima yang
kental dengan keislamannya termasuk pranata sosial lama harus menjadi perhatian
utama untuk di rekonstruksi dan diadaptasikan dengan semangat jaman masa kini
dan tantangan masa mendatang, agar kita tidak menjadi masyarakat yang ahistoris,
yakni masyarakat yang tidak relevan dengan semangat jamannya.[]
Wallahualam
Ketua
Prodi Ilmu Hukum STIH Muhammadiyah Bima
dan
Direktur Pusat Studi Resolusi Konflik dan Pembangunan Desa (PurkoF PeDe).
Terbit
Media Online Kahaba.net 23 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar